Polemik Haji Furoda, Apa Akar Masalahnya?

KABARTIMURNEWS.COM, JAKARTA - Dengan ditutupnya proses visa haji furoda, maka peluang keberangkatan jamaah furoda pada musim haji tahun ini secara resmi tertutup.
Ribuan calon jamaah haji Indonesia yang berharap menunaikan ibadah haji melalui jalur furoda, atau visa mujamalah tahun ini, harus menelan kenyataan pahit.
Program yang selama ini dikenal sebagai jalur nonkuota, karena pemberangkatannya tidak melalui sistem antrean resmi pemerintah, justru menjadi sumber ketidakpastian di tengah minimnya perlindungan dan regulasi yang jelas.
Sebagai informasi, haji furoda adalah skema keberangkatan haji berdasarkan undangan langsung dari Pemerintah Arab Saudi. Skema ini tidak masuk dalam kuota nasional yang ditetapkan melalui kesepakatan bilateral pemerintah.
Oleh karena itu, penyelenggaraannya dilakukan di luar mekanisme resmi Kementerian Agama Republik Indonesia dan menggunakan visa khusus, yang dikenal sebagai visa mujamalah.
Namun pada musim haji 2025 ini, Kementerian Agama RI mencatat, ada lebih dari seribu calon jamaah haji furoda asal Indonesia yang dipastikan batal berangkat. Hal ini menyusul keputusan otoritas Arab Saudi yang telah menutup proses penerbitan seluruh jenis visa haji.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, menyampaikan bahwa penerbitan visa bagi seluruh jenis visa haji, termasuk visa mujamalah, telah resmi ditutup oleh Pemerintah Arab Saudi.
“Saya sudah mendapat konfirmasi dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi bahwa proses pemvisaan sudah tutup per 26 Mei 2025, pukul 13.50 waktu Arab Saudi (WAS),” ujar Hilman di Jeddah, Rabu (28/5/2025).
Hilman juga menambahkan bahwa kuota resmi haji Indonesia tahun ini berjumlah 221.000, yang terdiri atas 203.320 jamaah haji reguler dan 17.680 jamaah haji khusus.
Ia menyebut, visa yang telah diproses untuk haji reguler bahkan melebihi kuota karena adanya jamaah yang batal berangkat setelah visanya terbit.
“Jumlah yang batal berangkat ini bahkan mencapai 1.450 jamaah reguler,” ungkapnya.
Dengan ditutupnya proses visa haji furoda, maka peluang keberangkatan jamaah furoda pada musim haji tahun ini secara resmi tertutup, meninggalkan pertanyaan besar terkait perlindungan konsumen, regulasi penyelenggaraan, dan tanggung jawab penyelenggara perjalanan ibadah haji nonkuota di Indonesia.
Keberadaan haji furoda—atau yang secara resmi dikenal sebagai haji mujamalah—sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Dalam Pasal 18, dijelaskan bahwa terdapat dua jenis visa haji yang dapat digunakan oleh warga negara Indonesia, yakni visa haji kuota nasional yang dikelola pemerintah dan visa mujamalah, yaitu undangan langsung dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Pada pasal yang sama di undang-undang tersebut, disebut bahwa WNI yang menerima undangan visa mujamalah wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Tidak hanya itu, PIHK yang memberangkatkan jamaah dengan visa mujamalah diwajibkan untuk melapor kepada Menteri Agama, yang juga memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara tersebut.
Namun demikian, secara substansi, regulasi ini belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi jamaah furoda. Tidak ada pengaturan teknis terkait mekanisme pengawasan, pertanggungjawaban penyelenggara, hingga perlindungan konsumen bagi jamaah yang gagal berangkat akibat persoalan visa.
Celah inilah yang kini menjadi sorotan utama, dan mendorong wacana perlunya revisi undang-undang untuk menjawab tantangan baru dalam dinamika pelaksanaan ibadah haji di luar kuota resmi.
DORONG REVISI
Gagal berangkatnya ribuan calon jamaah haji furoda tahun ini membuka kembali diskusi krusial mengenai perlindungan hukum bagi warga negara yang mengikuti program ibadah haji melalui jalur nonkuota.
Pemerintah, melalui Kementerian Agama, menyatakan bahwa saat ini revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sedang dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Salah satu poin penting dalam revisi tersebut adalah usulan dimasukkannya klausul pengawasan dan perlindungan terhadap jamaah yang berangkat melalui visa mujamalah atau furoda.
Seiring bersambut, Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menegaskan bahwa meskipun visa haji furoda bersifat business to business (B2B) antara perusahaan travel Indonesia dengan pihak di Arab Saudi, pemerintah Indonesia tetap memiliki tanggung jawab untuk melindungi calon jemaah haji yang gagal berangkat akibat visa tidak diterbitkan.
“Faktanya, visa furoda atau undangan (mujamalah) ini memang ada dan digunakan masyarakat Indonesia. Meski secara formal tidak dikelola pemerintah, negara tetap harus hadir memastikan perlindungan hukum bagi jemaah,” ujar Fikri kepada Parlementaria, di Jeddah, Sabtu (31/5/2025).
