Buntut Kasus Pengambilan Paksa Jenazah Covid-19
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON- Kematian HK (58) jenazah Covid-19 di RSUD dr. M. Haulussy, Kota Ambon, berbuntut panjang. 8 tersangka pengambilan paksa jenazah ditetapkan. Polisi kini bergerak menyelidiki pengeroyok satu perawat. Keluarga almarhum mengaku pelayanan Rumah Sakit tak manusiawi.
Tak butuh waktu lama bagi aparat Kepolisian Resort Kota (Polresta) Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease untuk menangkap 8 pelaku pengambilan paksa jenazah HK, korban Covid-19 dari dalam mobil ambulance di tengah Jalan Jenderal Sudirman Ambon, Jumat pekan kemarin.
8 pelaku yang mencegat dan mengambil jenazah mantan anggota DPRD Maluku Tengah secara paksa itu adalah AM, HL, BY, SI, SU, AD serta dua orang perempuan yaitu NI dan YN. Mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.
Dari 8 tersangka yang dijerat menggunakan Pasal 214 KUHP jo Pasal 93 Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ini, 4 diantaranya telah mendekam di rumah tahanan Polresta Ambon. Yaitu AM, BY, SU dan HL. “Dari hasil pemeriksaan kemarin kita tetapkan 8 orang tersangka. Tadi malam 4 sudah ditahan, 4-nya lagi kita masih dalami pemeriksaan,” kata Kapolresta Pulau Ambon, Kombes Pol. Leo Surya Nugraha Simatupang kepada Kabar Timur melalui telepon genggamnya, Minggu (28/6).
Mantan Kapolres Pulau Buru ini mengaku tidak menutup kemungkinan masih ada pelaku lainnya dalam kasus yang sempat membuat resah masyarakat setempat. “Makanya pemeriksaan tambahan masih terus dilakukan,” terangnya.
Selain kasus pengambilan paksa jenazah saat hendak menuju tempat pemakaman khusus Covid-19 di Kawasan Desa Hunut, sebelumnya juga diduga terjadi kasus penganiayaan secara bersama-sama terhadap Jomima Orno, seorang perawat RSUD Ambon, pasca kematian almarhum HK tersebut.
Orno dianiya keluarga almarhum HK hingga sempat dirawat di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit milik Pemerintah Daerah Maluku tersebut. Kasus itu telah dilaporkan dengan terduga pelaku sebanyak tiga orang yang tak lain merupakan anak almarhum. “Untuk kasus penganiayaan seorang perawat RSUD Ambon itu, sudah diperiksa saksi-saksi semua,” tambah Simatupang.
Selain melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi, Simatupang juga mengaku pihaknya telah melayangkan surat panggilan terhadap terlapor untuk dimintai keterangannya di ruang penyidik PPA Satreskrim Polresta Pulau Ambon. “Sudah dilakukan pemanggilan untuk yang terduga tersangka. Hari Senin besok (hari ini) pemeriksaannya,” tandasnya.
KELUARGA BANTAH ANIAYA PERAWAT
Sementara itu, kasus penganiayaan terhadap perawat RSUD dibantah pihak keluarga almarhum HK. Mereka mengaku tidak menganiaya perawat. Yang ada hanyalah penarikan Alat Pelindung Diri (APD), sebagai bentuk kekesalan mereka melihat almarhum tidak terurus.
Sahal dan Nur, dua anak almarhum HK, meminta perawat RSUD Ambon yang mengaku sebagai korban pengeroyokan untuk berkata jujur. Sebab, saat itu, tidak terjadi aksi penganiayaan, tapi pembukaan Alat Pelindung Diri (APD) yang dipakainya.
Perampasan APD dilakukan, karena keluarga menilai perawat tidak layak menggunakannya. Pasalnya, orang tua mereka tidak terurus selayaknya manusia saat masih menjalani perawatan hingga ajal menjemput pada Jumat (26/6) pagi lalu. "Penganiayaan itu tidak benar. Beta yang jadi saksi langsung," ungkap Sahal, anak almarhum HK kepada wartawan, Sabtu (27/6).
Sahal menjelaskan, perampasan APD milik perawat terjadi akibat akumulasi dari kejanggalan pelayanan terhadap ayah mereka selama ini. Peristiwa itu berawal ketika keluarga datang setelah mendapat kabar HK sudah meninggal dunia. Mereka langsung masuk hingga ke ruang perawatan almarhum tanpa ada penjagaan dari petugas keamanan.
Di dalam ruang, keluarga melihat jenazah HK tidak terurus. Bercak darah terlihat mengering di sekitar mulut almarhum. "Kenapa beta ade perempuan dong lakukan itu, karena pada saat masuk dong lihat jenazah bapak tidak terurus sama sekali. Ada bercak muntah darah di sekitar mulut bapak. Makanya ade emosi, seng terbendung dan menyerang petugas. Tapi memukul petugas di kepala berkali kali itu tidak benar," kata Sahal.
Bahkan, lanjut Sahal, sebelum meninggal almarhum diketahui sempat terjatuh dari atas tempat tidur sebanyak dua kali. Ironisnya, almarhum terjatuh tidak diketahui para perawat. Almarhum diangkat oleh seorang petugas di situ (identitas petugas diminta tidak disebutkan karena keluarga takut dirinya akan dipecat). "Tidak ada pemukulan tapi penarikan APD, karena mereka tidak pantas menjaga pasien sampe meninggal seperti ini," timpal Nur, anak perempuan almarhum.
Nur mengaku kala itu tidak terjadi pemukulan. Yang ada hanyalah penarikan APD dengan maksud dibuka. "Saat itu perawat tangkis. Setelah itu dia lari dan beta iko dia dari belakang, karena sudah banyak keganjalan yang menumpuk di isi kepala," terangnya.
Keganjalan yang dirasakan keluarga yaitu selain almarhum diketahui pernah jatuh dari atas tempat tidur, dan ditemukan petugas lainnya kemudian diangkat, juga sebelum menghadapi sakratul maut, beliau sempat mengaku lapar. Tak ada satupun makanan yang bisa dimakan saat itu. "Ada pasien (covid yang sekamar) di dalam bilang sekitar jam 2 atau jam 3 subuh bapak kelaparan, seng ada satu perawat pun, akhirnya dia (pasien covid) sendiri yang kasih minum air putih karena memang tidak ada makanan saat itu," kata Nur sambil menangis.
Mengingat tumpukan kejanggalan pelayanan almarhum selama dirawat, Nur mengaku tak mampu membendung amarahnya. "Dari situ beta tarik perawat itu karena sudah terlalu emosi. Seng ada pemukulan," tambahnya.
Sahal meminta perawat berkata jujur. Sebab, pengakuannya dianiaya tidaklah benar. Yang terjadi adalah penarikan. Dia sangat yakin karena saat itu dirinya yang melerai. Bahkan pengakuan istri almarhum terlibat pemukulan juga tidak betul, karena sedang berada di Masohi. "Saat itu beta yang lerai. Dong bilang almarhum pung istri (yang pukul) itu tidak benar. Karena istri almarhum ada di Masohi," tandasnya.
(KCT)
Komentar