Perkara Penipuan, Tiga Pimpinan Yayasan Maluku Flight Jadi Pesakitan

KABARTIMURNEWS.COM. AMBON-Tempatnya dekat SPBU kawasan Transit Passo Kecamatan Baguala. Pakai embel-embel Yayasan Sekolah Penerbangan pula, tapi ujung-ujungnya pidana.

Kasus yayasan ilegal ini akhirnya bergulir jadi perkara di Pengadilan Negeri Ambon.Lembaga yang seharusnya hanya level kursus dengan outputnya berupa sertifikat ini malah menerbitkan ijasah. Tapi buntutnya, ijasah  tidak bisa digunakan.

Adalah lembaga kursus dan pelatihan Penerbangan Berdika Pura Nusantara (BPN) Maluku didirikan 18 Oktober 2012 di bawah bendara yayasan tersebut.  Dengan Dewan Pembina dijabat oleh Lucky Pondag, Ketua Yayasan Martin Pantolosang, dan Direktur Utama Mosalam Latuconsina. Ternyata LKP BPN Maluku tidak terdaftar pada Kementerian Pendidikan RI. Anehnya, siswa yang dinyatakan lulus kursus dan pelatihan diberikan ijazah.

Kasus itu terungkap ketika salah satu orang tua siswa mempersoalkan anaknya yang telah dinyatakan lulus kursus dan pelatihan dipekerjakan di gudang Bandara Pattimura Ambon. Alasannya pekerjaan tersebut tidak sesuai spesilisasi pendidikan selama 6 bulan di sekolah tersebut. Sementara biaya yang telah dikeluarkan untuk anaknya mencapai Rp 65 juta bahkan bisa sampai Rp 100 juta ditambah magang atau praktek lapangan.

Merasa dibohongi oleh pihak yayasan kasus ini dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku.

"Intinya ada azas praduga tak bersalah. Kasus ini khan terjadi hanya untuk lulusan angkatan 16 saja. Sebelumnya-sebelumnya tidak, mana ada kondisi Covid lagi," ujar penasehat hukum para terdakwa Usman Tuhulele di PN Ambon Jumat kemarin.

Tiga terdakwa dihadirkan JPU Juneth Pattisina demikian pula tiga saksi korban. Ketiga terdakwa masing-masing Martin Pattolosang sebagai pemilik Yayasan, Sowarja Sukarno alias Butet sebagai Direktur Utama dan Jhon Paul alias Jhon selaku Branch Manager BPN Maluku Flight.

Menurut Tuhulele, orang tua saksi korban melapor dengan klaim anak mereka tidak mendapatkan pekerjaan sesuai bidang keahlian mereka bukan kesalahan para terdakwa. "Itu tergantung perusahaan yang merekrut, bukan kesalahan klien kami," ujarnya usai sidang.

Dakwaan jaksa menurutnya belum bisa dibuktikan hanya karena lulusan-lulusan sebelumnya tidak mengeluhkan hal yang sama. Diakui memang ada tuntutan dari pihak orang tua agar uang kursus dikembalikan.

Tapi hal itu sementara diupayakan, orang tua korban sudah keburu melaporkan kasus ini ke kepolisian. "Jadi hambatannya itu, sudah jadi perkara bagaimana bisa?," ujar Usman Tuhulele.

Tiga saksi korban dihadirkan JPU masing-masing Umar Solisa, Anisa dan Mery. Ketiganya di persidangan mengaku orang tua mereka telah mengeluarkan biaya yang relatif besar. Kepada Hakim Ketua Julianti Wattimury, ketiga saksi menjelaskan, kasus ini sebetulnya berawal dari keluhan mereka selama praktek di Surabaya  mereka menanggung biaya kos-kosan sendiri.

"Di Surabaya 5 bulan, semua dari kiriman orang tua ibu, bukan biaya dari yayasan," ungkap saksi Mery. Hal yang sama dinyatakan saksi Umar dan Anisa.

Menemui kenyataan yang tidak sesuai perkiraan awal, 11 siswa sekolah penerbangan tersebut  oleh masing-masing orang tua disuruh kembali ke Ambon. Itu juga dengan biaya sendiri.

Majelis hakim sendiri terlihat lebih banyak mencercar saksi dengan pertanyaan yang mengarah ke jumlah kerugian yang dialami masingmasing saksi. Sementara JPU lebih fokus pada legalitas pendirian dan operasional yayasan.

Menurut JPU pendirian yayasan kursus penerbangan tersebut mestinya menghasilkan lulusan yang setara bidang pekerjaan. Yang dibuktikan dengan selembar sertifikat.

"Jadi persoalannya, adalah Ijasah. Harusnya yang dikeluarkan itu sertifikat, ini yayasan kursus ternyata bukan macam sekolah ada ijasah, jadi penipuannya itu" jelas JPU Juneth Pattiasina.(KTA)

Komentar

Loading...