Belum Ada Laporan “Penipuan” Untuk Anggota DPRD Ambon
KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Warga Hunuth/Durian Patah telah melaporkan Anggota DPRD Kota Ambon, Mourits Tamaela ke Polda Maluku, Senin (20/9) atas tuduhan dugaan penipuan, penggelapan, dan atau penyebaran berita bohong dan pemalsuan dokumen.
Laporan itu sebagai bentuk kekecewaan mereka (warga) terhadap Mourits yang dinilai telah berlaku sudah diluar batas. Apalagi ada intervensi serta ancaman yang kerap dilakukan Ketua DPD Partai NasDem Kota Ambon itu bersama kroni-kroninya ke warga.
Lalu, apakah laporan itu sudah ditindaklanjuti Ditdiskrimum Polda Maluku sesuai aturan yang berlaku? Dirkrimum Polda Maluku, Kombes Pol Sih Harno menyatakan belum. Sebab sampai dengan hari ini, pihaknya belum menerima laporan terkait masalah tersebut.
“Saya sudah tanyakan ke anggota saya. Tapi belum dapat laporan itu,” kata Harno dihubungi Kabar Timur, Rabu (22/9).
Menurutnya, pihaknya tentu akan bekerja sesuai aturan yang berlaku. Artinya ketika mendapatkan laporan masuk, maka anggota tentu akan memproses atau menindaklanjuti aduan sesuai prosedur.
“Kita tetap memproses jika memang itu telah sesuai dengan mekanisme yang ada. Tapi sejauh ini belum ada laporan itu,” terangnya.
Hal senada juga diungkapkan Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol M Roem Ohoirat. Mantan Kapolres Kabupaten Malra itu mengaku, anggota pada SPKT Polda Maluku belum mendapatkan laporan resmi perihal aduan dugaan penipuan yang dilakukan anggota DPRD Kota Ambon, Mourits Tamaela.
“Belum ada laporan terkait ini di SPKT Polda Maluku,” tutur Roem singkat.
Sebelumnya diberitakan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Ambon, Mourits Tamaela harus berhadapan dengan hukum. Ini setelah Mourits dilaporkan ke pihak kepolisian dengan tuduhan dugaan penipuan, penggelapan, dan atau penyebaran berita bohong dan pemalsuan dokumen.
Ketua DPD Partai NasDem Kota Ambon itu resmi dilaporkan ke Mapolda Maluku, Senin (20/9). Pelapornya merupakan warga Hunuth/Durian Patah, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon.
“Totalnya ada 52 warga. Mereka lapor karena menduga pak Morits melakukan tindakan penipuan, penggelapan dan atau pemalsuan dokumen terhadap lahan atau tanah yang kini mereka tempati,” kata Kuasa Hukum warga Hunuth, Herman Hattu.
Disebutkan, lahan seluas 17 hektar di kawasan Hunuth berstatus tanah Eigendom verponding nomor 1036. Lahan itu sebagai tanah bekas hak barat dengan nama pemilik Petrus Tamaela. Lahan itu sejak dulu sudah terdapat bangunan milik masyarakat Hunuth. Keberadaannya juga telah diketahui pemerintah desa Hunuth/Durian Patah kala itu.
Tinggal dan menetap hingga puluhan tahun, lalu orang bernama Lodewijk Tamaela (almarhum) datang dan mengklaim jika lahan tersebut merupakan miliknya (Lodewijk-red).
Namun, pengakuan Lodewijk dibantah pemerintah desa Hunuth. Tak puas, Lodewijk lalu menggugat pemerintah desa Hunuth dengan tuduhan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri (PN) Ambon. Gugatan itu dilayangkan pada tahun 1994.
Hanya saja, gugatan Lodewijk ditolak majelis hakim PN Ambon sesuai nomor putusan 141/Pdt.G/1994/PN.AB. Meski kalah, Lodewijk tak menyerah. Di tahun 1995, Lodewijk kembali menggugat Pemeritah Hunuth dengan objek gugatan yang sama.
“Tapi itu kembali ditolak sesuai putusan nomor 127/PDT.G/1995/PN.AB. Lalu banding juga ditolak bahkan sampai kasasi di Mahkamah Agung pun ditolak,” terangnya.
Dari penolakan itu, idealnya lahan tersebut kembali menjadi milik negara. Supaya diakui negara, warga yang sudah menempatinya secara turun-temurun perlu mengurusi sertifikat tanah. Melalui program Prona yang diselenggarakan pemerintah pada tahun 2014 lalu, warga kemudian mengurusi sertifikat tersebut.
Tapi, lagi-lagi anak dari Alm Lodewijk Tamaela yang adalah anggota DPRD Ambon, Morits Tamaela, masih belum puas dengan hal itu. Dia (Morits) kemudian dengan jabatannya berusaha untuk menghambat proses pembuatan sertifikat tanah warga.
Anggota Komisi I DPRD Ambon itu bahkan datangi warga dan mengintervensi langsung warga dirumah. Ia juga menunjukan kepemilikan lahan tersebut berdasarkan surat keterangan ahli waris yang diterbitkan oleh pemerintah negeri Halong pada tanggal 6 Agustus 1993 silam.
Oleh Mourits, siapapun warga yang hendak menerbitkan sertifikat tanah maka harus membayar lebih dulu. Harga yang diteken juga bervariasi sesuai luas bidang tanah. “Padahal sudah jelas bahwa tanah Eigendom verponding nomor 1036 tersebut telah sah menjadi milik negara. Dan bukan lagi menjadi milik keluarga Tamaela. Makanya warga mengadukan ini ke Polda Maluku,” paparnya
Yang pasti, lanjut Herman Hattu, kliennya itu mengaku mereka merasa tertekan dan takut lantaran adanya ancaman yang diduga dilakukan oleh Mourits Tamaela dan kelompoknya. Mereka bahkan mengancam akan membongkar bangunan dan rumah milik warga.
“Mereka punya alat bukti. Ada juga surat rekomendasi dari Sekkot Ambon yang diduga dipalsukan oleh Mourits. Semua telah kami siapkan sebagai alat bukti dalam perkara ini,” pungkas Mantan Anggota DPRD Maluku itu. (KTY)
Komentar