Temar Kritik Gagagasan Murad-Orno Retorika Belaka

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Pengamat politik, Bitto Temar yang juga mantan Bupati KKT, dua periode ini menilai gagasan baik Gubernur Maluku, Murad Ismail dan Wakil Gubernur Maluku, Barnabas Orno selama memimpin hanya retorika belaka.

Kritikan ini disampaikan Temar dalam rilisnya yang diterima redaksi Kabar Timur, Selasa, tadi malam. “Semula saya menaruh harapan kepada gubernur dan wakil gubernur ketika dengan teliti mempelajari sejumlah program prioritas mereka,” tulis Temar.

Program tersebut, lanjut dia, semisal rencana pembangunan ibukota baru provinsi di Pulau Seram, upaya menata birokrasi yang "berwajah" Maluku, program pembangunan infrastruktur, dan seterusnya.

Secara politik, program-program tersebut sebetulnya merupakan apa yang dapat disebut sebagai "derivasi ideologis" program perjuangan politik PDI Perjuangan. Jadi misalnya, perwajahan birokrasi yang mencerminkan keberagaman Maluku hendak mewujudkan beberapa hal sekaligus dari cita-cita kebangsaan PDI Perjuangan.

Pertama, menurut dia, cita-cita tentang keadilan distributif. Sebagai provinsi kepulauan, tentu saja begitu banyak subsuku dan komunitas di Maluku. “Maka melalui rekrutmen pejabat struktur yang berasal dari daerah-daerah, kita berharap bahwa birokrasi lokal kita benar-benar mewajahkan pluralitas Maluku,” kata Temar.

Sayangnya gagasan baik seperti ini akhirnya sekadar retorika belaka. “Terdapat kecenderungan mewajahkan birokrasi patrimonial. Sanak keluarga atau orang-orang dekat gubernur dan wakil gubernur yang mendominasi jabatan-jabatan struktural birokrasi pemerintahan,” tulisnya lagi.

Kedua, tulis Temar, kecenderungan membangun birokrasi patrimonial seperti yangdirinya kemukakan di atas, praktis dengan sendirinya tidak dapat memperbaiki performa pemerintahan dan pembangunan daerah, tetapi juga sekaligus "menampar" begitu keras klaim ideologis PDI Perjuangan sebagai partai kebangsaan.

Ketiga, lanjut Temar, fraksi sebagai "sisi tajam" perjuangan partai malah bungkam terhadap kebijakan penataan birokrasi patrimonial tadi. Tak hanya menampar klaim ideologis saja. Belajar dari peristiwa kelam 1999, konflik Maluku, telah lahir kesadaran kultural untuk merajut Maluku dalam harmoni-harmoni lama yang ditenun secara baru dalam diksi "ale rasa beta rasa", gandong dan seterusnya.

Tetapi dengan wajah birokrasi patrimonial yang dibangun gubernur dan wakil gubernur saat ini, bukan tidak mungkin melahirkan sterotipe baru yang potensial merugikan Maluku di masa depan.
“Pada titik ini, obsesi PDI P Maluku untuk menjadi kekuatan politik dominan di Maluku, rasanya tidak cukup berdasar karena antara klaim dan cita-cita ideologis sebagai partai yang bercorak kebangsaan dengan pengejawantahan dalam program aksi politik sama sekali tidak koresponden,” katanya.

Paradoks seperti ini, tambah Temar, makin menemukan signifikansi empirik pada pelbagai publikasi resmi pemerintah yang memosisikan Maluku pada urutan paling belakang semua aspek pembangunan daerah di Indonesia.

“Sebagai demikian, banyak sekali orang bertanya adakah cukup alasan bagi gubernur dan wakil gubernur untuk menominasikan diri sebagai incumbent pada perhelatan politik yang akan datang,” tutup Temar bertanya. (KT)

Komentar

Loading...