Gubernur Tidak Hadiri Paripurna, Pakar : Tak Perlu Dipermasalahkan
KABARTIMURNEWS.COM.AMBON - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku menggelar Rapat Paripurna dalam rangka penyampaian rancangan peraturan daerah, tentang Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Pelaksanaan APBD Provinsi Maluku Tahun anggaran 2022, Selasa (4/7) kemarin.
Rapat yang digelar di Ruang Sidang Utama Baileo Karang Panjang itu, Gubernur Maluku Murad Ismail tidak hadir. Ia diwakili Wakil Gubernur, Barnabas Orno dan Sekda Sadali Ie.
Ketidakhadiran Gubernur dalam rapat paripurna tersebut, menuai protes para legislator di DPRD Maluku. Mereka menilai Murad tak menghargai lembaga legislatif.
Pakar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara asal IAIN Ambon, Nasaruddin Umar mengatakan, ketidakhadiran Gubernur dalam sidang Paripurna merupakan hal biasa dan lazim sehingga tidak perlu dipermasalahkan.
Dikatakan, ketidakhadiran Gubernur bukan tanpa alasan. Gubernur memiliki kesibukan yang tidak sedikit, tugas dan tanggungjawab selaku Gubernur amat berat.
Gubernur, lanjutnya, dalam sistem pemerintahan memiliki dua kedudukan pemerintahan secara bersamaan, yaitu: gubernur selaku kepala daerah dan gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah.
“Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gubernur setiap saat harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Bahkan harus ke Jakarta setiap saat jika dipanggil Presiden maupun Menteri dalam fungsi-fungsi pemerintahan,” paparnya.
Dalam kedudukannya sebagai kepala daerah, Gubernur memiliki kedudukan yang sejajar dengan DPRD, maka dalam konteks itu harus dipahami Gubernur bukanlah sub ordinasi kekuasaan dari lembaga DPRD, serta tidak berada dibawah kekuasaan dan tidak bertanggungjawab kepada DPRD, tetapi mitra sejajar dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan daerah, kata dia.
Tugas-tugas ini, lanjut dia, dapat dilihat dalam kewenangan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) merupakan kewenangan bersama, sebab itu diatur dalam Pasal 241 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah.
“Bahwa pembahasan rancangan Perda dilakukan DPRD bersama kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama,”ungkapnya.
Menurutnya, ketentuan tersebut secara explisit jelas bahwa pembahasan Perda adalah kewenangan bersama, maka tidak diatur mekanisme diterima atau ditolak, yang ada adalah persetujuan bersama.
“Seperti diatur dalam Pasal 242 ayat (1) UU Pemda. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama DPRD dan kepala Daerah disampaikan pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi Perda,”ujarnya.
Karena itu dalam konteks sidang Paripurna DPRD, adalah sidang Paripurna penyerahan rancangan Perda pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2022 telah diatur mekanismenya hanya dua yakni: Dibahas dan disetujui bersama.
Hal ini, kata dia, ditegaskan dalam pasal 320 ayat (1) UU Pemda bahwa Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD, dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Selanjutnya ayat (4) Rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas kepala daerah bersama DPRD untuk mendapat persetujuan bersama. “Maka tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang sifat seperti forum peradilan bersalah dan tidak bersalah apalagi di tolak dan tidak ditolak,”paparnya.
Karena itu, ketidakhadiran Gubernur dalam pengajuan rancangan Perda bukan merupakan perkara serius, hanya mekanisme administratif yang dapat dimandatkan kepada wakil Gubernur atau Sekda. Jika gubernur berhalangan hadir, posisi dan kedudukan Gubernur dalam konteks menghadiri sidang Paripurna DPRD, harus dibaca dan dicermati dalam kerangka yuridis untuk bertindak dan bertugas.
Masih menurut dia, dalam rangka melaksanakan kewenangan yang diberikan Gubernur untuk mengajukan rancangan Perda sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat 2 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur Gubernur sebagai Kepala Daerah otonom antara lain :
- Mengajukan rancangan perda, B. Menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan DPRD, C. Menetapkan perkada dan keputusan Kepala daerah, D. Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat, E. Melaksanakan wewenang lain berdasarkan peraturan perudang-undangan.
