Korupsi PLTGM Namlea, Pekan Ini Pemeriksaan

ILUSTRASI

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Setelah sempat molor karena berbagai alasan, Kejaksaan Tinggi akhirnya memastikan proses penyidikan perkara dugaan korupsi mark up Nilai Objek Pajak (NJOP) lahan proyek PLTMG Namlea Kabupaten Buru, resmi mulai jalan pekan ini.

Sejumlah saksi telah diagendakan untuk diperiksa oleh tim pidsus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku. Setelah naik kelas ke tahap penyidikan, perkara dugaan korupsi mark up NJOP tersebut semakin ada titik terang di Kejati Maluku.

Namun kapan persis hari yang diagendakan untuk pemeriksaan saksi dalam perkara tersebut masih dirahasiakan. “Ia pekan ini, tapi kapan pemanggilannya bisa saja hari Senin, Selasa Rabu dan seterusnya. Intinya pekan ini,” tandas Kasipenkum Kejati Maluku Samy Sapulette kepada Kabar Timur, dikonfirmasi Minggu (16/6).

Sebelumnya diberitakan kembali terungkap fakta kalau lahan seluas 4,87 hektar yang dibeli PLN UIP Maluku dari Ferry Tanaya tahun 2016 lalu, tidak digunakan seluruhnya. Pembangunan PLTMG di atas lahan yang dibeli seharga Rp 6.401.814.600 itu hanya digunakan sekitar 3 hektar lebih.

Sementara sisanya 1,4 hektar kini terpasang tanda larangan membangun dari pemilik sebenarnya, yakni Moch Mukadar dan masyarakat adat Liliali.Penggunaan lahan seluas 3 hektar lebih itu diketahui dari pagar senk yang terpasang mengitari kawasan tanah sengketa itu. Padahal, Badan Pertahanan Nasional (BPN) Buru telah melakukan pengukuran awal batas tanah.

Dengan pemakaian lahan 3 hektar itu, maka bau korupsi semakin terkuak dengan nilai pembelian lahan. “Ada sekitar 1 hektar lebih berada di luar pagar. Makanya kami sudah pasang tanda larangan membangun,” kata Moch Mukadar, pemilik lahan kepada Kabar Timur, Senin (10/6) lalu.

Lahan yang tidak ikut digusur berada pada bagian selatan. Patok pengukuran awal dari BPN Buru masih tampak jelas, meski saat penandatangan surat pembelian, mereka tidak dilibatkan.

Menurut Mukadar, alasan pemasangan tanda larangan terpaksa dilakukan karena penyelidikan perkara dugaan penyerobotan lahan yang dilaporkan ke Polres Buru dan korupsi di Kejaksaan Tinggi Maluku hingga kini belum membuahkan hasil.

“Ini karena laporan di polisi dan Kejati Maluku belum ada hasilnya. Belum ada kejelasan. Sehingga kami masyarakat adat memasang tanda larangan,” tegas dia.

Sebelum sampai di Kejati Maluku, kasus ini awalnya hanya soal penyerobotan lahan yang dilaporkan ke Polda Maluku dan kemudian di-acc untuk ditangani Polres Buru, namun ternyata jalan ditempat. Terlapor adalah PLN UIP Maluku dan Ferry Tanaya yang mengaku sebagai pemilik tanah.

Tapi kemudian, kasus ini dilaporkan ke Kejati Maluku. Kejati melihat adanya unsur korupsi di kasus ini, lalu ditelaah, hasilnya positif ada indikasi.

Alhasil, kasus ini diberi nomenklatur di Kejati sebagai kasus tipikor pembelian lahan proyek pembangunan PLTGM Namlea Kabupaten Buru, berlokasi di dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Lilialy Kabupaten Buru.

Untuk diketahui, tim jaksa Kejati Maluku menemukan unsur tindak pidana korupsi dalam kasus ini. Feri Tanaya pada Mei 2018 lalu disebut sebagai terlapor karena menjual tanah milik Petuanan Negeri Lilialy seluas 2 Ha lebih dan lahan milik Moch Mukadar seluas 2.87 Ha kepada PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Maluku berdasarkan ERPAK Belanda tahun 1938.

Mirisnya, dalam transaksi jual beli itu, Fery Tanaya sedang menggugat Mukadar di MA. Namun gugatannya kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, Pengadilan Negeri Ambon, bahkan di tingkat kasasi Mahkamah Agung TUN serta PK Perdata di MA di tolak tanggal 30 Mei 2017 juga kalah. (KTA)

Komentar

Loading...