Minta Politisi Belajar Nature Politik Sebagai Seni
KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Politisi senior PDI Perjuangan, Bitzael S Temmar mengaku menyayangkan penggunaan diksi dalam keputusan politik termasuk komunikasi publik yang disampaikan politisi maupun pejabat di Maluku.
"Sudah saatnya aktor-aktor politik lokal belajar mengenali paling sedikit nature politik sebagai seni (art). Namanya seni selalu berurusan bahkan beririsan dengan keindahan. Keindahan itu antara lain berkaitan dengan pilihan diksi yang diabstraksi sedemikian rupa sehingga tidak seronok dan kampungan. Sebab jika demikian secara tidak terhindarkan mengajari publik juga untuk meniru.
Proses imitasi ini yang membuat politik lokal kita tampak begitu buruk bahkan cenderung primitif," kata Temmar kepada Kabar Timur via seluler, Selasa (21/12).
Menurutnya, masih segar diingatan publik Maluku, bagaimana seorang Gubernur Murad menggunakan diksi-diksi yang tidak patut dalam merespons pertanyaan wartawan. Selain itu, Ketua Fraksi PDI P Maluku, Benhur G Watubun bahkan Fraksi Partai Golkar DPRD Maluku pun terjebak dalam pilihan diksi yang sama buruknya.
Lihat saja, klaim Ketua Fraksi PDI Perjuangan tentang pembagian participating interest (PI) 10 persen Blok Masela sebagai performa Gubernur Murad dan bukan mantan Gubernur Assagaf atau Karel Ralahalu. Klaim seperti dengan diksi yang cenderung meremehkan, tentu saja cacat logika penalaran. Ini juga pertanda betapa klaim ini menggambarkan ketidaktahuan kerja pemerintahan sebagai satu kontinum.
Artinya, kalau baru sekarang pembagian PI 10 persen blok Masela diputuskan pemerintah, berarti timely. Itu berarti proses pendalaman dan pilihan keputusan telah dilakukan sebelumnya. Sejak Maluku dipimpin Ralahalu kemudian Assagaf. Karena dalam proses panjang itu, semua pertimbangan sudah dilakukan, baru sekarang diputuskan.
Hanya saja, Keputusan itu terjadi pada era MI sebagai gubernur. Jadi apakah hanya karena keputusan pemerintah tentang pembagian PI terjadi pada era kepemimpinan gubernur sekarang, logiskah jika kemudian diklaim sebagai prestasi dengan mengkomparasikan terhadap gubernur-gubernur sebelumnya sebagai seolah-olah tidak berprestasi?
"Jadi terlampau prematur atau dalam diksi standar akademik dapat disebut sebagai loncatan generalisasi jika melakukan klaim seperti pak Benhur. Dan klaim seperti ini buruk karena juga menebar edukasi publik yang menyesatkan.
Selain itu, juga sama halnya dengan Fraksi Golkar dalam kata akhir politiknya. Disana, Fraksi Golkar menilai jika pemerintahan Gubernur-Wakil Gubernur, Murad Ismail-Barnabas Orno, sebagai yang terburuk dalam sejarah pemerintahan daerah di Maluku. Pilihan diksi terburuk kalau pun faktual, tidak pada tempatnya digunakan secara vonistik dalam komunikasi publik.
Seharusnya fraksi partai Golkar memiliki kecerdasan untuk mengabstrasi penilaian politik atas kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur sedemikian rupa sehingga di satu pihak mendorong perbaikan tanpa merasa direndahkan, tetapi pada pihak lain mengedukasi masyarakat politik tentang bagaimana menyampaikan pesan politik yang kritis sekali pun tanpa merendahkan.
Mantan Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) atau sekarang Kabupaten Tanimbar itu menyatakan, terus-terang, setelah tidak lagi jadi partisan, sambil luntang-lantung, dirinya justru menikmati wajah politik lokal Maluku yang benar-benar binal.
"Hari-hari ini saya lagi menikmati ikan bakar di negeri kami, Tanimbar. Nyaris tak tertarik berinteraksi dengan siapa pun karena keasyikan menikmati wajah kusam publik di negeri kami. Kelak, setelah di Ambon, saya ingin berbagi di medsos. Ada gejala yang membuat saya tersenyum. Kesalehan dan kebringasan hadir tumpangsuh dan mewajah tanpa ada yang merasa bahwa situasi ini benar-benar jorok," ucapnya. (KTY)
Komentar