Gubernur Jamin tak ada Korupsi

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON – Meski Pemerintah Provinsi kini terlilit hutang ratusan miliar rupiah, Gubernur Maluku Said Assagaff menjamin selama pemerintahannya tidak ada korupsi anggaran.

Ucapan Assagaff ini bukan tanpa bukti. Orang nomor satu di Maluku ini mengklaim opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan RI tiga tahun beruntun sejak 2015 menjadi “garansi” anggaran yang dikelola tidak diselewengkan.

“Kalau dikorupsi, pasti ada masalah. Dan pasti hasil audit laporan keuangan daerah BPK tidak memberikan kita opini WTP tiga tahun berturut-turut. Jadi tidak ada masalah keuangan,” ujar Assagaff menjawab Kabar Timur, tadi malam, soal tudingan miring terkait membengkaknya hutang Pemprov Maluku.

Awal menjabat sebagai gubernur, dirinya telah mengambil kebijakan tidak boleh ada hutang. Namun yang terjadi terhitung sejak tahun 2017, hutang Pemprov Maluku mendekati Rp 180 miliar. Menurut Assagaff, adanya hutang Pemprov bukan tanpa sebab. Mulai dari target PAD yang tidak mencapai target. “(Ketua tim anggaran; Sekda) mereka punya perhitungan sudah keliru, belanja ada keliru. Yang pertama,  mereka punya target PAD terlalu tinggi,  akhirnya tidak cukup target,” sebut Assagaff.

Belanja terlalu besar membuat hutang bertambah. Tambahan hutang ini menurutnya tak lepas dari kebijakan Pemerintah Pusat yang memangkas anggaran 10 persen di tiap kementerian/lembaga negara dan Dana Alokasi Khusus (DAK) imbasnya juga bagi Pemprov Maluku. “(Pemotongan itu), makanya kita sangat susah setengah mati,” ujarnya.

Bertambah parah, Pempus menjanjikan dana bagi hasil tapi tak kunjung turun.

Keputusan Pempus mengalihkan guru tingkat SMA dari kabupaten/kota ke Pemprov berdampak pada membengkaknya belanja daerah (bayar gaji guru) tahun 2017. “Jumlah guru SMA 6000 orang, provinsi diminta membayar, dan sekarang pemerintah pusat belum ganti. Ini menjadi hal yang wajar (hutang menjadi bertambah),” ungkap dia.

Anggaran Rp 70 miliar yang Pempus janjikan untuk selesaikan gaji guru tahun 2017 belum dibayar. “Mestinya kan (pemerintah) pusat bilang buat kita bayar dulu  nanti baru pusat ganti,  dan itu kita bayar. Saya tidak tahu angka betul tapi pusat ganti itu masih kurang Rp 70 miliar,” kata mantan wakil gubernur Maluku ini.

Anggaran yang dibayarkan Pempus untuk gaji guru dialokasikan ke dana perencanaan belanja.

Penyebab hutang juga karena keuntungan Bank Maluku masih redup. Deviden dari bank tidak dimasukan dalam PAD, tgapi untuk menambah modal Bank Maluku. “Keuntungan (bank) kita tidak masukkan di pendapatan (anggaran daerah) karena kita mau bikin bank lebih sehat lagi,” ujarnya.

Sesuai aturan perbankan, Bank Indonesia minta batas tahun 2019 modal dasar harus Rp 1 triliun. Jika tidak status bank Maluku akan diturunkan menjadi bank perkreditan. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai pemegang saham tentunya tidak mau seperi itu. Bank Maluku harus berkembang, caranya dengan disuntikan modal.

“Awal jadi gubernur sudah diminta seperti itu.  Waktu itu kita punya baru (modal bank) sekitar Rp 400 miliar lebih.  Dari tahun 2015 kita tidak masukan di pendapatan anggaran daerah kita terus masukkan di Bank Maluku. Tahun 2016, 2017 dan 2018 kita juga masukan ke bank. Sekarang (modal) sudah hampir Rp 800 miliar,” ujar dia.

Kebijakan pemerintahan Joko Widodo memangkas DAK 10 persen berimbas pada keuangan daerah. “DAK dipotong 10 persen, padahal dana itu sudah diberikan kepada kita dan sudah kita siapkan untuk belanja. Makanya kita sangat kesulitan. Banyak orang yang tidak paham soal itu yang jelas di keuangan daerah tidak mungkin terjadi korupsi saya pastikan tidak akan mungkin terjadi,” tegas Assagaff.

