Pemilu 2019 dan Peran Para Pemodal; Sebuah Perspektif Tentang Fenomena Rent-Seeking di Indonesia

IstAbubakar Solissa (Wasekjen Eksternal PB HMI Periode 2018-2020)

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON - Modal popularity, likeability dan elektability saja tidak cukup, harus disokong oleh pendanaan yang memadai bagi seorang kandidat calon presiden maupun wakil presiden untuk masuk dalam gelanggang kontestasi.

Di Amerika Serikat sendiri yang hanya memiliki dua partai politik di house of representative, Partai Demokrat dan Republik, para kandidat capres dituntut untuk harus bertarung dengan modal yang besar sebagai salah satu syarat untuk menggalang dukungan yang lebih besar dari pemilih di grassroots.

Besarnya findrising yang harus disiapkan oleh seorang kandidat membuat siapapun yang maju sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden harus menggalang dukungan dana untuk mencukupi segala kebutuhan operasional konsolidasi politiknya untuk membangun komunikasi yang simetris maupun asimetris.

Komunikasi simetris itu berkaitan dengan upaya menggalang dukungan partai politik, sedangkan asimetris itu berkaitan dengan political campaign, dimana seorang capres maupun cawapres harus turun berkampanye di daerah-daerah untuk menyampaikan program serta platform kebijakan pemerintahan yang akan dilakukan andaikan terpilih sebagai presiden maupun wakil presiden. 

Pertanyaannya, seorang kandidat capres itu dapat dana sebanyak itu dari mana? Sepanjang pengalaman pemilu di negara-negara di dunia, kekuatan pemodal itu seringkali mengisi post-post penting dalam peta kontestasi politik, seperti misalnya, menjadi penyuplai sekaligus penyokong dana bagi para kandidat. Bahkan di Amerika, lobi-lobi politik sangat gencar dilakukan antara kandidat dan pengusaha dalam membangun sebuah kesepakatan politik.

Salah satu kelompok lobi yang paling berpengaruh di Amerika Serikat adalah American Israel Public Affairs Commite (AIPAC) yang merupakan sebuah jaringan lobi Israel di Amerika. Jaringan inilah yang menjadi penyokong bagi para kandidat yang akan bertarung di pilpres.

Cash yang sama juga terjadi di Indonesia. Peran para oligark sangat kuat sekali. Setiap kali ada pemilu pasti kelompok-kelompok pemodal atau bangkir pemilu ini memainkan perannya dengan sangat baik. Target mereka jelas, mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. 

Praktek oligarki politik ini sudah menyubur di Indonesia sejak lama. Di rezim Orde Baru misalnya, hubungan gelap antara rezim Soeharto dengan para pemodal sangat intens terbangun. Keduanya saling membangun kerjasama dalam berbagai aspek kepentingan. Tentu, kerjasama ini punya benefit yang besar bagi keduanya. 

Tugas pemodal adalah menyokong pemerintahan Soeharto dengan segala resource yang mereka miliki, dan tugas pemerintah adalah memberikan privilige dalam bentuk lisensi dan konsesi yang menggiurkan bagi para kelompok pemodal ini.

Fenomena rent-seeking ini tidak ikut tenggelam saat Soeharto tak lagi berkuasa. Dia bertransformasi, dan beradaptasi dengan setiap penguasa baru yang mimimpin negeri ini. Siapapun presidennya, pasti kelompok pemodal ini selalu hadir mengsupport. Jaringannya masih yang itu-itu saja, kebanyakan pemain lama yang ikut menikmati kue kekuasaan di era orde baru namun tak ikut tumbang bersama Soeharto.

Mereka adalah rent-seekers yang punya kekuatan luar biasa. Jaringan mereka sudah terlembaga, sehingga punya pengaruh yang kuat dalam mengintervensi para pengambil kebijakan, bahkan presiden sekalipun mampu mereka pengaruhi. 

Targetnya sudah pasti berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya negara. Bagi para pengusaha ini, tak ada istilah makan siang gratis. Konstribusi yang mereka berikan saat pilpres memiliki impact yang sebanding. Kompensasi yang harus dibayar tentu berkaitan dengan konsesi dan lisensi dalam mengelola sumberdaya alam maupun mengelola proyek-proyek APBN diberbagai sektor kementerian.

