Pengungsi Pelauw Minta Negara Adil

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Konflik saudara Februari 2012 hingga kini masih menyisahkan pilu.

Konflik antar negeri di Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Propinsi Maluku kerap berakhir dengan perdamaian.

Meski awalnya terjadi gelombang pengungsi dari konflik itu, tapi kelak juga mereka akan balik ke negeri asal.

Disana, mereka akan kembali merajut tali silaturahim yang sebelumnya sempat renggang. Hidup dalam kedamaian dan kasih sayang antar satu dengan yang lain.

Misalnya seperti yang pernah dialami sejumlah negeri tetangga seperti, Negeri Morella-Mamala, Pelauw-Kailolo, Porto-Haria, Hitu Messing-Hitu Lama dan lain sebagainya.

Masyarakat pada negeri-negeri ini sudah hidup berdampingan seperti sedia kala. Sayang, hal yang sama tidak terjadi pada pengungsi Pelauw, Kecamatan Haruku, Malteng.

Konflik saudara yang terjadi pada Februari 2012 silam di negeri Pelauw, masih menyisakan pilu. Betapa tidak, hingga terhitung satu dekade berlalu, tak ada perhatian negara khususnya Pemerintah Malteng terhadap para pengungsi di negeri tersebut.

Ratusan kepala keluarga (KK) hingga kini masih tinggal dan menetap di Negeri tetangga Rohomoni dan di kawasan Air Besar (Arbes) Negeri Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon.

10 tahun hidup terombang-ambing di negeri orang, Pengurus Besar Angkatan Muda Hatuhaha Waelapia Pelauw kemudian melakukan aksi turun jalan di Kota Ambon, Kamis (9/12).

Aksi damai yang dilakukan tepat di kawasan Gong Perdamaian Dunia dan Gedung DPRD Maluku itu, untuk menuntut Pemda Malteng dan Pemerintah Maluku merespon nasib mereka yang selama ini diterlantarkan begitu saja.

"Sudah sekian upaya kami lakukan agar kami bisa kembali ke negeri asal Pelauw. Tapi, kami melihat tidak ada inisiatif dan pro aktif dari Pemda Malteng dan Pemerintah Maluku atas upaya kami ini. Makanya, hari ini, kami gelar aksi damai menuntut itu," kata koordinator aksi, Erdy Rizal Tualepe dalam orasinya.

Dia menyebut, negara dalam hal ini Pemerintah Daerah, DPRD, TNI/Polri, gagal. Ini bisa dilihat dari tidak adanya perhatian serius negara terhadap pengungsi Pelauw. Padahal, waktu 10 tahun mencari keadilan merupakan waktu yang cukup lama.

"Kita sudah mendatangi semua pemangku kebijakan di daerah ini baik Gubernur Maluku, Bupati Malteng, DPRD Maluku, DPRD Malteng, Kapolda Maluku, Pangdam XVI/Pattimura, Kapolresta Ambon, Dandim 1504 Binaiya dan masih banyak lagi. Hasilnya, mengecewakan," sebutnya.

Massa aksi juga menuntut pemerintah melakukan proses rekonsiliasi baik secara adat dan atau sosial. Bahkan meminta DPRD Provinsi Maluku dapat mendorong Pemda Malteng untuk menjalankan tahapan pemulihan pasca konflik, yakni gelar rekonstruksi agar masyarakat pengungsi Pelauw bisa pulang dan membangun kembali rumah pribadi serta rumah adat yang terbakar akibat konflik sosial Pelauw 2012 silam.

"Bahwa terkait penelantaran Negara dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Malteng telah melakukan dua pelanggaran hak asasi manusia. Pertama act by commission atau pelanggaran kedua adalah pembiaran atau act by omission,”ujarnya.

Dengan itu, pihaknya berharap persoalan pengungsi dapat diselesaikan dengan arif dan bijaksana serta mengedepankan rasa keadilan dan kemanusian. (KTY)

Komentar

Loading...