Dalam konteks mengajukan rancangan perda tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD juga, telah sejalan dengan ketentuan Pasal 320 ayat (1) dan ayat (4) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dan itu telah mengatur bahwa Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemriksa Keuangan paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir.
“Ayat (4) menyebutkan, Rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas kepala daerah bersama DPRD untuk mendapat persetujuan bersama,”jelasnya.
Selanjutnya untuk melakukan pengajuan dan pembahasana rancangan perda tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana ketentuan Pasal 320 ayat (1) dan (4) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Gubernur Maluku memberikan mandat kepada sekertaris daerah maluku untuk hadir dalam paripurna DPRD, jadi tak perlu dipermasalahkan,”katanya.
Kehadiran sekertaris daerah yang telah mendapat mandat dari Gubernur Maluku, adalah hal yang lazim dan lumrah dan dapat dibenarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kaidah hukum administrasi.
Secara hukum adminstrasi telah diatur pemberian kewenangan yang bersifat mandat dimana pejabat atau Badan pemerintahan dapat memberikan kewenangan kepada bawahannya.
Itu juga sudah dijelaskan dalam Pasal 14 ayat (3) UU 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa Badan dan/atau Pejabat pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Kewenangan mandat yang diberikan kepada sekertaris daerah sudah tepat sebab, kedudukan sekretaris daerah sebagai pembantu Gubernur telah diatur dalam Pasal 213 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menerangkan bahwa Sekertariat Daerah dipimpin oleh sekertaris daerah.
“Tugas dari sekertaris daerah adalah membantu Kepala Daerah yaitu Gubernur dalam penyusunan kebijakan dan pengkoordinasian administrasi terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administrasi,”terangnya.
Hal yang sama diatur dalam PP No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Pemerintah Pusat dalam Pasal 2, bahwa Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dibantu oleh Perangkat Gubrnur, dalam hal ini perangkat daerah provinsi dipimpin oleh Sekertaris Gubernur.
“Sekertaris Daerah Provinsi karena jabatannya diangkat sebagai Sekertaris Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,”papar pakar Hukum Tata Negara itu.
Olehnya itu, tambah dia, dalam konteks menghadiri sidang Paripurna hal penyerahan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun 2022, kehadiran Sekda harus dipandang sebagai penerima mandat Gubernur melaksankan salah satu kewenangan Gubernur yang diberikan undang-undang .
Hal itu yakni mengajukan rancangan peraturan daerah yang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hukum administrasi pemerintahan yang berlaku. “Ini juga sudah diatur dalam PP No. 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal ayat (1) Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan,” paparnya lagi.
Dikatakan, pada Pasal 4 ayat (3) ditegaskan dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Kepala Daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, penganggarat: pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada pejabat perangkat daerah,”terangnya.
Selanjutnya, pasal 4 ayat (4) Pejabat Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: a. sekretaris daerah selaku koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah; b. kepala SKPKD selaku PPKD; dan c. kepala SKPD selaku PA.
Menurutnya, kehadiran sekda dari sisi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah juga lebih tepat. Pasalnya,Sekda merupakan koordinator pengelolaan keuangan daerah dan lebih paham secara teknis pelaksanaan anggaran APBD yang telah berjalan, hal ini ditegaskan dalam pasal 6 ayat (1) Sekretaris daerah selaku koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (4) huruf a.
Dijelaskan Sekda mempunyai tugas: koordinasi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah; Koordinasi di bidang penyusunan rancangan APBD, rancangan perubahan APBD, dan rancangan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tegasnya.
Dalam konteks kehadiran Sekda, tambah dia, selain sah dari sisi sumber kewenangan mandat Gubernur, juga sesuai kewenangan dan tupoksinya sebagai koordinator pengelolaan keuangan daerah, berdasarkan PP No. 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Jadi ketidakhadiran Gubernur dan pelimpahan kewenangan kepada Sekda, konstitusional dan sudah sesuai prinsip hukum administrasi pemerintahan dan kaidah dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,”tutupnya.(KTE)
Komentar