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS itu menilai, seperti halnya umrah mandiri yang dibuka luas oleh Arab Saudi, maka dalam konteks haji undangan seperti furoda, sudah sepatutnya ada aturan teknis dan pengawasan dari pemerintah agar jemaah tetap mendapat kepastian dan perlindungan hukum.
“Ini soal perlindungan warga negara, bukan semata urusan bisnis. Harus ada kehadiran negara, agar mereka yang sudah berniat haji dan memenuhi kewajiban keuangan, tetap terlayani dengan baik,” jelas Fikri.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Muhammad Husni, anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Gerindra. Menukil laporan situs resmi DPR, Husni menilai bahwa praktik pelaksanaan haji furoda saat ini menimbulkan berbagai persoalan serius, terutama bagi calon jamaah yang sudah menyetorkan biaya penuh namun gagal diberangkatkan akibat visa tidak kunjung diterbitkan.
“Imbasnya cukup besar. Pertama, jamaah tidak bisa berangkat karena visa haji furoda tidak keluar. Kedua, biro travel yang telah mempersiapkan akomodasi seperti tiket pesawat, hotel, dan layanan lainnya, akhirnya mengalami kerugian besar karena semua persiapan menjadi sia-sia,” ujarnya pada Sabtu (31/5/2025).
Menyikapi hal ini, Husni menyatakan bahwa Komisi VIII DPR RI akan mendorong percepatan revisi Undang-Undang Haji agar mencakup aturan teknis mengenai penyelenggaraan ibadah haji melalui jalur undangan. Dengan demikian, keberadaan jalur furoda diakui secara hukum dan diatur secara menyeluruh untuk menghindari kerugian yang sama di masa mendatang.
Ia juga menekankan pentingnya pertanggungjawaban dari biro perjalanan yang telah menjanjikan keberangkatan kepada para jamaah. Menurutnya, biro travel tidak hanya berkewajiban menjelaskan risiko, tetapi juga harus mengembalikan dana jamaah yang telah disetorkan apabila gagal diberangkatkan.
Lebih dari itu, ia juga mendorong pendekatan diplomatik antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk menyusun mekanisme koordinasi yang lebih tertib dan transparan terkait pelaksanaan haji furoda. Dalam jangka panjang, langkah ini dinilai penting untuk memastikan bahwa jalur furoda tidak terus-menerus menimbulkan ketidakpastian dan keresahan di tengah masyarakat.
HARUS LEWAT MEKANISME
Di tengah polemik pemberangkatan jamaah haji furoda tahun ini, praktisi pelayanan haji dan umrah, Ade Marfuddin, menegaskan bahwa jalur haji furoda sejatinya bukanlah fenomena baru dalam penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia.
Namun, karena tidak berada dalam sistem kuota nasional yang terstruktur, keberangkatan jamaah bergantung pada penerbitan visa oleh pihak Arab Saudi yang tidak dapat dipastikan waktunya.
“Haji furoda atau mujamalah ini sudah berjalan bertahun-tahun. Secara legal, jalur ini sah karena menggunakan visa resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Hanya saja, persoalan yang sering muncul adalah soal visanya—yang sifatnya sangat bergantung pada keputusan otoritas Saudi setiap tahun,” jelas Ade saat dihubungi Tirto, Selasa (3/6/2025).
Lebih lanjut, Ade mengaitkan kebijakan penutupan visa mujamalah tahun ini dengan agenda besar Saudi Vision 2030, yakni reformasi menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Arab Saudi, termasuk digitalisasi layanan dan penguatan kontrol terhadap jumlah jamaah.
Menurutnya, Pemerintah Arab Saudi kini tengah berusaha menertibkan sistem visa haji yang selama ini kerap disusupi oleh keberangkatan nonresmi yang sulit dipantau.
“Salah satu yang dianggap sering mengganggu aspek layanan haji adalah munculnya haji furoda atau mujamalah yang tidak terkontrol. Mereka tidak ingin lagi ada jamaah yang masuk tanpa basis data dan dokumentasi yang valid. Ini langkah serius dalam mewujudkan visi 2030 mereka,” ujarnya.
Mengenai posisi pemerintah Indonesia, Ade menyampaikan bahwa meski visa mujamalah bukan bagian dari kuota nasional, karena telah diatur dalam undang-undang, maka negara tetap memiliki tanggung jawab untuk memantau dan melindungi warga negara yang mengakses jalur ini.
Hanya saja, ia juga memahami bahwa keterbatasan sumber daya dan fokus pengelolaan kuota resmi membuat ruang intervensi pemerintah menjadi sangat terbatas.
Lebih lanjut, Ade menegaskan bahwa karena visa furoda adalah visa resmi, maka keberadaannya perlu diatur secara tegas dalam Undang-Undang Haji, termasuk aturan turunannya.
