Ketua DPRD SBB “Aktor” Sebabkan Kerugian Negara di Korupsi Kapal

KABARTIMURNEWS.COM.AMBON - Anggaran korupsi itu, tidak ada dalam batang tubuh APBD. Tapi, dipaksa. Tanpa persetujuan Ketua DPRD tidak ada korupsi di kasus kapal.

Tak elok, bila kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kapal Operasional Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), yang merugikan negara Rp 5,072, miliar dikenakan pada delapan orang tersangka, yang umumnya berasal ASN dan pihak swasta (kontraktor).

Pendapat ini disampaikan, Syawal Tamher, aktivis HMI Cabang Ambon, menjawab Kabar Timur, seputar penanganan kasus dugaan korupsi kapal yang telah menetapkan delapan orang tersangka oleh Dirrektorat Kriminal Khusus, Polda Maluku, Rabu, kemarin.

Menurut Syawal, keinginan publik agar peran Abdul Rasyid Lisaholith dalam kedudukannya sebagai Ketua DPRD SBB harus mendapat respon positif penyidik. “Setidaknya keinginan publik ini harus dilihat dalam kerangka penegakan hukum yang adil. Jangan sampai ada persepsi yang muncul bahwa hukum hanya tajam kebawa dan tumpul keatas,” sebutnya.

Peran Abdul Rasyid harus ditangani serius. Apalagi, dalam anatomi kasus tersebut, ada peran signifikan yang bersangkutan sehingga terjadi kerugian negara. Salah satu perannya adalah menyetujui anggaran termin kedua untuk dibayarkan kepada pihak ketiga dalam hal ini kontraktor.

“Artinya, tanpa ada persetujuan Ketua DPRD SBB, dana termin kedua tidak mungkin dicairkan. Apalagi persetujuan pembayaran dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan sidang pembahasan di DPRD setempat. Itu berarti persetujuan pencairan anggaran itu, punya maksud dan motif lain. Motifnya mencari untung,” sebutnya.

Proyek pengadaan kapal Rp 7,1 miliar 2020 itu, lanjut dia, sebelumnya telah bermasalah pada pembayaran termin pertama, kendati “dipaksakan” untuk dilakukan pembayaran termin. Dari pembayaran termin dua muncul masalah atau kerugian negara.  Dari konstrusi kasusnya demikian.

“Itu berarti orang-orang yang berada pada pencairan termin kedua, sebagai aktor dari kerugian negara. Salah satu aktornya adalah Ketua DPRD yang memainkan peran seorang diri menyetujui anggaran termin kedua tersebut dicairkan. Jadi salah satu aktornya boleh dibilang Ketua DPRD itu. Tanpa persetujuannya tidak mungkin anggaran termin kedua itu dicairkan,” papar Syawal.

Dengan begitu, sebut Syawal, penetapan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus ini dirasa belum memenuhi rasa keadilan dan persepsi hukum masih tajam kebawa dan tumpul keatas dengan sendiri terlihat begitu terang benderang.

“Kalau peran para petinggi daerah yang nayata seperti ini, lantas tidak menyandang gelar tersangka itu berarti, hukum hanya tajam kebawa dan tumpul keatas. Anggaran dari korupsi itu, tidak ada dalam batang tubuh APBD setempat. Tapi, dipaksa ada. Tanpa persetujuan Ketua DPRD atas anggaran tersebut tidak ada korupsi di kasus itu,” terangnya.

Sebetulnya, tambah dia,  orang yang paling bertanggungjawab di kasus ini, Abdul Rasyid Lisaholit. “Kalau lihat dari fakta-fakta yang diungkapkan media, tidak seimbang karena penyidik terkesan fokus kepada pelaku dari unsur eksekutif, sementara legislatif tidak dikejar,” katanya.

Dikatakan, penyidik bisa jadikan pencairan dana termin dua sebagai pintu masuk membuktikan Ketua DPRD SBB punya andil menyebabkan kerugian keuangan negara.

“Dana Termin Dua yang dibayar kepada pihak kontraktor ini perlu diusut. Itu anggaran kan tidak ada dalam APBD 2021, dan persetujuan serta pencairannya juga dilakukan mendahului penetapan APBD Perubahan 2021,”jelasnya. (*/KTE)

Komentar

Loading...