Giliran MCW Desak Penyidik Usut Ketua DPRD SBB di Kasus Kapal
KABARTIMURNEWS.COM.AMBON - Gagal rekomendasi BPK RI, proyek kapal harus putus kontrak. Ketua DPRD menyetujui anggaran termin dua dicairkan. Akhirnya muncul korupsi.
Peran Ketua DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), patut diusut. Tidak ada alasan bagi penyidik untuk tidak membuka kasus ini secara terang. Pasalnya, Abdul Rasyid Lisaholith, dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPRD telah melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian negara di proyek pengadaan kapal operasional pemerintah setempat bernilai miliaran rupaih.
“Delapan orang tersangka di kasus ini, belum menyentuh rasa keadilan. Mereka yang dijadikan tersangka juga merupakan bawahan yang bekerja mengikuti perintah. Penyidik harus mampu mengungkap aliran dana dari proyek itu, sebetulnya dinikmati siapa? Ini yang harus diusut, agar penikmati dana korupsi proyek kapal juga harus bertanggung jawab secara hukum,” kata Direktur Utama Moluccas Corruption Watch (MCW) Maluku, S. Hamid Fakaubun, Kepada Kabar Timur, Kamis (22/6).
Menurutnya, mengusut aliran dana dari kasus kapal yang sementara telah ditetapkan delapan orang sebagai tersangka, akan memuaskan rasa keadilan publik. “Jangan sampai para penikmat dana korupsi kapal dibiarkan menghirup udara bebas. Sementara mereka yang bekerja atas perintah atasan ini, diminta pertanggung jawabkan hukum, padahal mereka bukan penikmat dana korupsi,” sebutnya.
Kendati begitu, Hamid mengaku, Tim Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku, akan bekerja profesional dalam mengungkap kasus ini. “Saya masih meyakini, penyidik akan mengusut kasus ini sampai tuntas, termasuk pihak-pihak yang ikut menikmati aliran dana korupsi kapal ini,” cetus Hamid.
Dikatakan, peran Ketua DPRD dalam kasus ini cukup signifikan dan telah masuk pada rana tindakan rasuah, sehingga penyidik sudah pasti mengetahuinya. Fakta-fakta keterlibatan Ketua DPRD SBB, dalam perannya di kasus dugaan korupsi pengadaan kapalRp 7,1 Miliar tahun 2020 sudah menjadi rahasia umum.
“Peran Ketua DPRD SBB menyetujui pencairan dana termin dua Rp. 1.423.475.00, yang dilakukan tanpa persetujuan kolektif lembaga DPRD. Apalagi anggaran tersebut tidak ada dalam pada APBD 2021, tapi dipaksakan cair mendahului APBD Perubahan 2021,”bebernya.
Dengan begitu, lanjut dia, ketika peran Ketua DPRD yang sudah cukup terang menyebabkan kerugian negara pada proyek kapal, tidak masuk dalam barisan tersangka, maka penanganan kasus ini akan dinilai tidak ada rasa keadilan bagi tersangka-tersangka lainnya.
“Anggaran Rp 7,1 miliar. Kerugian negara Rp 5.072 miliar, ini korupsi besar. Menurut kami motif ketua DPRD SBB cari untung, karena berani memaksa anggaran yang tidak ada di APBD agar diadakan,” katanya.
Keterlibatan Ketua DPRD SBB bukan tanpa alasan. Pasalnya, sebelum dilakukan pencairan dana termin dua, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2020 telah mengeluarkan rekomendasi terkait proyek pengadaan kapal itu.
Dalam rekomendasi BPK 2020, jelas tertera bahwa harus dilakukan pemutusan kontrak serta PT Khairos Anugerah Marina selaku perusahaan pemenang tender, mesti membayar denda uang atas keterlambatan dan gagalnya pekerjaan proyek.
“Faktanya, tidak ada tindaklanjut rekomendasi BPK. Tapi, Ketua DPRD justeru “merancang” menyetujui pencairan dana termin dua. Dengan begitu tidak adil bila yang bersangkutan tidak tersentuh hukum dalam kasus ini,” papar Hamid.
Ketua DPRD SBB dihubungi Kabar Timur via WhastApp mengkonfirmasi keterlibatan dirinya dalam kasus tersebut, enggan menjawab panggilam telepon. Berulang kali, yang bersangkutan dihubungi, kendati tak meresponya. (KTE)
Komentar