Bagaimana Kondisi Bonus Demografi di Era Pengangguran Tinggi?

Mesti ada kebijakan konkret jangka pendek, menengah, dan panjang yang diimplementasikan sebaik-baiknya dalam memanfaatkan bonus demografi.
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Sejak lama pemerintah mendengungkan keunggulan bonus demografi Indonesia bakal menjadi faktor pemicu pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Sejak lama pula narasi bonus demografi itu tak terlihat dampaknya mengerek posisi Indonesia dari jebakan middle income trap.
Ini disebabkan bonus demografi yang dimiliki sekadar dipandang sebagai peluang, tanpa diiringi perencanaan yang matang.
Baru-baru ini, Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, turut membahas terkait bonus demografi dalam sebuah video monolog, yang tayang pada Sabtu (19/4/2025).
Gibran menyampaikan, bonus demografi adalah salah satu peluang Indonesia melejit di tengah berbagai tantangan: seperti kondisi ekonomi, perdagangan global, geopolitik, dan ancaman perubahan iklim.
Gibran meyakini, Indonesia sedang berada di persimpangan sejarah. Pasalnya, terdapat bonus demografi yang akan dirasakan puncaknya oleh Indonesia pada rentang 2030-2045. Kesempatan ini hanya akan datang sekali dalam kehidupan bangsa.
Putra sulung Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, tersebut menyampaikan bahwa generasi muda Indonesia menjadi jawaban tantangan masa depan. Oleh karenanya, keuntungan bonus demografi merupakan peluang besar bagi Indonesia.
Gibran menyebutnya sebagai sebuah ‘kesempatan emas’ agar bonus demografi tidak menjadi sekadar bonus dan angka statistik yang fantastis semata.
“Kesempatan ini tidak akan terulang, di mana sekitar 208 juta penduduk kita akan berada di usia produktif, di mana generasi produktif, generasi muda memiliki proporsi yang lebih besar, sehingga memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan arah kemajuan,” ucap Gibran dalam video berdurasi enam menit 19 detik tersebut.
Monolog Gibran yang bernada optimistis dalam mengelola bonus demografi Indonesia tentu saja sinyal perhatian pemerintah akan masa depan bangsa.
Kendati begitu, potensi besar bonus demografi belum disambut aksi nyata dari pemerintah dalam mengelola kondisi ini menjadi tambang emas bagi masa depan bangsa Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari loyonya keadaan masyarakat di usia produktif dalam mencari pekerjaan yang stabil di sektor formal.
Statistik Indonesia 2025 mencatat, penduduk usia produktif Indonesia mencapai 196,13 juta orang dari 284,44 juta penduduk. Sayangnya, per Februari 2024, BPS mencatat bahwa ada sekitar 7,2 juta orang masuk dalam kategori pengangguran terbuka atau setara 4,82 persen.
Angka tersebut hanya turun 0,63 persen poin dibanding Februari 2023. Persentase kategori setengah pengangguran pada Februari 2024 juga naik sebesar 1,61 persen.
BPS juga sempat menyatakan, banyak penduduk usia muda tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET) di Indonesia. Hampir 9,9 juta penduduk usia muda tidak memiliki kegiatan produktif atau NEET. Proporsinya mencapai 22,25 persen dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.
BPS mendefinisikan NEET sebagai penduduk usia 15-24 tahun yang berada di luar sistem pendidikan, tidak sedang bekerja, dan tidak sedang berpartisipasi dalam pelatihan. Ini mengindikasikan adanya tenaga kerja potensial yang tidak terberdayakan.
Ada berbagai alasan yang membuat banyak Gen Z masuk ke kelompok ini. Di antaranya putus asa, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, kewajiban rumah tangga, dan sebagainya.
BANAK PENGANGGURAN
Dengan kondisi begini, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memandang bonus demografi Indonesia sudah menjadi bencana demografi ketika pemuda banyak yang menjadi pengangguran. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk usia pemuda sudah lebih tinggi dibanding dengan TPT nasional.
Huda menilik, TPT pemuda mencapai 14 persen, sedangkan angka TPT nasional di angka 5 persen. Artinya, kata dia, tingkat pengangguran nasional banyak disebabkan oleh pemuda yang menganggur.
“Kondisi tersebut bisa menyebabkan generasi pemuda kita akan mempunyai pendapatan terbatas, namun dihadapkan pada biaya hidup yang tinggi,” ucap Huda kepada wartawan Tirto, Senin (28/4/2025).
