Tanaya & Laitupa Siap-Siap Disidang

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON- Pelimpahan berkas perkara tahap II tersangka pengadaan tanah untuk pembangunan PLTMG 10 MV, Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa telah dilakukan, Senin, kemarin.

Keduanya telah menjadi tahanan jaksa dan kini diinapkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIA Ambon. Lalu, kapan pelimpahan ke PN Ambon dilakukan? Pantauan Kabar Timur di PN Ambon Selasa kemarin, penuntut umum terlihat mendatangi kantor PN Ambon sekira pukul 13:28 WIT. Kehadiran mereka dengan tujuan untuk melimpahkan berkas perkara dari tersangka Tanaya dan Laitupa.

Namun, panitera bagian tipikor tidak menerima berkas dua tersangka itu mengingat ada beberapa data tambahan yang harus dilengkapi penuntut umum. “Jadi bukan menolak tapi karena berkas belum lengkap makanya disuruh lengkapi dulu,” kata Humas PN Ambon, Lucky Rumbot Kalola

Jika lengkap, hari ini, Rabu dipastikan penuntut umum akan kembali dengan tujuan yang sama untuk kemudian diagendakan untuk persidangan.

Terpisah, Kasi Penkum Kejati Maluku, Sammy Sapulete mengatakan, tidak mengetahui pasti soal kapan berkas keduanya dilimpahkan, tapi informasi itu dilakukan dalam pekan ini. “Saya tak bisa pastikan kapan, tapi informasinya dalam pekan ini,” kata Sapulete.

Sementara kuasa hukum tersangka Ferry Tanaya, Henry S. Lusikooy, menilai pernyataan Kajati Maluku Rorogo Zega, tentang kronologis kepemilikan dan jual beli lahan seluas 48.000 meter persegi di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru, tahun anggaran 2016, menyesatkan.

Sebab, pernyataan Kajati Maluku dalam jumpa pers yang berlangsung di lantai II Kantor Kejati Maluku, sebelumnya, tanpa disertai dasar hukum atau undang-undang yang kuat dan mengikat.

“Kajati mengatakan tanah hak barat tidak bisa dikonversi dengan orang lain, dan tanah hak barat itu tidak bisa diwariskan kepada orang lain dalam hal ini ahli waris Wakano, apa dasar hukumnya? Undang-Undang mana yang melarang itu,” tanya Henry.

Menurutnya, tanah hak barat yang tidak bisa dikonfersi itu jangan dianalogikan tanah tersebut langsung dimiliki negara. Sebab, tidak ada dasar hukum yang mengatur hal tersebut, sehingga status tanahnya hanya dikuasai sementara oleh negara, bukan dimiliki.

“Jadi, tanah itu dikuasai negara tetapi tidak dimiliki negara. Artinya, disitu belum ada sertifikat apapun, diantaranya sertifikat hak guna bangunan, sertifikat hak pakai, sertifikat pengelolaan, dan sertifikat hak milik,” ungkap Henry.

“Lalu Kajati menyatakan bahwa karena tanah itu sudah dikuasai langsung negara, maka jual beli yang dilakukan antara ahli waris Wakano dengan Fery Tanaya gugur demi hukum. Dasar hukumnya apa, aturan mana yang menyatakan itu. Itu membohongi publik namanya,” tambahnya.

Ia menjelaskan, yang dimaksud Kajati Maluku soal tanah efrach itu dimana pemilik masih bisa mengajukan permohonana untuk mendapatkan haknya. Dan permohonan tersebut nantinya akan dinilai Badan Pertanahan Nasional (BPN), bukan dinilai oleh Korps Kejaksaan.

“Tapi biarlah, untuk saat ini kami tidak akan melakukan upaya langkah hukum apapun, karena kita tunggu hasil putusan persidangan saja. Meskipun pengadilan memenangkan Kejaksaan, kami akan tetap upaya hukum lanjut hingga ke Peninjauan Kembali (PK).

