Ada Bukti, Tergugat Haka Aston Makin “Berat”

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Adanya perbandingan dua kondisi lingkungan yang sangat berbeda terkait aktivitas perusahaan pemroses aspal hotmix itu.
Gugatan senilai Rp 2 miliar terhadap PT Haka Aston bukan tanpa alasan, perusahaan aspal hotmix eks pelaksana pekerjaan Runway Bandara Pattimura Laha itu tak bisa lepas dari fakta pencemaran lingkungan. Ada bukti dokumen diperoleh dari Universitas Pattimura Ambon.
“Ada bukti tambahan dari pihak penggugat terhadap tergugat II PT Haka Aston. Dokumen laporan pemantauan kondisi lahan itu dari LP2M Unpatti Ambon,” terang pengacara Akbar Salampessy kepada Kabar Timur di PN Ambon, Selasa kemarin.
Dokumen tersebut, kata dia, memaparkan kondisi lahan yang berada di Negeri Hatu Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Malteng itu, sebelum dan sesudah PT Haka Aston beroperasi.
“Dokumen dengan lembaran halaman yang sudah disahihkan, orisinal, dan diautentikasi oleh pakarnya, DR Ir Pieter J Koenoe, MP. Benar-benar dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Akbar.
Melalui bukti dokumen tersebut, ditunjukkan adanya perbandingan dua kondisi lingkungan yang sangat berbeda terkait aktivitas perusahaan pemroses aspal hotmix itu. “Ada kondisi sangat signifikan pasca operasi PT Haka Aston. Bahwa memang terdapat aspal,” klaim dia.
Ditanya soal dokumen AMDAL, dia mengaku selama sidang gugatan pihak perusahaan tidak pernah menghadirkan dokumen itu. Kalau pun sebenarnya ada, faktanya, terjadi kerusakan lingkungan di areal seluas 6533 meter persegi atau setengah hektar lebih itu.
“Kalau dong punya AMDAL, seharusnya kerusakan lingkungan dapat diminimalisir, Khan begitu,” katanya.
Sebelumnya Akbar Salampessy menyatakan eks BUMN yang mengerjakan proyek runway Bandara Pattimura Ambon terancam denda miliaran rupiah. Akibat tak profesional menangani limbah hotmix runway tersebut, perusahaan itu bisa difinalti Rp 3 miliar.
“Pada pasal 104, setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, dipidana dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,- ( Tiga milyar rupiah),” terang Akbar.
SHal itu terkait UU Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup jo Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1999 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Menurut Akbar kliennya, Jeremias Salamahu dkk mengklaim lahan yang dicemari aspal itu tidak dapat dipakai lagi untuk pertanian. Kalaupun bisa dipakai maka perlu biaya tambahan untuk menyewa alat berat buat mengeruk limbah aspal yang ada.
Dari sisi hukum lingkungan kasus ini merupakan kejahatan korporasi. Yakni sengaja membiarkan sisa hasil produksi tanpa pengelolaan limbah sejak perusahaan mulai beroperasi.
Menurutnya, limbah aspal umumnya terbuat dari lumpur minyak / oil sludge yang selama ini menjadi momok industry pengaspalan dan, masuk kategori limbah B3 karena banyak mengandung logam berat. (KTA)
Komentar