Polda Maluku, Ketua DPRD dan Penegakan Hukum

Tidak ada ilmu hukum di republik ini yang kualifikasi tindakan delik pidana biasa ini memerlukan pengaduan.
Kasus dugaan gratifikasi dan penipuan bisa jadi yang terheboh pertama kali di Maluku. Apalagi dugaan itu, menyeret nama Ketua DPRD Maluku, Luky Wattimuri. Elit PDI Perjuangan daerah ini seolah “terlindungi” dari hukum sebagai panglima.
Istilah pengiat antikorupsi “hukum tajam ke bawah dan tumpul keatas” setidaknya ikut membenarkan dugaan penipuan bermodus barter proyek yang menghebohkan Maluku ini. Institusi Polri (Polda Maluku), hanya melontarkan pernyataan klasik, “akan dilakukan penyelidikan,” tapi progresnya tidak muncul.
Rasa skeptis tentang kinerja Polda Maluku terkait kasus ini datang dari LP3NKRI. Laporan terkait dugaan gratifikasi dan penipuan sebaiknya ditarik dan dialihkan ke Mabes Polri. Lewat Ketuanya Edison Wonatta menilai, kasus pinjaman duit dengan janji proyek oleh “Luki” bukan saja kental dugaan gratifikasi tapi juga penipuan atas nama proyek aspirasi DPRD Maluku.
Lucky Wattimury menggunakan jabatan politik di DPRD Maluku untuk kepentingan pemilihan legislatif ketika itu melalui dukungan finansial dari sejumlah kontraktor. Dengan iming-iming proyek aspirasi dewan kalau terpilih kembali. “Ini jelas gratifikasi dan penipuan terheboh, kenapa? Karena yang namanya proyek aspirasi itu jelas-jelas sudah ditiadakan sejak Murad Ismail dilantik sebagai gubernur” ucap Edison Wonatta sebagaimana dikutip Kabar Timur, edisi Kamis, Jumat, 25 September 2020.
Menurut dia, bukan cuma Zakarias Raressy jadi korban pentolan PDIP Maluku itu, tapi masih ada yang lain. “Ada belasan korban. Hanya mereka takut lapor, takut seng dapat proyek aspirasi. Ini khan lucu, harap proyek yang seng pernah ada itu untuk apa? Ini khan pembohongan publik itu,” ujarnya.
Catatan “kejahatan” menipu dengan modus barter proyek mesti jadi prioritas Polda Maluku sebagai institusi penegakan hukum. Hukum jangan sampai dikalahkan dengan kekuatan politik, apalagi orang diduga terlibat dalam kejahatan itu memegang jabatan politik sebagai Ketua DPRD Maluku. Jangan sampi timbul persepsi pencuri ayam dan kambing dikejar, tapi kejahatan didepan mata diabaikan.
Delik aduan kerap menjadi dalih. Tapi, ini soal pejabat publik, kenapa bocoran bukti milik pengusaha asal KKT bernama Zakarias Ressy yang telah menghebohkan Maluku, tidak dipakai sebagai bukti permulaan untuk membongkar skandal ini. Apalagi, tidak sedikit jumlah pengusaha yang menjadi korban aksi tipu proyek ala Luki Wattimuri.
Mengutip dua pakar hukum yang sebelumnya di tulis Kabar Timur, yakni Margarito Kamis. Dia mengkritik penegak hukum di Maluku yang belum bergerak mengusut kasus penipuan oleh Ketua DPRD Maluku, Luki Wattimuy.
Margarito berpendapat, dengan atau tidak ada laporan dari kontraktor selaku korban, penegak hukum (polisi atau jaksa) wajib memeriksa Luki. Pertimbangannya, karena itu delik biasa bukan delik aduan (korban melapor ke penegak hukum).
Karena merupakan delik biasa tidak perlu laporan atau pengaduan dari korban. Menurutnya pemberitaan di media yang disertai bukti surat pernyataan dan bukti kuitansi penerimaan uang oleh Luki saja itu sudah cukup menjadi dasar tindakan penyidik memanggil dan memeriksa Luki. Karena itu, menurutnya, tidak ada alasan sedikit pun bagi penyidik untuk tidak menangani peristiwa (pidana) itu. “Justeru akan menjadi soal jika tidak ditangani, ada apa dengan sikap penyidik?,” kata Margarito sebagaimana dikutip Kabar Timur, Edisi, Selasa, 7 September 2020.
Tindakan Luki, bukan tindak pidana biasa, jika terbukti menerima uang. “(Sebagai legislatif) Janji (memberikan proyek) saja tidak bisa, apalagi (menerima) uang. Kalau itu betul-betul ada (Luki terima uang) sekali lagi jika sudah diberitakan media, maka dengan atau tanpa laporan yang bersangkutan polisi wajib (periksa Luki). Tidak ada ilmu hukum di republik ini yang kualifikasi tindakan delik pidana biasa ini memerlukan pengaduan,” tegas pakar hukum bergelar profesor ini.
Penyidik harus bekerja berdasarkan aturan kasus penipuan. “Polisi atau jaksa bekerja berdasarkan perasaan atau aturan? Penyidik bekerja bukan berdasarkan rasa atau pertimbangan-pertimbangan politik. Bekerja cukup berbaju hukum tidak perlu berbaju lain apapun itu,” tegas dia.
Pakar Hukum Pidana, Prof. Dr. Mudzakkir menegaskan, perbuatan Luki Wattimury termasuk perbuatan melawan hukum. “Perbuatan Pak Wattimury juga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan suap,” terang Mudzakkir dihubungi Kabar Timur via seluler, Kamis (3/9).
Dalam hukum pidana, tindakan ini tidak dibenarkan. Sebab, ketua DPRD Maluku sudah meminta sejumlah uang dengan menjanjikan proyek, namun tidak ditepati. Berarti Ketua DPRD telah melakukan pelanggaran kode etik DPRD dan perbuatan tersebut mengarah kepada tindak pidana penipuan. “Lagi pula urusan proyek bukan urusan ketua DPRD tetapi urusan eksekutif,” tandasnya.
Para pakar boleh berpendapat sebagai landasan teori dan yuridis, tapi eksekutor dilapangan menjadi domain polisi. Itu sebabnya, sampai saat ini tidak ada progres dari penanganan kasus ini. Padahal kwitansi dan perjanjian yang beredar dalam bentuk laporan menjadi bukti awal polisi membongkar skandal yang diprediksi belasan orang menjadi korban.
Tapi itu tadi, kita lupa dan sayangkan Luki Wattimuri bukan rakyat biasa, dia adalah elit politik partai berkuasa. Tindakannya yang telah melanggar hukum bisa dilegalkan begitu saja. Bagaimana kalau yang melakukan itu adalah rakyat biasa? Pasti tanpa diberitakan polisi telah memburu pelakunya, dan sudah dimasukan ke Hotel Prodeo. Kasus penipuan ala Ketua DPRD Maluku menjadi ironi penegakan hukum di Maluku.
(Jainal Patty/wartawan Kabar Timur)
Komentar