Menurutnya, penyelenggaraan jalur ini seharusnya dilakukan melalui mekanisme resmi pemerintah, agar prosesnya menjadi transparan dan akuntabel.
“Harus dimasukan dalam klausul pasalnya bahwa mekanisme haji furoda harus melalui pemerintah. Atau kalau ini B2B apakah lewat kementerian terkait. Kalau tidak ditertibkan, bisa banyak yang dirugikan travel. Jamaah rugi finansial dan juga psikologisnya,” ujarnya.
Lalu, bagaimana tanggapan Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) soal masalah ini?
RESPON ASOSIASI
Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) menyatakan keprihatinan mendalam atas gagalnya keberangkatan calon jamaah haji furoda tahun ini.
“Saudi Arabia mempunyai otoritas penuh dalam penyelenggaraan haji dan punya otoritas mengeluarkan visa furoda atau tidak dan tidak selalu kebijakannya harus diumumkan terlebih dahulu,” ujar Sekretaris Jenderal AMPHURI, Zaky Zakaria Anshary, kepada Tirto, Selasa (3/6/2025).
Di sisi lain, AMPHURI terus menjalankan perannya dalam memberikan arahan kepada para penyelenggara anggota, terutama yang menawarkan program haji furoda. Zaky menyebut, pihaknya tak henti-hentinya melakukan sosialisasi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan haji nonkuota.
“AMPHURI tidak bosan-bosan memberikan arahan dan informasi mengenai penyelenggaraan haji khusus dan furoda. Bahkan, di rapat anggota yang dihadiri Dirjen PHU Kemenag, bulan Syawal 30 April 2025, AMPHURI sudah menjelaskan mengenai kondisi furoda tahun ini,” ujarnya.
Sebagai bentuk tanggung jawab, AMPHURI juga telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh anggotanya. Surat itu meminta agar penyelenggara menyelesaikan urusan dengan para jemaah secara baik, khususnya terkait pengembalian dana.
AMPHURI juga menyarankan agar jemaah yang gagal berangkat melalui jalur furoda dapat dialihkan ke program Haji Khusus atau Plus, yang secara prosedural lebih terjamin visanya.
“Biasanya kalau furoda refund-nya 100 persen tanpa potongan. Mengenai kerugian travel tentu berbeda-beda, ada yg rugi dan ada yg tidak. Oleh karenanya, jamaah juga perlu kasih waktu untuk travel mengembalikan dana, karena ada travel-travel yang perlu waktu minta pengembalian dana dari airlines atau hotelnya,” ujarnya.
Terkait wacana revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, AMPHURI menyambut positif usulan tersebut. Zaky berharap pemerintah dapat melibatkan asosiasi-asosiasi resmi dalam proses perumusan regulasi yang baru.
Ia juga menegaskan, meskipun jalur haji furoda bersifat nonkuota, keberadaannya sudah disebutkan dalam UU Haji. Hanya saja, kata dia, perlu ada penguatan dari sisi aturan teknis dan implementasi, termasuk mekanisme pengawasan dan perlindungan bagi jemaah.
"Haji adalah cita-cita umat Islam di seluruh dunia. Banyak calon jemaah memilih jalur furoda karena faktor usia, kesehatan, atau kesiapan finansial. Mereka tidak mengambil kuota haji reguler maupun khusus,” ujarnya.
“Jamaah haji furoda/mujamalah segmennya menengah ke atas yang tentu bagian dari masyarakat Indonesia, berharap bapak presiden dan pemerintah juga bisa mengakomodir dan mengatur lebih baik penyelenggaraan haji furoda/mujamalah ini,” tutup Zaky.
Terkait kritik soal revisi UU Haji dan regulasi pengelolaan haji furoda, sebelumnya, Menteri Agama (Menag) RI, Nasaruddin Umar, menyatakan, proses penerbitan visa untuk jemaah haji nonkuota masih menunggu keputusan dari Pemerintah Arab Saudi. Hal ini, kata dia, karena urusan visa Furoda bukanlah kewenangan pemerintah Indonesia.
Senada, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Hilman Latief, menyatakan hingga Minggu (1/6/2025), pihaknya belum menerima informasi resmi terkait penerbitan visa haji furoda.
Ia menegaskan bahwa hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan otoritas Arab Saudi.
"Perlu kami sampaikan bahwa terkait dengan beredarnya informasi pembukaan visa furoda pada hari Minggu sebagaimana yang tersebar di media sosial, kami sampaikan bahwa Pemerintah Indonesia sampai hari ini belum mendapatkan informasi apa pun terkait dengan hal tersebut,” ujar Hilman saat jumpa pers di Makkah, Minggu (1/6/2025) dini hari.
Tirto juga mengontak Direktur Layanan Haji Dalam Negeri pada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Muhammad Zain pada Selasa (3/6/2025).
Senada, ia memastikan bahwa hal ini di luar kewenangan kementerian. "Mohon maaf, untuk visa furoda di luar kewenangan kami," katanya. (TIRTO)
Komentar