Pesepakbola Naturalisasi dan Perjuangan Mempertahankan Identitas

Penulis : Topan Parisi Wakanno

Mahasiswa Magister Antropologi Universitas Gadjah Mada

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Tim Nasional Sepak Bola Indonesia belakangan ini menjadi pusat perhatian. Keberhasilan mereka mencapai putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 memunculkan harapan baru di tengah masyarakat Indonesia. Penampilan gemilang Timnas tidak lepas dari kontribusi pemain-pemain naturalisasi yang kini memperkuat skuad Garuda. Sebagian besar pemain tersebut memiliki garis keturunan Indonesia dan datang dari Belanda, negeri yang memiliki sejarah panjang dengan Indonesia.

Para pemain naturalisasi yang saat ini menjadi punggawa Tim Garuda adalah Justin Hubner, Ivar Jenner, Rafael Struick, Thom Haye, Nathan Tjoe A On, Jay Idzes, Jordi Amat, Maarten Paes, Sandy Walsh, Calvin Verdonk, Mees Hilgers, Ragnar Oratmangoen, Shayne Pattynama, Eliano Reijnders, hingga yang terbaru, Kevin Diks. Mereka semua memiliki akar keturunan dari wilayah berbeda-beda di Indonesia, namun empat nama terakhir, Shayne Pattynama, Eliano Reijnders, Ragnar Oratmangoen, dan Kevin Diks memiliki akar keturunan yang sama, yaitu dari Maluku.

Tidak hanya di Timnas Indonesia, pemain-pemain keturunan Maluku juga kerap mencuri perhatian di level internasional. Salah satu contohnya adalah Tijjani Reijnders, kakak dari Eliano Reijnders, yang kini memperkuat klub raksasa Italia AC Milan dan Timnas Belanda. Sebelumnya, ada juga nama-nama legendaris seperti Sonny Silooy, Simon Tahamata, hingga Giovanni van Bronckhorst. Van Bronckhorst bahkan didapuk menjadi kapten Timnas Belanda di Piala Dunia 2010. Kehadiran mereka menjadi simbol kuat bahwa identitas dan warisan budaya Maluku terus hidup, bahkan jauh dari tanah asalnya.

Hubungan Sejarah Maluku-Belanda

Keberadaan komunitas Maluku yang cukup besar di Belanda bukanlah tanpa alasan. Setelah kemerdekaan Indonesia, pergolakan politik menyebabkan banyak orang Maluku, terutama mereka yang terlibat dalam Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), harus meninggalkan tanah air dan bermigrasi ke Belanda. Proses ini bukan pilihan, melainkan paksaan yang meninggalkan luka mendalam bagi mereka karena terpaksa harus meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka.

Di tanah baru, masyarakat Maluku berjuang keras untuk beradaptasi, namun tetap menjaga tradisi dan identitas mereka. Dalam keseharian, mereka menanamkan rasa bangga akan asal-usul kepada generasi berikutnya. Hal ini terlihat dari berbagai ekspresi budaya, mulai dari festival tahunan hingga simbol-simbol adat yang mereka jaga dengan penuh penghormatan.

Sepak Bola sebagai Media Ekspresi Identitas

Bagi komunitas keturunan Maluku di Belanda, sepak bola menjadi salah satu cara mengekspresikan rasa cinta mereka terhadap tanah leluhur. Beberapa pemain bahkan secara terang-terangan menunjukkan kebanggaan mereka akan warisan budaya Maluku. Contohnya, Tijjani Reijnders yang menghiasi lengan kanannya dengan tato bergambar lambang adat Maluku. Kevin Diks pun menunjukkan rasa cintanya terhadap Pulau Ambon melalui tato di lengannya.

Simon Tahamata, yang dikenal sebagai legenda Ajax Amsterdam, selalu menonjolkan identitas Maluku di dalam dan luar lapangan. Ketika ia mengakhiri kariernya bersama Ajax Amsterdam, poster besar bertuliskan “OOM SIMON TERIMAKASIH” menghiasi Johan Cruyff Arena, sebuah penghormatan yang menunjukkan betapa pentingnya Simon sebagai sosok inspiratif yang tidak melupakan akar budayanya. Giovanni van Bronckhorst, meski telah mencapai puncak karier di sepak bola internasional, tidak pernah lupa menyebut dirinya sebagai keturunan Indonesia dalam berbagai wawancara.

Ekspresi budaya ini tidak hanya terbatas pada simbol atau pernyataan, tetapi juga terwujud dalam kegiatan tahunan seperti festival budaya Maluku yang rutin diadakan di Belanda. Festival ini menjadi ruang bagi komunitas Maluku untuk merayakan tradisi, tari-tarian, musik, hingga kuliner khas yang selalu mengingatkan mereka pada kampung halaman yang berjarak ribuan kilometer jauhnya.

Menjaga Jati Diri di Tengah Globalisasi

Kisah perjuangan komunitas keturunan Maluku di Belanda dan kontribusi mereka di dunia sepak bola adalah cerminan dari betapa kuatnya ikatan budaya dan identitas, meski terpisah oleh jarak ribuan kilometer. Mereka membuktikan bahwa meski berada di negeri asing, rasa cinta dan rindu terhadap tanah air tidak pernah padam.

Hal ini juga menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia untuk tidak melupakan akar budaya di tengah derasnya arus globalisasi. Seperti halnya para pemain naturalisasi yang rela kembali ke Indonesia untuk membela Tim Nasional, identitas dan budaya harus dijaga, dihargai, dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Dengan terus mendukung keberagaman dan mengapresiasi warisan budaya, Indonesia dapat tumbuh menjadi bangsa yang kuat, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam sepak bola, perpaduan antara pemain lokal dan naturalisasi mencerminkan semangat persatuan, keberagaman, dan kerja keras untuk mengangkat nama Indonesia di pentas dunia.

Akhirnya, perjuangan komunitas Maluku di Belanda, para pesepakbola keturunan Indonesia, dan Timnas Indonesia adalah kisah tentang harapan, kebanggaan, dan cinta terhadap tanah leluhur yang tidak pernah pudar.

Pemain Naturalisasi: Harapan Baru untuk Timnas Indonesia

Berkat kerja sama erat antara PSSI dan para pemain keturunan Indonesia di luar negeri, banyak dari mereka akhirnya bersedia dinaturalisasi untuk memperkuat Timnas Indonesia. Proses ini tidak hanya membawa dampak positif bagi performa tim, tetapi juga menyatukan kembali ikatan emosional antara para pemain dengan tanah leluhur mereka.

Pemain-pemain seperti Jay Idzes, Thom Haye, Shayne Pattynama, dan Rafael Struick membawa warna baru dalam permainan Tim Nasional Indonesia. Mereka tidak hanya memiliki kemampuan olah bola yang mumpuni, tetapi juga rasa bangga mengenakan seragam merah putih dengan lambang Garuda di dada. Bagi mereka, bermain untuk Indonesia adalah bentuk penghormatan dan rasa cinta terhadap darah Indonesia yang mengalir dalam tubuh mereka. (*)

Komentar

Loading...