Megaproyek Waeapo Tersendat, BWS “Gantung” Kompensasi Lahan
AMBON - Mega proyek bendungan Waeapo senilai Rp 2,2 triliun belum memiliki progres nyata di lapangan. Baru dibangun jalan masuk ke lokasi proyek oleh pihak kontraktor, sementara lahan untuk pembangunan bendungan pembayarannya disinyalir belum beres.
Lahan yang diklaim oleh pemiliknya, bahwa Balai Wilayah Sungai (BWS) Provinsi Maluku harus ganti rugi Rp 5 miliar diduga PPK proyek ini tidak komitmen, buktinya pemilik lahan baru dibayar Rp 30 juta.
Sumber Kabar Timur di proyek strategis nasional ini mengungkapkan kalau salah satu pemilik lahan atas nama Wehel Wael (70) tahun beralamat Desa Wapsalit, Kecamatan Lolongguba Kabupaten Buru ternyata baru menerima realisasi pembayaran sebesar Rp 30 juta, dari kompensasi yang disepakati sebesar Rp 5 miliar.
Wehel Wael mengaku, lahan yang dimana saat ini beraktivitas PT Adhi Karya untuk pembangunan tahap awal proyek tersebut, dulunya merupakan lahan ketel minyak kayu putih. Tapi kompensasi pembebasan lahan oleh pihak balai sungai belum dilunasi. “Sampai hari ini Balai Sungai (BWS) baru kasih Rp. 30.000.000, itu uang muka,” ucap sumber menirukan jawaban Wehel Wael, saat dihubungi melalui telepon seluler, Jumat (9/8).
Wehel, kata sumber, menyebutkan besaran nilai ganti rugi yang dituntut mencapai Rp 5 miliar. Tapi oleh PPK yang bernama Jeksen Tuhuteru, meminta Wehel bersabar saja. “Tapi Wehel mau supaya pembayaran ganti rugi lahan direalisasikan secepatnya,” akuinya.
Bukan saja, lahan inti milik Wehel Wael Cs dimana proyek bendungan ini dipusatkan belum beres dalam pembayaran, jalan masuk ke lokasi proyek induk, BWS juga ditengarai masih menunggak pembayaran. “Ada dua orang pemilik tanah di situ, yaitu Wehel Wael sendiri, dan satunya lagi almarhum Markus Wael. Sama, baru kasih uang muka,” beber sumber.
Terhadap laporan warga pemilik lahan dimaksud, PPK Jack Tuhuteru belum berhasil dimintai konfirmasi. Saat dihubungi, yang bersangkutan tidak mengangkat panggilan telepon.
Sementara Humas BWS Provinsi Maluku, Dwi Purnomo, mengaku pihaknya tidak pernah disampaikan berbagai hal menyangkut bendungan tersebut. “Kalau urusan-urusan administrasi masing-masing proyek itu khan di PPK atau Satkernya langsung bukan di Bagian TU (tata usaha) sini,” ujar Dwi Purnomo dihubungi melalui telepon seluler.
Catatan Kabar Timur sebelumnya, kepastian lahan untuk pembangunan bendungan yang diperuntukan untuk mendukung Pulau Buru sebagai salah satu lumbung pangan nasional ini sempat molor karena berbagai hal. Yang paling riskan waktu itu adalah Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Namun ijin tersebut akhirnya terbit juga, setelah Menteri KLH menandatangani dokumen ijin tersebut. Disebutkan, IPKH harus dipenuhi, pasalnya lahan yang semula untuk proyek bendungan ini telah bergeser masuk sejauh 1,5 kilometer ke hutan lindung dari lokasi awal.
Kawasan hutan lindung di lokasi pembangunan bendungan Wai Apo bakal menghabiskan lahan hutan seluas 422 hektar dari rencana Kementerian PUPR untuk bendunga tersebut seluas 580 hektar.
Selain bermanfaat untuk mendukung Kabupaten Buru sebagai lumbung padi, bendungan Wai Apo akan berfungsi sebagai ‘flood control atau pengendali banjir untuk mencegah meluapnya air dan menggenangi dataran Wai Apo saat musim hujan. Bendungan tersebut merupakan salah satu proyek strategis nasional yang diprioritaskan oleh pemerintah pusat sejak tahun 2014-2015.
Dilaksanakan melalui paket multi years hingga tahun 2022, bendungan tersebut memiliki kapasitas untuk menampung air mencapai 50 juta meter kubik dan mampu mengairi lahan irigasi sawah padi seluas 10.000 ha. Selain itu Wai Apo mampu menyediakan air baku dengan debit 250 m/detik, dan tenaga listrik sebesar 8 megawatt.
Berdasarkan informasi dari situs Kementerian PUPR, kontrak proyek bendungan Waeapo (Wai Apu) telah ditandatangani. Proyek dibagi 3 paket dengan total investasi Rp 2,223 triliun. Terdiri dari pembangunan fisik meliputi Paket 1 dengan kontraktor PT Pembangunan Perumahan PT Adhi Karya (KSO) senilai Rp 1,069 triliun, Paket 2 dengan kontraktor PT Hutama Karya dan PT Jasa Konstrusksi (KSO) senilai Rp 1,013 triliun dan kontrak paket supervisi senilai Rp 74 miliar dengan konsultan PT Indra Karya. (KTA)
Komentar