Kasus Korupsi Poltekes Rp 53 Miliar Mengendap di Kejati
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Sejumlah kasus korupsi mengendap penanganannya di Kejaksaan Tinggi Maluku. Salah satunya, dugaan korupsi Politeknik Kesehatan (Poltekes) Maluku senilai Rp 53 miliar.
Kinerja Kejati Maluku terus mendapat sorotan. Transparansi atau keterbukaan informasi publik merupakan barang langka di korps Adhyaksa. Sebut saja, sampai di mana pengusutan kasus dugaan korupsi “kakap” Rp 53 miliar pada Poltekes Maluku oleh Kejati Maluku, hingga saat ini tidak jelas penanganannya.
“Kejati Maluku terlalu banyak pencitraan, obral janji. Padahal Kajati Maluku pernah janji akan menindak lanjuti kasus kakap puluhan miliar rupiah itu,” kata Sukirman Haris dari Koalisi Anti Korupsi Nasional (KAKN) kepada Kabar Timur melalui rilisnya, Jumat (18/1/2019).
Sebelumnya, kata Haris, kasus ini pernah dilaporkan ke Kejati Maluku. Diduga kuat proyek pengadaan alat-alat kesehatan senilai Rp 53 miliar kucuran APBN tahun 2016 untuk Kementerian Kesehatan RI ini bermasalah.
Baik dalam tender hingga proses pengadaannya, yang terindikasi kuat tidak melalui mekanisme. “Kita pernah beberkan kasus ini di media, ketika Kajati yang sekarang baru dilantik,” ungkap Haris.
Setelah dilaporkan, KAKN yakin laporan bakal ditindaklanjuti atau paling tidak akan ada komunikasi terkait laporan tersebut. Tapi komunikasi ini nihil bahkan diduga Kejati Maluku mendiamkan kasus tersebut.
“Kami mencurigai ada main mata antara oknum Kejaksaan dengan pihak Poltekkes Maluku maupun beberapa lembaga yang kami sinyalir memiliki tujuan untuk mendiamkan kejahatan ini, akibatnya kasus ini mengendap di Kejati Maluku,” tuding Haris.
Dalam laporannya, Haris menduga kuat terjadi indikasi korupsi di proyek pengadaan Alkes tersebut. Modus korupsi yang dipakai diduga mark up atau pemahalan harga.
Sekadar tahu, pasca pelaksanaan tender, rekanan disinyalir tidak mengikuti prosedur pengadaan seperti diatur dalam kontrak kerja. Yakni, Perpres No 4 tahun 2015, maupun Surat Edaran PPSDM dan LKPP No 3 tahun 2015, yang mensyaratkan pengadaan barang diharuskan melalui e-Katalog.
Tapi dari investigasi KAKN, ditemukan indikasi rekanan tidak melalui e-Katalog dimaksud. Tindakan rekanan seperti itu merupakan mal administrasi yang beresiko korupsi dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Celakanya lagi, tindakan rekanan tersebut diduga turut diamini oleh Panitia Pokja ULP. “Di sinilah letak indikasi tindak pidana korupsinya. Karena jika tidak melalui e-katalog maka berpeluang besar terjadi mark up anggaran,” urainya.
Indikasi penggelembungan harga Alkes, menurut Haris dikuatkan oleh sejumlah bukti yang berhasil dikantongi KAKN. Sesuai temuan, proses pembelian Alkes dilakukan oleh rekanan antara April-Oktober tahun 2016.
Banyak item kebutuhan Alkes yang ditentukan dalam kontrak juga tidak terpenuhi selama kurun waktu tersebut. “Belum lagi sejumlah barang yang dibeli ternyata tidak sesuai spesifikasi pada kontrak. Dan apakah alat-alat itu sesuai kebutuhan Poltekes, itu juga pertanyaan,” ujarnya. (KTA)
Komentar