Sebelumnya, Kajati Maluku Rorogo Zega, mengatakan, tanah tersebut dikuasai oleh negara karena lokasi tanah itu merupakan bagian lokasi tanah Efrach, sebagaimana tertuang dalam surat Menteri No 54 atau Efrach Nomor 19 tanggal 9 April 1932 dengan pemegang hak Efrach adalah Sadrach Wakano.

“Jadi pemegang Efrach ini adalah Wakano, yang meninggal dunia pada 28 Oktober 1981. Yang selanjutnya pada 7 Agustus 1985 dibuat transaksi antara ahli waris dari Wakano dengan Fery Tanaya,” ungkap Zega.

“Jadi ketentunan UU bahwa tanah daripada Efrach itu tidak bisa dipindah tangankan baik kepada ahli waris maupun kepada orang lain. Jadi setelah meninggal almarhum Wakano, maka selesailah disitu Efrach. Karena yang berhak utk mengkonversi tanah itu adalah hanya pemegang hak tidak bisa dikonversi oleh orang lain,” tambahnya.

Sebelumnya diberitakan, Tersangka kasus dugaan pengadaan tanah untuk PLTG Namlea, Ferry Tanaya resmi diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Maluku oleh penyidik, Senin (26/4)

Ferry diserahkan sekira pukul 15:25 WIT setelah berkas perkara tahap dua dinyatakan lengkap. Pengusaha kayu Buru itu tidak sendiri. Dia bersama rekannya Abdul Gafur Laitupa. Keduanya diinapkan di Rutan Kelas IIA Ambon selama 20 hari ke depan.

Saat penyerahan itu, Ferry juga didampingi pengacaranya, Henri Lusikooy. Sementara, mantan Kepala Seksi pengukuran BPN Namlea, Abdul Gafur Laitupa didampingi pengacara Rosa Nukuhehe

“Ini kasus lama dan telah melewati proses panjang. Kini, semuanya telah rampung dan sudah diserahterimakan ke Kejari Buru untuk selanjutnya melakukan penahanan selama 20 hari di rutan Ambon,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Rorogo Zega dalam keterangan persnya di kantor Kejati Maluku, kemarin.

Menurutnya, Ferry tidak memiliki hak menerima ganti rugi pada bidang tanah dikawasan tersebut, mengingat status tanah adalah tanah Erfpacht dengan pemegang hak almarhum Zadrach Wakano.

“Pemegang hak atas nama Zadrach Wakano yang meninggal di tahun 1981 yang selanjutnya di tahun 1985 di buat transaksi oleh ahli waris dari Z Wakano kepada FT. Ketentuan UU tanah Erfpacht tidak bisa dipindah tangankan baik kepada ahli waris atau pihak lain,” ungkapnya.

Selanjutnya, setelah  pemegang hak meninggal maka selesai sudah hak atas tanah itu dan dikembalikan haknya ke negera, karena yang berhak menkonversi tanah tersebut hanya pemegang hak, tidak bisa dikonversi oleh orang lain,” terang dia.

Berdasarkan ketentuan tersebut, lanjut mantan Kepala Kejaksaan Negeri Ambon ini, transaksi jual beli ahli waris Wakano dan Tanaya batal secara hukum dan status tanah tersebut tidak beralih ke Tanaya.

“Kita mengikuti perintah undang undang dan FT tidak memiliki hak untuk ganti rugi bidang tanah seluas 48.645 meter persegi senilai Rp.6.081.722.920. Sebenarnya ada batas waktu 20  tahun dari tahun 1960 sejak undang undang pokok Agraria untuk lakukan konversi artinya hak itu selesai di tahun 1980 dan pemilik hak sudah meninggal sehingga tidak dapat diwariskan, Tanah ini sudah dikuasai negara kemudian dijual, otomatis transaksi ini tidak bisa dibenarkan atau batal secara hukum,” pungkas dia. (KTY)

Komentar

Loading...