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan dengan banyaknya kelompok pemuda yang menjadi setengah pengangguran. Mereka merupakan para pekerja informal yang tidak memberikan kesejahteraan lebih baik dalam perekonomian dibandingkan pekerja formal. Akibatnya, kata Huda, memenuhi kebutuhan wajib seperti asuransi kesehatan dan pendidikan saja mereka tidak sanggup.
Menurut Huda, persentase NEET Indonesia paling tinggi di antara negara ASEAN. Kondisi pemuda yang berada dalam kategori NEET, mengubah bonus demografi menjadi ancaman nyata di masa depan, bahwa semakin banyak pengangguran usia muda ke depan.
Tidak semua pemuda memiliki modal untuk bersaing. Modal pendidikan hingga modal uang terbatas. Faktanya, tidak semua pemuda Indonesia dalam kondisi ideal untuk berkompetisi seperti yang diserukan Wapres Gibran dalam video monolognya.
Maka yang pertama harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki modal dasar terlebih dahulu: yakni pendidikan.
Pemerintah perlu membuat pendidikan tinggi lebih terjangkau bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dan miskin sehingga mereka punya modal untuk bekerja ke sektor formal.
Kedua, mendorong adanya pajak kekayaan ataupun pajak warisan sehingga kondisi awal anak orang kaya juga bisa direduksi melalui regulasi pajak warisan.
“Pemuda biasa tidak akan bisa bersaing dengan anaknya konglomerat. Mereka kalah dari sisi modal uang, pendidikan, hingga koneksi. Apa yang disampaikan Gibran semuanya klise,” ucap Huda.
Di sisi lain, tantangan yang ada saat ini adalah semakin anjloknya angka pernikahan. BPS mencatat, Pada 2014 jumlah perkawinan di Indonesia masih mencapai 2,11 juta.
Namun, 10 tahun berikutnya, jumlah perkawinan menurun 30 persen menjadi 1,48 juta kasus. Tahun itu, tercatat jumlah pemuda yang belum kawin melonjak hingga 69,75 persen dibanding 2015.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pernah menyampaikan bahwa kondisi ini dapat mempengaruhi kondisi bonus demografi Indonesia.
Termasuk berpengaruh pada angka kelahiran total, pertumbuhan penduduk, dan pendapatan kelas menengah. Fenomena ini diproyeksi berdampak pada usaha Indonesia menjadi negara terbesar nomor empat di dunia.
Menurunnya jumlah perkawinan membuat peluang reproduksi masyarakat makin tergerus sehingga tingkat kesuburan total (TFR) ikut berkurang.
Imbasnya, mempengaruhi penduduk usia produktif yang semakin terkikis dan membuat periode bonus demografi Indonesia terus memendek. Jendela kesempatan untuk memanfaatkan dividen demografi turut menyempit.
Peneliti Bidang Ekonomi dari The Indonesian Institute (TII), Putu Rusta Adijaya, memandang Indonesia memang harus terus menatap positif peluang bonus demografi. Namun, kuantitas penduduk usia produktif belum diiringi dengan kualitas.
Ia menambahkan, kualitas sumber daya manusia produktif Indonesia belum tersebar secara merata. Kemungkinan baru terkonsentrasi di kota-kota besar atau wilayah dengan aktivitas ekonomi yang tinggi. Sebabnya, wilayah beraktivitas ekonomi yang tinggi membutuhkan SDM yang produktif dan berdaya saing.
“Daerah tersebut juga biasanya sudah memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk pembangunan SDM,” kata Rusta kepada wartawan Tirto, Senin.
Peluang bonus demografi tentu juga berpotensi sekadar numpang lewat di Indonesia. Hal ini terjadi jika pemerintah beserta jajarannya tidak sigap dan berpikir strategis. Apalagi hanya memikirkan perut dan kekuasaan semata.
Maka dari itu, kata Rusta, mesti ada kebijakan konkret jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang yang diimplementasikan dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah dalam memanfaatkan bonus demografi.
Investasi sektor pendidikan dan pembukaan lapangan kerja yang sejalan dengan kebutuhan industri, berpotensi membuat bonus demografi dapat menjadi pendorong utama Indonesia menjadi negara yang maju. Termasuk, mengutamakan akses kesehatan dan pelayanannya yang merata bagi masyarakat di seluruh daerah.
“Tanpa kebijakan konkret dan perbaikan struktural, bonus demografi hanya jargon dan berpotensi memperburuk kondisi masyarakat yang sekarang ini sedang menghadapi tekanan sosial-ekonomi yang berat,” terang Rusta. (TIRTO)
Komentar