Warga Adat Bati “Sasi” Dua Perusahaan Migas

KABARTIMURNEWS.COM. AMBON-Bagi warga Bati, aktivitas drilling seperti melubangi ubun-ubun anak cucu di wilayah Bati.
Puluhan warga Negeri Bati Kelusy dan Bati Tabalean, Kecamatan Kian Darat, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) menggelar sasi. Masyarakat adat melarang aktivitas dua perusahaan migas masing-masing PT Balam Energy & PT BGP Indonesia di kawasan dusun Bati Tabalean.
Warga melarang aktivitas perusahaan mengingat di kawasan itu banyak situs sejarah yang turun-temurun dijaga. Selain memiliki nilai historis, kawasan tersebut diyakini sakral oleh masyarakat setempat.
Pemasangan sasi menggunakan janur kuning dilakukan Rabu (27/7) oleh tim kuasa hukum diketuai Irwan Mansyur, disaksikan tetua adat setempat. Sebelumnya tetua adat berunding sebelum sepakat menggelar sasi adat.
“Perusahaan harus angkat kaki dari sini. Tidak boleh beroperasi di tanah Bati, sampai seterusnya. Karena perusahaan masuk ikut mau, tanpa persetujuan masyarakat Bati,” kata tokoh agama Yunis Rumalean.
Larangan adat ini diakui sebagai protes terhadap kedua perusahaan migas. Sekaligus melindungi potensi alam di perut bumi Gunung Bati dari aktivitas dua perusahaan itu.
“Katong palang (sasi) ini, adalah palang adat. Perusahaan harus bayar ganti rugi tanah yang sudah dilobang (dibor),” kata Yunis.
Selain sasi adat, warga mendesak pihak perusahaan mengganti rugi atas tanah yang sudah dibor (drilling). Bagi warga Bati, aktivitas drilling tersebut seperti melubangi ubun-ubun anak cucu di wilayah Bati.
Atas kejahatan yang dilakukan PT Balam Energy dan sub kontraktornya PT PT Bureau Geophysical Prospecting (BGP) Indonesia di tanah Bati, warga menilai hal ini pelanggaran adat dan harus ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang terjadi.
Terkait itu warga menuntut denda uang tunai kepada pihak perusahaan yang telah melubangi tiga titik bor dengan tuntutan ganti rugi tiap lubang dibayar Rp. 1 miliar. “Karena pelanggaran adat, perusahaan harus bayar denda satu lubang satu miliar rupiah,” ujarnya.
Imam masjid Bati Tabalean itu menjelaskan masyarakat Bati menyesalkan aktivitas perusahaan tanpa pemberitahuan, mestinya sebelum masuk meminta persetujuan masyarakat Bati lebih dulu.
“Perusahaan masuk, masyarakat di dusun Bati Kelusy tidak tahu. Masuk ikut mau, tanpa persetujuan Bati Kelusy yang punya hak. Masuk harus ada izin dari kita, dan persetujuan dari kita semua,” ujar tokoh Bati lainnya.
"Siapa lepas Sasi ini, leluhur akan menyaksikannya. Kami hanya mempertahankan tanah adat kami tidak dirusak. Allah jadikan tanah ini ada dengan leluhur kami," ucap salah seorang tetua adat yang histeris saat ikut memasang tanda larangan tersebut. (KTA)
Komentar