Soal Dana Subsidi di Perum Damri Ambon
Pakar: Patut Diduga Terjadi Pemufakatan Jahat
KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Kalau sopir tidak pernah menandatangani sudah jelas itu pemalsuan dan itu pidana.
Dugaan tindak pidana korupsi atas dana subsidi perintis tujuh persen bagi 26 sopir Damri, di Perum Damri Cabang Ambon, lebih dari lima tahun (mendekati delapan tahun) tidak pernah dibayar.
Kendati ditemukan adanya realisasi pembayaran lengkap dengan tanda tangan sopir tercatat per bulan Rp 935.000, per orang. Tapi, tanda tangan tersebut “palsu” lantaran sopir selama bergulirnya dana subsidi tersebut tidak pernah lakukan tanda tangan.
“Uangnya saja katong seng parnah terima, apalagi bertanda tangan. Ini yang buat beta (saya), ngotot membongkar masalah ini,” ungkap Yakub Hermawan Kaisuku, salah satu sopir Perum Damri Cabang Ambon, ketika berbincang-bincang dengan Redaksi Kabar Timur, Sabtu, akhir pekan, kemarin.
Menurut dia, yang membongkar skandal subsidi perintis untuk sopir di Damri Cabang Ambon bukan dirinya yang pertama, tapi sebelumnya, ada rekan lainnya bernama: Agus Trianto. “Saat ini, Agus sudah dipindah ke Sorong, Papua,” tutur Kaisuku.
Agus, lanjut dia, dalam aksi meminta dana subsidi dibayarkan berlangsung anarkis. Dia (Agus), menghancurkan beberapa kaca-kaca kantor dan laptop di Kantor Damri Cabang Ambon. Aksi, Agus itu oleh pihak kantor dilaporkan ke Polsek Baguala. “Itu peristiwa kurang lebih tiga tahun lalu,” kisahnya.
Agus sempat dilidik oleh pihak penyelidik, kemudian kasus atau perkara dicabut lantaran bila diteruskan akar masalah dari tindakan anarkis Agus ini yakni, dana subsidi. “Itulah kemudian, masalahnya dicabut dan Agus dimutasi keluar dari Ambon ke Sorong Papua,” bebernya.
Kaisuku mengaku, memiliki bukti kuat pembicaraan menganai dana subsidi perintis yang tidak pernah mereka (para sopir), selama kurang lebih lima tahun. “Beta (saya), punya bukti rekaman, kalau dana subsidi dong (mereka), bayarkan buat Satker. Bukti itu keluar dari salah satu menager,” tuturnya.
Sebelumnya Manager Keuangan SDM dan Umum, Perum Damri Cabang Ambon, Irfan Buhari Laitupa kepada wartawan Kabar Timur, berdalih bahwa informasi yang disampaikan Kaisuku, adalah informasi yang tidak benar. “Tujuh persen subsidi operasional bus perintis bagi para sopir itu, tidak ada dalam kontrak dengan Kementrian Perhubungan,” katanya.
Dikatakan, kontrak yang disepakati antara Perum Damri Ambon dan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kementrian Perhubungan Indonesia, tidak ada anggaran untuk pembayaran perbulan dana tujuh persen sebagaimana dimaksud. “Dalam kontrak itu sudah jelas, supir Damri hanya dibayar gajinya saja (UMR). Untuk tujuh persen dana subsidi yang dimaksud itu tidak ada dalam kontrak. Selama ini kita tidak berani bayar, karena tidak ada dalam kontrak,” katanya, lagi.
Dia bahkan, menambahkan, kalau dana tujuh persen yang dimaksud Kaisuku supir Damri itu, telah dibayarkan setiap hari. Pembayaran dilakukan berdasarkan pendapatan per supir. “Mereka punya tujuh persen dibayar tiap hari. Saya kasih contoh, misalnya ada supir yang antar penumpang ke Ambon menuju Bula, pergi lima penumpang pulang lima penumpang. Total 10 penumpang, dan 10 dikalikan ongkos bus misalnya Rp 150.000 = Rp 1.500.000. Nah, dari Rp. 1.500.000 ini, dikalikan tujuh persen, berarti mereka dapat Rp 105 ribu, untuk satu hari. Dan itu tiap hari, “ungkapnya.
PEMUFAKATAN JAHAT
Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Universitas Pattimura, Doktor Sherlock Likipeuw ketika dikonfirmasi terkait nasib dana subsidi sopir Damri di Perum Damri Cabang Ambon yang tidak dibayarkan lebih dari lima tahun ini, menyatakan, bila kondisinya secara faktual berpotensi masuk PMH yang berimplikasi pada Tindak Pidana Korupsi (TPK).
Dalam Peraturan Menteri soal subsidi sudah jelas makanya penjelasan pihak Perum DAMRI patut diuji secara hukum apalagi dalam kurun waktu yang cukup panjang ( 8 tahun) maka “dapat” secara patut menurut hukum masuk dalam terminologi “pembiaran”
Dia mengatakan, patut diduga terjadi pemufakatan jahat yang dilakukan secara sadar dan terencana dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan atau mendapatkan keuntungan dengan cara melawan hukum.
“Hal ini bertentangan dengan doktrin hukum (HTN/HAN) dimana “tidak diperbolehkan seseorang menderita kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum dan sebaliknya juga tidak diperbolehkan seseorang mendapatkan keuntungan dengan cara melawan hukum,” kata Sherlock.
Menurutnya, dari aspek hukum administrasi sebagaimana diatur dalam UU 30/2014 maka patut diduga ada dugaan perbuatan melanggar hukum dalam hal penyalahgunaan kewenangan dan atau sewenang-wewenang yang mana berkosekuensi terhadap tanggung gugat baik sebagai pribadi maupun tanggung gugat dalam jabatan.
“Artinya adanya dugaan pemalsuan surat atau tanda tangan yang digunakan sebagai dalil pertanggung jawaban penggunaan dana subsidi, itu jelas memenuhi unsur perbuatan pidana yang padanya melekat tanggung jawab pidana,” papar Sherlock lagi.
Masih menurut Sherlock, dari sudut pandang beban tanggung jawab hukum maka sudah dapat dipastikan masuk dalam ranah pidana, perdata dan adminitrasi. “Kalau sudah dilaporkan ke aparat penegak hukum maka dengan konstruksi hukum sebagaimana diatas sudah sepatutnya “dapat” ditindak lanjuti dengan melakukan proses penyelidikan.
“Dari aspek teknis hukum ini sudah cukup menjadi dasar bertindak bagi penyidik memulai proses penyelidikan tinggal dilengkapi keterangan para pihak, baik pelapor maupun terlapor dan ditambah keterangan ahli,” paparnya.
Pakar hukum HTN, Unpatti Ambon ini bahkan menyatakan siap diperiksa sebagai ahli mendampingi para sopir Damri Ambon sebagai korban. “Saya siap diperiksa sebagai ahli dampingi sopir sebagai korban, gratis tanpa biaya,” tegas Sherlock menutup. (KT)
Komentar