Jokowi “Berhianat” Untuk Maluku

Ist

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Penundaan pelantikan Gubernur-Wagub Maluku bisa berdampak hukum. Selain itu, presiden dianggap “berhianat” terhadap masyarakat Maluku.

Kritikan sejumlah pakar Hukum Tata Negara dan Pengamat Politik kepada Presiden Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi terkait ditundanya pelantikan Gubernur Maluku terpilih, Murad Ismail-Barnabas Orno, terus berdatangan.

Kali ini datang dari, Siti Zuhro, Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang dihubungi Kabar Timur, kemarin. Dia meminta, Presiden dalam hal ini Pemerintah Pusat (Pempus), harus menghargai hasil Pilkada Maluku yang telah berlangsung secara free and fair.

“Artinya, bila masa purna bakti kepala daerah sudah habis dan saat pelantikan kepala daerah hasil Pilkada tiba (dilantik). Pemerintah Pusata seharusnya menjalankan tugasnya dan melantik calon kepala daerah yang menang. Itulah proses demokrasi dan kita harus konsekuen untuk menjalankan,”tegas Siti Zuhro.

Menurutnya, penundaan pelantikan hingga berakhirnya Pemilu serentak 2019, mendatang, secara hukum akan berdampak serius. “Alasan sibuk pemilu tidak bisa diterima, karena pelantikan menjadi hak mereka (Gubernur Terpilih). Mereka bisa persoalkan alasan penundaan pelantikan dan menyampaikan ke publik karena secara hukum menyalahi dan perspektif demokrasi yang tidak fair,” tegas dia.

Terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional, Ismail Rumadan menegaskan, penundaan pelantikan gubernur Maluku bisa digugat. “Pengangkatan Plh gubernur (oleh Mendagri), itu kecuali belum ada pemilihan dan belum ada gubernur terpilih, baru bisa dilakukan pengangkatan Plh,” kata Rumadan dihubungi Kabar Timur via seluler, kemarin.

Menurutnya, pelantikan gubernur Maluku terpilih periode 2019-2024, bukan semata kepentingan pribadi kepala daerah. Gubernur-Wagub terpilih merupakan amanat rakyat. “Pelantikan ini tidak hanya sekedar melihat kepentingan Murad-Barnabas secara pribadi. Ini kepercayaan masyarakat Maluku yang sebagian besar memilih mereka sebagai gubernur,” ujar Rumadan yang juga Sekjen Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia ini.

Dengan begitu lanjut dia, penundaan pelantikan gubernur-wagub, itu berarti presiden telah menghianati kepercayaan warga Maluku. “Secara legalitas penundaan itu tidak mendasar. Menunda pelantikan alasannya kepentingan politik (pemilu serentak 2019), justru menyalahi aturan hukum ,” tegas peneliti hukum dan peradilan Mahkamah Agung RI ini.

Masyarakat Maluku, memiliki kepentingan besar terkait penundaan pelantikan gubernur-Wagub. Menurutnya, penundaan pelantikan ini berimplikasi pada pelayanan publik. “Pelantikan itu kan hanya acara seremonial bahwa Murad-Barnabas dilantik secara resmi atau secara esensinya secara de facto mereka sudah gubernur dan wagub. Jadi layaknya langsung saja dilantik,” ujar dia.

Menurutnya, pejabat negara yang membiarkan atau tidak menjalankan kewenangannya bisa digugat secara personal. “Bahwa dia tidak mau bertindak atas dasar kewenangannya. Padahal dia seharusnya bertindak. Bisa digugat untuk kepentingan kerugian personal. Secara publik masyarakat Maluku bisa juga menggugat itu dengan landasan hukum pemerintah menunda pelantikan,” kata Sekjen Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ini.

Dikatakan, tidak wajib hukumnya menunda pelantikan. “Tidak boleh ada kepentingan politik atau kepentingan individual untuk dijadikan alasan (menunda pelantikan). Alasan tersebut harus disingkirkan demi alasan hukum. Itu hanya bisa dilakukan kecuali alasan hukum yang jelas karena pemerintah itu sesungguhnya menjalankan aturan hukum,” kata dia.

Menurutnya, tindakan presiden menunda pelantikan bisa digugat di Peradilan Tata Usaha Negara . Bisa difiktif positifkan karena tidak bertindak (melantik),” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Pusat (Pempusa) terus melihat Maluku dengan kaca mata sempit dan pemahaman keliru. Itu artinya Pemerintah Pusat “Jakarta” akan terus melukai rasa keadilan bagi masyarakat Maluku.

Penundaan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku terpilih, Murad Ismail-Barnabas Orno oleh Presiden RI Joko Widodo, menuai keprihatinan. Penundaan pelantikan dapat disimpulkan sebagai bentuk nyata Pemerintah Pusat hanya memandang Maluku dari aspek jumlah penduduk yang hanya terdiri dari 1,8 juta jiwa, sehingga secara politik dianggap tidak “sexy”.

“Kekeliruan cara pandang tersebut sangat merugikan Maluku baik secara politik maupun keadilan pembangunan,” kata Hendrik Jauhari Oratmangun, Tokoh Muda Maluku di Jakarta dihubungi Kabar Timur, kemarin.

Pemerintah Pusat menurutnya, harusnya dapat melihat Maluku dalam konteks yang lebih strategis. Pertama, Maluku adalah salah satu propinsi yang ikut menyerahkan kedaulatannya untuk mendukung terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada masa kemerdekaan.

Dikatakan, tokoh-tokoh masyarakat Maluku ikut berkontribusi dan berjasa besar terhadap NKRI baik sebelum dan sesudah kemerdekaan melalui perjuangan Pattimura, Christina M. Tiahahu, Karel Sadsiutubun, A.M Sangaji, J. Leimena, dan lainnya.

Selanjutnya, kata dia, Maluku adalah salah satu wilayah NKRI yang masyarakatnya sangat mencintai NKRI walaupun selama ini kurang mendapat perhatian dan keadilan pembangunan oleh Pemerintah Pusat. Dan juga walaupun pernah ada gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI yang dipelopori oleh gerakan RMS.

Selain itu, tambah dia, wilayah Maluku yang terdiri dari tujuh persen luas daratan dan 93 persen luas laut memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah yang dapat menopang ekonomi nasional apabila dikelola secara baik.

Oratmangun berpendapat, apabila Pemerintah Pusat terus melihat Maluku dengan kaca mata sempit dan pemahaman yang keliru, itu artinya Pemerintah Pusat akan terus melukai rasa keadilan masyarakat Maluku.

“Artinya juga Pemerintah Pusat sedang mempertontonkan “penghianatan” terhadap sejarah perjuangan bangsa dan cita-cita Kemerdekaan bangsa Indonesia itu sendiri,” tegas Oratmangun. (KT)

Komentar

Loading...