Tolak Beras Lokal, Bulog Maluku Arogan
KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Penolakan Bulog Divre Maluku terhadap beras lokal pulau Buru dan Seram dinilai sebagai bentuk arogansi terhadap petani. Ironisnya, bendungan sampai fasilitas irigasi dibangun pemerintah hingga bantuan pupuk, peralatan dan lainnya diberikan kepada petani tidak dihitung oleh Bulog.
“Menolak membeli beras petani petani Namlea, Kobisonta, Waimital di Seram itu tidak bijak. Itu arogan sekali,” ujar anggota Komisi I DPRD Kabupaten SBB Eko Budiono saat dihubungi Kabar Timur, Rabu (29/9)
Ketika disampaikan Bulog Divre Maluku di tahun 2021 ini tidak lagi menyerap beras lokal yang diproduksi petani Namlea Kabupaten Buru, kemudian Kobisonta, Waimital dan Gemba di pulau Seram. Dia spontan mengecam kebijakan pihak Bulog tersebut. Pasalnya kebijakan itu terkesan tidak sinkron dengan program pemerintah daerah maupun pusat yang bertujuan menggenjot produksi petani beras itu. Faktanya, mulai dari sarana irigasi, pupuk, anti hama dan penyakit tanaman, peralatan hingga penyuluhan diberikan oleh pemerintah.
Menolak membeli beras petani dengan alasan kualitas, ujar politisi PKB itu sama saja mengabaikan program pemerintah yang dia sebutkan. “Seolah Bulog bilang ke petani, ee ator kamong pung diri sendiri jua mau batanam ka tidak, bukan Bulog urusan. Tidak bijaknya di situ,” ingat Eko.
Bahwa betul, lanjut Eko, kalau Bulog harus mengutamakan kualitas. Namun perlu juga diingatkan kalau badan logistik milik negara itu bukan lembaga bisnis seperti bank swasta. Menurutnya, Bulog mesti memberikan solusi agar petani lokal Maluku bisa meningkatkan kualitas beras sesuai standar yang ditetapkan.
Sebelumnya diberitakan beras asal Namlea, Kobisonta, Waimital dan Kairatu (Gemba) ditolak pihak Bulog Divre Maluku disebabkan kualitas berasnya tidak memenuhi syarat yang distandarkan.
Kepala SDM dan Operasional Bulog Divre Maluku Hamdani Malawat menjelaskan, padahal tahun-tahun sebelumnya sebanyak 700 ton beras per tahun dari pasokan Namlea, bisa dibeli pihaknya. “Tahun-tahun kemarin penyerapan hampir 700 ton, tapi tahun ini tidak bisa pernyerapan lagi,” kata Malawat.
Kata dia, bukan berarti Bulog tutup mata. Karena pembinaan petani untuk menghasilkan beras berkualitas merupakan tanggung jawab Pemda setempat. “Bulog taunya cuma beli. Simpan di gudang lalu salurkan ke pasaran atau masyarakat,” tukasnya.
Dijelaskan, kualitas bera tersebut termasuk Seram Gemba, masih di bawah standar yang ditetapkan pemerintah pusat. Untuk kadar air saja harus kurang dari 14 persen, sedangkan broken (bulir patah) di atas 20 persen.
Menurutnya, setelah Perum Bulog dipimpin Budi Waseso, standarisasi kualitas makin ketat. Hal itu dikarenakan dana untuk membeli beras dari petani berasal dari APBN atau uang negara.
Diakui, beras yang kualitasnya di bawah standar tidak tahan disimpan di gudang-gudang Bulog Beras dengan kadar air tinggi akan cepat rusak dalam penyimpanan di gudang.
Sementara broken di atas 20 persen, dari segi visual tidak diminati pembeli. Namun begitu, walau Bulog tidak bisa membeli beras petani tersebut, menurutnya masih ada pihak swasta.
“Swasta rata-rata modal sudah kuat, jadi punya mesin pengering. Mereka beli dari petani dan diolah kembali, masuk karung tinggal pilih kadar air berapa,” papar Malawat. (KTA)
Komentar