Berikut dana bagi hasil tahun 2017, misalnya pajak kendaraan bermotor dan beberapa poin lainnya, Pempus belum menyerahkan ke Pemprov Maluku dampaknya di anggaran 2018.

Kebijakan Pempus mengurangi anggaran menurut Assagaff mesti dimaklumi karena kondisi keuangan negara lagi sulit. “Baru pernah dalam sejarah APBN tahun ini tidak ada pendapatan belanja negara tambahan. Itu berarti tidak ada uang pendapatan anggaran daerah,” ujarnya.

Karena masih terlilit hutang, Pemprov menempuh kebijakan untuk rasionalisasi 38 persen anggaran masing-masing OPD di APBD 2018.

Tahun ini PAD ditargetkan Rp 800 miliar, karena tidak mencukupi diambil langkah rasionalisasi. “semua itu akan tertampung di perubahan anggaran.  Intinya tidak ada penyelewengan anggaran seperti saya saya katakan tadi bagi hasil saja belum. Lalu guru-guru punya gaji belum diganti rugi (Pempus) sekitar Rp 70 miliar,” jelasnya.

Assagaff tidak menginginkan pemerintahan berikut terbebani hutang dari pemerintahan sebelumnya. “Kalau ada hutang, mesti bikin aturan berhutang dan itu tidak masalah itu tinggal dibayar,” ujarnya.

HUTANG BERKURANG

Sementara itu, Kepala Keuangan dan Aset Daerah Setda Provinsi Malukus Lutfi Rumbia memastikan hutang Pemprov Maluku kini telah berkurang dari sebelumnya Rp 177 miliar kini Rp 147,6 miliar.

Menurut Rumbia nilai hutang Rp 177 miliar itu terjadi karena selisih belanja dan pendapatan tahun 2017. “Selisihnya sebesar Rp 177 miliar,” jelasnya.

Selisih itu terjadi dipicu pendapatan Bank Maluku yang tidak mencapai target, pemotongan DAU, DAK sebesar 10 persen, dan pembayaran dana bagi hasil dari Pempus ke Pemprov Maluku yang masih kurang.

“Setelah kita hitung-hitung, hutang-hutangnya riil itu cuma Rp 147,6 miliar dan bukan lagi Rp 177 miliar,” ujarnya.

Sementara hutang ke pihak ketiga (rekanan) yang belum terbayarkan sekitar Rp 27 miliar.

Masih belum dilunasinya pembayaran gaji guru SMA dari Pempus ke Pemprov sebesar Rp 70 miliar, turut mengganggu anggaran Pemprov. “Jumlah total Rp 170 miliar, tapi pusat baru kasih Rp 100 miliar, berarti kita minus Rp 70 miliar,” ujarnya.

Berikut dana bagi hasil tidak mencapai target, tidek diperolehnya deviden Bank Maluku.

Masalah keuangan kembali dating di tahun 2018. Pengelolaan anggaran meleset setelah Pempus mewajibkan daerah membayar gaji 13 dan 14 PNS. “Gaji rutin setiap bulan yang kita bayar untuk 5000-an PNS pemprov Rp 40 miliar lebih,” ujarnya.

Terbitnya Peraturan Presiden memerintahkan daerah membayar gaji 13 dan 14 PNS. “Berarti kita harus membayar Rp 90 miliar untuk gaji 13 dan 14 PNS,” sebutnya.

Gaji 13 dan 14 PNS diambil dari DAU. “Sementara pusat tidak menambah DAU untuk pembayaran gaji 13 dan 14. Ini menambah anggaran keuangan daerah,” jelasnya.

Sementara rasionalisasi di tiap OPD terpaksa dilakukan karena kondisi keuangan daerah. Hutang 2017 dibayarkan 2018. “Itu berarti kita harus memasukkan anggaran itu dalam APBD tahun 2018, jumlahnya sekitar Rp 147,6 miliar. Untuk itu kita harus potong anggaran masing-masing OPD untuk mendapatkan Rp 147, 6 miliar,” ujarnya.

Karena minim anggaran, untuk proyek-proyek yang sudah jalan akan diadendum. “Misalnya tahun ini proyek jalan seharusnya 10 kilometer, kita hanya kerjakan 6 kilometer. Sisanya 4 kilometer dikerjakan tahun depan dengan anggaran baru,” kata Rumbia. (KT)

Komentar

Loading...