Oleh: Muhammad Dendy Waelissa
Mahasiswa Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang
Hubungan Indonesia dan China sudah terjalin hampir 70 tahun hubungan ini diakui pada tahun 1950. Hubungan ini tidak terlepas dari komitmen pada masa presiden Ir. Soekarno menjabat sebagai presiden pada masa itu. Beliau menujukan komitmen politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Hubungan bilateral dua negara ini mengalami pasang surut keeratan hubungan. Pada awal pemerintahan presiden Soekarno hubungan Indonesia dan China mengalami hubungan yang mesra di tandai dengan hubungan personal antara presiden Indonesia dengan presiden China Moa Zedong.
Hubungan Diplomasi Indonesia – China
Hubungan harmonis antara Indonesia dan China ini tidak terlepas dari kesamaan kepentingan menghadapi konstelasi politik internasional pada masa itu. Namun hubungan Indonesia dan China ini harus mengalami penururnan setelah berakhirnya masa pemerintahan presiden Soekarno. Pada pemerintahan setelah pemerintahan presiden soekarno hubungan Indonesia dan China harus mengalami pembekukan, ini terjadi pada 30 Oktober 1967 dimana pada tahun 1967 presiden Soeharto sedang menjabat sebagai presiden selama kurang lebih 1 tahun.
Di akhir tahun 1967 hingga tahun 1990 hubungan Indonesia dan China mengalami kebuntuan. Hubungan Indonesia dan China mengalami pencerahan terjadi pada tanggal 8 Agustus 1990. Ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman pemulihan hubungan diplomatik Indonesia dan China. Tidak hanya saja pada penandatanganan nota kesepahaman saja, hubungan Indonesia dan China sedikit demi sedikit diperbaiki. Pada 28 Desember 1999 dibawah pemerintahan BJ. Habibie melakukan kesepakatan mengenai bantuan hibah berkenaan dengan kerja sama ekonomi dan teknik antara Indonesia dan China.
Hubugan Indonesia dan China semakin membaik disetiap era pergantian kepemimpinan Indonesia. Pada era kepemimpinan Gus Dur terdapat kesepakatan kerjasama, keuangan, tekonologi, perikanan, promosi kunjungan wisata, serta kerjasama di bidang energi dengan menukar Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia dengan produk-produk China. China juga memberikan bantuan sebesar 5 Miliar dollar AS, fasilitas kredit sebesar 200 juta dollar AS untuk pembelian bahan makanan.
Puncak hubungan Indonesia dan China terjadi pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudoyono, ditandai dengan penandatanganan Nota Kemitaraan stretegis Indonesia dan China antara kedua kepala negara pada kesempataan peringatan 50 tahun Kofrensi Asia Afrika.
Selama masa pemerintahan dua periode presiden Susilo Bambang Yudoyono hubungan Indonesia dan China mengalami perekatan terutama pada sektor perdagangan dimana investasi China sangat besar terhadapa Indonesia, namun pada tahun 2007 Indonesia dan China mengalami perang dagang meski dalam skala terbatas. Itu bermula dari pengumuman dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bahwa sejumlah produk makanan, kosmetik, minuman dan mainan anak–anak dari China mengandung bahan formalin yang membahayakan kesehatan. Namun hal ini tidak menjadi suatu permasalah bagi hubungan perdagangan Indonesia dan China mengingat hubungan perdagangan Indonesia dan China mengalami pertumbuhan 3,6 milliar Dollar AS pada tahun 1996 lalu meningkat pada tahun 2007 10 milliar Dollar AS pada tahun 2007
Hubungan Indonesia dan China mengalami penguatan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ekspansi pembangunan infrastruktur yang membutuhkan investasi besar, mendorong Indonesia untuk melakukan kerjasama ekonomi intensif dengan China. Namun pada saat bersamaan, hubungan Indonesia dan China juga diwarnai ketegangan di perairan Natuna. Beberapa kali kapal nelayan China masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia tanpa izin. Peristiwa ini tidak lepas dari klaim China di Laut China Selatan yang berbatasan dengan perairan Natuna. Dengan profil yang tampak berseberangan tersebut, di bidang ekonomi terjalin kedekatan namun pada isu kedaulatan terjadi ketegangan, apakah dua dinamika yang berbeda ini saling mempengaruhi.
Melalui program mega infrastruktur China One Belt One Road, China juga berupaya melakukan pendekatan terutama terhadap negara-negara yang memiliki ketegangan dengannya di Laut China Selatan. One Belt One Road yang diwujudkan dengan kerjasama investasi, menjadi instrumen China untuk mempengaruhi sikap negara-negara yang memiliki hubungan dengan Laut China Selatan. Sebagian negara berubah sikapnya. Namun tidak demikian dengan Indonesia.
Pada era kepresidenan Jokowi hubungan antara Indonesia dan China semakin harmonis dan erat. Pada masa ini Indonesia mulai mengejar ketertinggalan pada bidang insfrakstruktur yang memerlukan investasi besar, alasan logis kenapa presiden Joko Widodo memprioritaskan pembangunan insfrakstruktur sebagai alat pertumbuhan ekonomi. Beberapa negara di dunia juga cenderung melakukan pembangunan negaranya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Indonesia melalui seluruh unsur kenegaraannya juga berupaya untuk meningkatkan pembangunan negaranya.
Salah satu bentuk pembangunan dalam suatu negara adalah pembangunan pada sektor insfrakstruktur. Hal ini dikarenakan, ketersediaan insfrakstruktur yang memadai merupakan kunci sukses dalam percepatan pembangunan suatu negara. Oleh sebab itu Indonesia terlibat dan menandatangani kebijakan One Belt One Road (OBOR) China atau yang sekarang direvisi menjadi Belt Road Initiative (BRI).
One Belt One Road Dan Laut China Selatan
One Belt One Road adalah upaya untuk meningkatkan kerja sama regional dan konektivitas dalam skala trans-benua yang mencangkup 2 jalur yaitu the silk road economic atau rute berdagangan yang melalui jalur sutra berbasis daratan dari Tiongkok, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah hingga Eropa yang juga akan didukung dengan jalur kereta api, jalan raya, dan jaringan pipa baru. Sedangkan, the 21st century maritim silk road atau biasa disebut jalur sutra berbasis laut atau jalur maritim yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah dan Eropa.
Melihat potensi itu Presiden Jokowi langsung menandatangani kerja sama Indonesia dan China pada proyek One Belt One Road China. Ini dikarenakan bukan melihat potensi saja, Indonesia di bawah kepemimpinan jokowi sedang gencar dalam pembangunan insfrakstruktur oleh karena itu One Belt One Road ini sejalan dengan visi presiden saat ini serta keadaan real di Indonesia. Adapun hasil yang positif dari kebijakan pemerintah Indonesia terlibat dalam proyek One Belt One Road ialah meningkatnya nilai ekspor pada Oktober 2019 mecapai 14,93 milliar Dollar AS tujuan ekspor terbesar masih China. Peningkatan ekspor non migas pada oktober 2019 ini terjadi pada bahan bakar mineral sebesar 144,6 juta dollar AS dan penurunan terjadi pada kapal, perahu, dan struktur terapung sebesar 74,1 juta dollar AS. Selain non migas sektor migas pun mengalami 13,78% pada Oktober 2019.



























