Monolog Tuty Yarni Rusli “Sumpah” Balada Banda Negeri-ku
Oleh:Nurliawati Dide (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Semester 5.)
TULISAN tangan Tuty Yarni Rusli seorang perempuan asal Banda Neira yang menulis tentang keresahan yang diahapai disaat masa penjajahan dulu. Mengisahkan duka dan bekas goresan luka yang mendalam bagi masyarakat Banda Neira. Pulau dengan sejuta kekayaan alam yang dimiliki, sehingga menjadi rebutan para penguasa bertopeng yang haus akan tanah orang lain. Coretan puisi ini bukan sekedar bekas luka yang dihadapi pada zaman dulu, akan tetapi tentang sindiran bagi para penguasa yang terhormat untuk tidak melupakan sebuah janji dan sumpah yang sudah pernah terucap, agar tidak menyisahkan trauma bagi masyarakat yang sudah senantiasa menelan janji manis, tanpa meminum segelas air untuk menetralkan manis yang sudah sangat pekat tersebut.
Sebuah mimpi yang ingin diwujudkan menjadi kenyataan, banyak mimpi yang ingin dicapai, yaitu digambarkan dengan kalimat “sela-sela dedauan” lensa kamera yang hanya terfokus pada satu pandangan yaitu sebuah impian dan cita-cita.
Banyak janji dan sumpah manis yang sering dituturkan namun, tidak sedikitpun dapat diwujudkan, bagaikan racun yang mengorogoti hati lunak tanpa belas kasihan. Mereka hanya memamerkan sumpahnya saja, tanpa perwujudan. Mereka meninggalkan kalimat-kalimat tersebut seperti jejak tanpa tujuan yang nyaman, layaknya sampah-sampah yang berserakan.
Angin bertiup dengan sekita dan membuang semua sumpah, janji yang pernah terucap. Kami ternyata hanya dijajah dengan rangkulan yang hangat dan penuh kepalsuan, dan dengan manisnya mereka berkata: “Mencintai si kecil Banda Neira dengan lapang dada” namun, yang terlihat hanyalah wajah-wajah merdeka yang sudah lupa akan topeng yang dikenakan sewaktu berkata janji manis dulu “bertopeng kekuasaan membuka segalanya, menelanjangi Banda Neira”, dengan sangat tidak merasa bersalah akan semua janji yang sudah terucap oleh lafat, namun terus bertopeng kebangaan belaka, “sementar kami mencium bau busuk menyengat melekat pada kau!”
Kami, penerus, cucu-cucu nenek moyang yang ditelantarkan, dan hanya menelan luka serta sesak di tanah sendiri yang terus berhadapan dengan kenyataan, yang digambarkan dalam sebuah kalimat “kami dibunuh, diasingkan, kami jadi tawanan di rumah kami sendiri”.
Para penguasa yang datang beratasnamakan jabatan yang diemban tanpa sedikit rasa malu, kemudian mengatakan tanah ini adalah miliknya dan semua isi kekayaannya, mereka melupakan kami yang pada kenyataannya adalah penerus yang sejak lahir telah mengikatkan tali pusar di tanah Banda Neira ini “sampai kami lupa, kami ini apa? Lalu, mereka siapa?”
Berikut goresan tinta dari cucu nenek moyang, asal Banda Neira
“Balada Banda Neira-ku”
Seberkas cahaya membawa banyak mimpi berpijar pada sela-sela dedaunan
menyilaukan pandangan, membentuk lingkaran kecil pada lensa kamera
lantas akankah ia jadi nyata?
Jadi negeri makmur tanpa mulut manis penuh racun yang melenakan kemudian merampas
Jadi nyaman dengan sayang tulus, bukan sekedar memamerkan indahnya lalu kau sisakan jejak bodohmu di antara sampah-sampah berserakan
Jadi tentram, tanpa alih-alih merdeka nyatanya dijajah dalam rangkul hangat penuh kepalsuan
Bagaimana mencintai si kecil Banda Neira dengan lapang dada?
Saat wajah-wajah bengis bertopeng kekuasaan membuka segalanya, menelanjangi Banda Neira!
Membiarkan tamu-tamu terhormat berpesta ria, merayakan setiap jengkal Banda yang porak-poranda secara tersembunyi
Bersulang atas pundi-pundi
Masih bisakah kau membusung kan dada? sementara kami mencium bau busuk menyengat melekat pada kau!
Dari setiap jengkal tanah barakat ini putra putri mu menelan luka, sesak dicekik kenyataan
Kami dibunuh, diasingkan, kami jadi tawanan di rumah kami sendiri.
Menyaksikan para penyamun menjarah suka-suka
Sampai kami lupa kami ini apa? Lalu, mereka siapa!
Karya: Tuty Yarni Rusli
Sumpah janji manis memang sebuah bahasa tutur untuk mengikat dan sebagai daya pikat yang mujarap untuk para penguasa. Tuturan boleh berebada dengan realita, akan tetapi untuk membawa perubahan yang positif bukan untuk menjatuhkan yang sudah jatuh. Makna yang diaungkap pada puisi tersebut sangat mendalam apalagi bagi para pembaca yang benar-benar meresapi setiap kata demi kata dalam puisi “Balada Banda Negeri-ku” aspek perasaan, nada bertutur, serta tujuan adalah respon yang sering diungkapan dalam memaknai sebuah bahasa. Unsur emotif yang terkadung di dalam puisi perempuan asal Banda Neira Tuty Yarni Rusli pada acara “Panggung Sastra: Suara dari Banda Neira” yang diadakan 17 November 2020 lalu, berlokasi di Benteng Belgica (Banda Neira, Maluku Tengah) oleh Kantor Bahasa Provisi Maluku Badan Pengembangan dan Pembidaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan kesan serta cara pandang untuk menjadikan negeri sendiri menjadi lebih baik dan bukan dalam bentuk tipu muslihat semata. (**)
Komentar