Lingkungan Tercemar, Masyarakat Wetar Tunggu Kementerian Investigasi

ILUSTRASI

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Kehadiran PT Batutua Tembaga Raya (BTR) di Pulau Wetar Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD)dinilai lebih banyak menyusahkan ketimbang memberi manfaat bagi masyarakat. Keresahan masyarakat memuncak pasca jebolnya tanggul produksi tembaga di Kali Kuning, sekira tiga pekan lalu.

Hal itu memicu, protes untuk hal-hal lain yang selama ini oleh PT BTR dinilai tidak berlaku adil, dan terkesan membodohi masyarakat itu. Kepada Kabar Timur, warga Desa Lurang, Pieter Magoher, mengungkapkan, selain bermasalah lahan dengan tuan tanah dari marga Masnari, masyarakat hanya diberi janji-janji tapi realisasi nihil sampai sekarang. Sebut saja bidang pemberdayaan, janjinya usaha ayam potong dan kebun sayur yang dibangun dengan usaha sendiri, setelah hasil panennya ditimbang di perusahaan, ternyata belum dibayar hingga lima bulan terakhir ini. “Perusahaan belum bayar, kalo bayar khan kami bisa putar lagi uang itu untuk modal usaha,” ungkap Pieter Magoher dihubungi Kabar Timur, Minggu, kemarin.

Selain pemberdayaan, janji pipanisasi air bersih masuk ke Desa Lurang, belum juga direalisasi. Akibat aktifitas PT BTR masyarakat Desa Lurang maupun desa tetangganya, Uhak, sumber air minum jadi terbatas.

Yang ada di dalam kedua desa hanya untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK). Sementara sumber air minum hanya ada di lahan yang kini digunakan untuk aktifitas perusahaan eksploitasi mineral tembaga itu.

Untuk mengambil air minum, masyarakat sekarang harus pakai kendaraan bermotor 7 kilometer masuk ke perusahaan. Dulu, ada truk perusahaan sesuai kesepakatan dengan masyarakat untuk dilayani.

“Tapi sekarang, truk-truk itu tidak ada lagi, alasannya lagi dipakai perusahaan. Perusahaan bikin kita tambah setengah mati saja,” terang Pieter.
Terpisah, pemerhati pulau Wetar Lexio Lainata mengungkapkan, 29 Maret lalu, nyaris dilakukan demo besar-besaran oleh masyarakat Desa Lurang dan Uhak. Namun demo urung dilakukan, pasalnya pihak PT BTR mengaku siap bernegosiasi.

“Untuk negosiasi itu urusan pemilik lahan, tapi kami masyarakat punya urusan lain soal pencemaran lingkungan. Itu yang kita tunggu tim dari Kementerian dan Dinas Lingkungan Hidup dari Provinsi Maluku turun lakukan investigasi,” akuinya.

Menurut Pieter, masyarakat dua desa kini terancam akibat limbah batuan asam yang timbul akibat aktifitas PT BTR. “Kita tunggu tim turun untuk ambil sampel saja ini. Bukti-bukti foto ada di masyarakat, tinggal kasih tunjuk ke tim. Kita ingin perusahaan tutup dulu, sampai semua persoalan lingkungan ini dibenahi,” akunya dihubungi tadi malam. (KTA)

Komentar

Loading...