Gugatan Pilkada di MK, Ini Kata Pakar

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON-Tiga pasangan calon (Paslon) bupati dan wakil bupati mengajukan permohonan gugatan Pilkada serentak 2020 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Berbagai dugaan pelanggaran di Pilkada kabupaten Maluku Barat Daya, Aru, dan Seram Bagian Timur menjadi materi gugatan para Paslon di MK.
Mereka yang mengajukan gugatan adalah Nikolas Kilikily-Desianus Orno, Paslon di Pilkada MBD, Thimotius Kaidel-La Gani Karnaka di Pilkada Aru, dan Fachri Alkatiry-Arobi Kelian, calon bupati dan wakil bupati SBT.
Pakar Hukum Tata Negara Sherlok Lekipiouw menilai gugatan Paslon yang diajukan ke MK sebagai bentuk sarana konstitusi. “Kita maknai sebagai upaya konstitusional. Biarkan pada akhirnya MK yang akan memutuskan diterima atau tidak diterima permohonan mereka,” kata Lekipiouw kepada Kabar Timur, Senin (28/12).
Namun, akademisi fakultas hukum Universitas Pattimura ini mengigatkan, gugatan yang diajukan terikat syarat dan prasyarat yang ditentukan oleh undang-undang soal selisih hasil Pilkada.
“Karena ini menyangkut hasil perselisihan suara. Maka ada batasan yang ditentukan oleh MK, yakni selisih suara 2,5 persen. Di Maluku, tiga permohonan Pilkada ke MK selisih (perolehan suara) jauh sekali,” sebut dia.
Kendati begitu, kata dia, tradisi di MK dalam beberapa kali putusan tidak saja fokus pada angka, karena secara prinsipil diatur oleh peraturan MK, sehingga dalam kedudukan mahkamah tidak terikat di angka. “Tergantung konstruksi permohonan dari pasangan calon yang mengajukan permohonan gugatan di MK,” terang Lekipiouw.
Lekipiouw mencontohkan, dukungan data soal dugaan pelanggaran Pilkada yang terstruktur sistimatis dan masif (TSM). “Tergantung konstruksi permohonan itu. Upaya hukum dari sisi hukum tata negara perlu dihargai. Namun, dari perspektif hukum sesuatu yang tidak bisa lagi digugat di MK. Tapi ini sarana demokrasi dan sarana konstitusi,” jelasnya.
Dugaan pelanggaran Pilkada yang menjadi materi permohonan di MK domain Bawaslu, menurut Lekipiouw, Paslon tidak memahami secara kompetensi tahapan-tahapan Pilkada masuk pengawasan Bawaslu. “Mestinya tahapan-tahapan yang masuk dalam pengawasan sudah selesai,” tegas dia.
Tetapi dalam prakteknya hanya berpikir pragmatis sehingga pelanggaran yang terjadi diajukan ke MK. “Praktek hukumnya seperti itu. Ini salah satu tantangan di tengah pembangunan demokrasi. Tapi, sistem hukum kita sudah komprehensif. Artinya, penyelenggara pemilu pada jalur dan tupoksi masing-masing,” paparnya.
Untuk itu, lanjut dia, belajar dari pengalaman Pilkada 2020, mestinya menjadi atensi semua pihak termasuk yang ingin maju bertarung di Pilkada. “Ini harus dilihat dari satu kesatuan mulai dari prosesnya, sehingga tidak melihatnya secara parsial. Setidaknya diselesaikan per tahapan. Pilkada 2020 mesti menjadi catatan pilkada mendatang. Ke depan siapapun dia mesti memahami bahwa sistem dan kerangka hukum kita sudah berubah, sehingga bisa memahami roh dari subtansi politik hukumnya,” tegas Lekipiouw.
Tujuanya agar bisa dipahami ranah Bawaslu atau administrasi pemilu dan mana ranah MK. “Jadi tidak bisa dicampur adukan. Ini kan problem pragmatis,” ujar dia.
(KTM)
Komentar