Nasib PNS Eks Napi Korupsi Tunggu Putusan MK
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Rencana pemerintah memecat ribuan pegawai negeri sipil yang terbukti korupsi dan putusannya inkrah di pengadilan akhir tahun ini masih terhambat.
Pemecatan PNS bekas napi korupsi tertuang dalam surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara tentang penegakan hukum bagi PNS terbukti korupsi.
Rencana pemerintah itu dihadang PNS eks narapidana korupsi di beberapa daerah di Indonesia. Mereka mengajukan judicial review ke MK menolak dipecat sebagai aparatur sipil negara atau PNS.
Lalu apa sikap Badan Kepegawaian Daerah BKD Provinsi Maluku terkait hal ini? “Eksekusi (pemecatan) PNS eks napi korupsi masih menunggu hasil uji materi SKB tiga menteri tersebut,” kata Plt Kepala BKD Maluku Donald Saimima di kantornya, Selasa (18/12).
PNS bekas napi korupsi yang melayangkan uji materi ke MK yaitu Riau, Bengkulu, Nias, Surabaya dan Bangkalan, Jawa Timur.
Mereka akan menguji Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara (ASN), terutama pada pasal 87 ayat 2 dan 4 huruf b dan d. Sebab, pasal tersebut dinilai sangat bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).
Meski demikian, kata Samimia, sambil menunggu proses uji materi di MK, BKD Maluku tetap melakukan koordinasi dan konsolidasi terkait surat edaran Mendagri sesuai SKB itu.
“Kita tidak akan diam, tetap melakukan koordinasi dan konsolidasi terus bekerja untuk memproses hal ini, sampai ada putusan resmi dari MK,” tegas Samimia.
Saimima menolak menyebutkan nama dan jumlah PNS mantan napi korup di lingkup Pemerintah Provinsi Maluku. “Ada sebagian data yang sudah masuk, namun belum bisa untuk dipublikasikan. Kita harus menghormati karena mereka punyak hak hidup, hak sama di mata hukum. Jadi misalnya MK putuskan menolak gugatan tersebut, kita langsung eksekusi,” tegas Saimima.
Tidak hanya di tubuh Pemprov Maluku, PNS eks napi korupsi juga tersebar di pemerintah kabupaten/kota di Maluku yang hingga kini masih menunggu putusan MK.
Sebagaimana diketahui, pada September 2018, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengungkapkan fakta yang mengejutkan. Ada 2.674 PNS yang terlibat perkara hukum korupsi.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana menyebutkan, dari 2.674 PNS, yang diberhentikan secara tidak hormat ada 317 orang. Sementara, 2.357 PNS ditemukan masih aktif dan tetap menerima gaji. Padahal, mereka sedang ditahan dan menghadapi kasus hukum korupsi.
Bima mengingatkan, angka tersebut bisa terus bertambah, karena proses verifikasi masih berlangsung. Data itu diperoleh BKN tidak mudah karena pengadilan tidak memberikan datanya langsung ke mereka. BKN kemudian menggandeng Kemenkum HAM untuk memperoleh data-data napi dengan latar belakang PNS.
Menurutnya data PNS bermasalah sudah dilaporkan ke atasannya. Namun, direspons dengan cara berbeda-beda. “Ada yang responsif dengan menyelesaikan, tapi ada juga yang lambat,” kata Bima.
Tantangan lain yang dihadapi BKN yakni bagaimana memverifikasi ribuan data PNS tersebut. Sebab, di dalam putusan pengadilan, tidak ada keterangan NIP. “Kami harus yakin betul supaya sanksi yang kami jatuhkan tidak keliru,” ujar Bima ketika memberikan keterangan pers di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, awal September 2018.
Informasi keterlibatan ribuan PNS dalam perkara korupsi membuat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang ikut menyambangi gedung KPK terkejut. Ia mengaku seperti kebobolan.
“Jujur, kami memang tidak memiliki data terintegrasi, sehingga ASN ini bisa lolos,” ujar Tjahjo di gedung KPK.
Untuk pemilihan PNS eselon II, dilakukan menggunakan tes tertulis. Sedangkan, pejabat eselon III dan eselon IV, biasanya diusulkan langsung oleh kepala daerah ke Mendagri.
Kelakuan kepala daerah ini, kata Tjahjo, kerap mengada-ada. Mereka tetap memilih untuk mengangkat pejabat eselon III dan IV walau tetap bermasalah secara hukum. Kemungkinan, karena hubungan keduanya sudah dekat. “Setelah ASN itu diangkat, kami baru mendapat protes, loh kok si A diangkat? Padahal, dia punya masalah ini dan itu,” tutur Tjahjo.
Tjahjo mengaku tidak habis pikir dengan kejujuran oknum pejabat di daerah. Terkait kejujuran ini, dia juga sempat dibuat malu di depan Presiden Joko Widodo. Saat itu, Kemendagri hendak menunjuk sekretaris daerah di suatu provinsi. Setelah dilakukan berbagai pengecekan data tidak ada masalah. Akhirnya, keluarlah keputusan presiden.
“Namun, nyatanya, sekda tersebut sedang menjadi terdakwa. Saya sangat malu di hadapan Presiden. Keppres itu akhirnya dicabut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” cerita Mendagri.
Ternyata, kata Tjahjo, praktik itu sudah lama terjadi hanya karena tidak ada integrasi data.
Akibat praktik PNS tetap digaji walaupun sudah berstatus terdakwa, negara mengalami kerugian. Tjahjo belum tahu nominal kerugian negara sebab masih membutuhkan penghitungan lebih lanjut. Hal itu diamini Ketua KPK Agus Rahardjo. Untuk melakukan penghitungan potensi kerugian negara masih sulit. “Sebab, untuk mendapatkan datanya masih sulit. Setelah mendapatkan data, maka kami akan menelusuri itu,” ujar Agus. (RUZ/ITC)
Komentar