Maluku tak Masuk Hitungan Jokowi
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Seluruh daerah atau provinsi masuk dalam daftar kampanye akbar Calon Presiden Joko Widodo “Jokowi” yang di mulai sejak, Minggu, 24 Maret 2019, kemarin. Maluku dan Maluku Utara, tidak. Ada apa?
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diijinkan untuk menggelar kampanye akbar atau rapat umum melibatkan massa pendukung yang besar. Jadwal kampanye ini sudah dimulai, sejak Minggu, 24 Maret 2019, kemarin, dan berakhir pada 13 April 2019.
Dari agenda kampanye akbar yang dilakoni Capres 01, Jokowi sebagai kandidat petahana, yang tersebar dipublik, dua provinsi masing-masing: Maluku dan Maluku Utara (Malut), tidak tercantum atau terdapat dalam agenda kampanye akbar Jokowi.
Benar tidaknya, daftar agenda kampanye akbar Jokowi yang beredar tidak terdapat Maluku, cukup memberikan sinyal tidak respeknya Jokowi kepada Maluku ada benarnya.
Ditengah pelbagai spekulasi terkait penundaan pelantikan gubernur dan wakil gubernur Maluku, setidaknya, Jokowi dapat mengobati itu dengan menetapkan Maluku sebagai salah satu titik kampanye akbar.
“Memilih Maluku sebagai salah satu daerah (lokasi) pelaksanaan rapat umum atau kampanye yang langsung dihadiri Jokowi. Artinya, Capres 01 itu memperhitungkan Maluku sebagai salah satu basis dukungan potensial walaupun jumlah penduduk Maluku hanya 1,8 juta jiwa,” kata Hendrik Jauhari Oratmangun, Tokoh Muda Maluku di Jakarta kepada Kabar Timur, kemarin.
Kendati begitu, lanjut dia, apabila Jokowi tidak hadir di Maluku dalam masa kampanye akbar, dengan begitu anggapan Maluku kurang diperhitungkan menjadi benar adanya. Selanjutnya, hal ini, tambah dia, menjadi cacatan penting bagi rakyat Maluku. “Rakyat Maluku harus bersatu untuk bersama memperjuangkan kepentingan rakyat Maluku di tingkat nasional,” tegasnya.
Perjuangan ke depan, menurut dia, diharapkan wakil rakyat yang akan dipercayakan di tingkat nasional harus dapat memperjuangkan Undang-Undang Pemilu tidak hanya demokratis, jujur dan adil. Tapi harus bisa lebih strategis dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat Indonesia secara merata dan menyeluruh.
Karena itu, kata dia, dibutuhkan terobosan mendasar untuk memperjuangkan revisi UU Pilpres saat ini. “Sudah saatnya UU Pilpres beralih dari sistem one man vote menjadi voting block berbasis provinsi,” akunya.
Dikatakan, dengan sistem voting block, setiap capres berkepentingan menang di seluruh daerah. Hal tersebut akan membuat seluruh Capres berorientasi memikirkan solusi pembangunan secara komprehensif di semua provinsi.
“Bila tetap berpegang pada sistem one man one vote seperti saat ini, maka dalam proses kampanye, para capres akan memprioritaskan daerah atau provinsi dengan populasi penduduk besar karena terkait dukungan jumlah suara,” papar Oratmangun.
Kondisi ini, lanjut dia, tentu berdampak terbangunnya kontrak-kontrak politik yang lebih banyak ke daerah berbasis penduduk terbanyak sehingga ketika terpilih, orientasi pembangunan seorang presiden lebih dipriotaskan ke daerah-daerah dengan jumlah pemilih besar.
Menurutnya, kondisi inilah yang mengakibatkan ketimpangan pembangunan nasional. Misalnya Maluku dengan potensi migas dan sumber daya kelautan melimpah, tapi nilai bergaining lemah karena jumlah penduduk sedikit, jumlah pemilih sekitar 1,4 juta sehingga dianggap tidak signifikan untuk kepentingan pemenangan Capres.
“Jangankan komitmen politik dalam masa kampanye, berkunjung saat kampanye saja mungkin tidak. Nah, dengan mekanisme voting block berbasis provinsi, semua daerah akan sama dan sejajar,” kata Hendrik Oratmangun.
Dari aspek lain, kata dia, presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan. Dan dalam hirarki pemerintahan kedudukan setiap provinsi di Indonesia adalah setara sehingga perlu juga ada kesataraan dalam perlakuan oleh presiden dan pemerintah pusat.
Sementara itu, Johan Tehuayo, pengamat politik dari Universitas Pattimura berpendapat, Jokowi tidak mengagendakan Maluku dan Maluku Utara sebagai titik kampaye akbar, bukan berarti Jokowi tidak memperhatikan dua daerah itu.
“Pemerintah Pusat sudah memberikan kontribusi terhadap provinsi Maluku dan Maluku Utara. Hal ini bisa dilihat dari berbagai proses implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan,” kata dia.
Sehingga itu bukan berarti Maluku tidak menjadi perhatian incumbent. “Itu persepsi yang keliru karena jadwal kampanye akbar hanya 24 Maret sampai 13 April, waktunya itu terbatas,” jelasnya.
Johan memandang, Capres petahana lebih memilih potensi basis-basis politiknya. “Misalnya pemilihnya, jumlahnya signifikan itu bisa memberikan dampak terhadap peningkatan perolehan suara. Jokowi (tidak kampanye di Maluku), bisa saja jumlah pemilih tidak signifikan. Sehingga kecenderungan memberikan kewenangan kepada tim suksesnya di daerah-daerah yang tidak terjangkau (untuk kampanye akbar),” ujarnya, kemarin.
Menurutnya, tidak digelarnya kampanye akbar Jokowi di Maluku hanya soal teknis pelaksanaan kampanye. “Bila terpilih lagi itu pasti konsentrasi (pembangunan) ke Indonesia timur. Bisa dilihat berbagai kemajuan yang terjadi di Indonesia timur dari Maluku, Maluku Utara dan Papua. Itu sudah terealisasi selama satu periode ini,” pungkas dia. (KT)
Komentar