Pilpres 2019 yang baru saja selesai kita gelar memiliki resonansi dan fenomena yang kurang lebih sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Peran para oligark sangat kental terlihat dikedua pasangan capres dan cawapres.

Di kubu Jokowi maupun Prabowo sama-sama disokong oleh pengusaha dan kekuatan oligarki yang memiliki jaringan luas. Meskipun pasangan Joko Widodo dan Maruf Amin memiliki sokongan paling besar, karena status Jokowi sebagai incumbent yang punya akses langsung ke semua kekuatan pemodal, tapi Prabowo juga memiliki jaringan pengusaha yang mampu menopang segala biaya operasional konsolidasi politiknya semasa kampanye.

Salah satu kekuatan pemodal yang menopang Prabowo adalah keluarga Cendana. Sebagai ex-keluarga Cendana yang sampai saat ini masih memiliki hubungan baik dengan keluarga cendana, khususnya mantan istri Prabowo, Titiek Soeharto, membuat mantan Danjen Kopassus ini seperti mendapat karpet merah dari kerajaan Cendana yang memiliki resources melimpah.p

Selain keluarga Cendana, Prabowo juga bisa dibilang adalah pengusaha besar di Indonesia dengan jaringan internasional yang sangat luas. Bersama adiknya, Hasyim Djojohadikusumo, Prabowo membangun bisnis perusahaannya dimana-mana.

Cawapres Prabowo, Sandiaga Salahuddin Uno juga merupakan pengusaha muda paling kaya di Indonesia. Sandiaga Uno salah satu penyuplai dana kampanye terbesar buat konsolidasi pemenangan pasangan Prabowo-Sandi selama pilpres berlangsung.

Dengan kekayaan Sandi yang berlimpah, Prabowo berani menggandeng dirinya sebagai cawapres. Ini alasan kenapa Prabowo menjatuhkan pilihan bagi Sandi ditengah banyak cawapres yang ingin mendampinginya di pilpres, terlepas soal trade-off di internal partai pendukung Prabowo yang berhitung soal coattail effect atau efek ekor jas bagi partai partai pengusung.

Bahkan santer terdengar kabar, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Sandi untuk berpasangan dengan Prabowo adalah dengan terlebih dahulu membayar mahar kepada PKS dan PAN sebagai partai yang akan mengusung mereka berdua.

Terlepas dari berbagai spekulasi tentang kedua partai tersebut meminta dibayar mahar sebagai syarat koalisi atau tidak, tapi itulah fakta politik di Indonesia yang cenderung memperlihatkan pada kita kalau kekuatan pemodal itu sangatlah besar.

Di kubu Jokowi dan KH. Maruf Amin juga sama. Sebagai incumbent, Jokowi memiliki modal politik yang besar. Relasi selama lima tahun menjadi presiden pastilah masih terjaga. Politik balas budi antara pemodal dengan Jokowi masih terbilang harmonis. Karena biar bagaimanapun selaku presiden, Jokowi banyak memberikan privilige untuk mereka membangun usaha dan mengkonsolidasikan pundi-pundi rupiah dalam juamlah yang besar. Maka wajar saja ketika pilpres dijadikan sebagai momentum balas budi sekaligus investasi politik untuk periode berikutnya, mengingat posisi elektabilitas Jokowi yang melambung tinggi meninggalkan Prabowo yang harus berjuang keras untuk memperbaiki tingkat elektabilitas yang terbilang medioker.

 Perlu Ada Upaya yang Serius untuk Membenahi Sistem Pemilu Kita di Indonesia 

Sistem pemilu berbiaya tinggi di Indonesia menurut saya harus dipangkas lagi dengan merevisi kembali undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu. Cost pemilu yang terbilang mahal ini pasti akan berdampak pada findrising yang tinggi, sehingga setiap orang yang mencalonkan diri sebagai capres maupun cawapres harus mencari dukungan para pemodal untuk membiayai segala kebutuhan kampanye mereka di pilpres.

Dan sudah pasti, bantuan yang diberikan oleh para pemodal ini punya konsekuensi politiknya. Tak ada bantuan para pemodal ini yang gratis, semuanya harus dibayar mahal kalau sudah menang. 

Kompensasi yang akan diberikan bisa dalam bentuk lisensi dan konsesi lewat kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, bisa juga dalam bentuk bagi-bagi proyek dari APBN.

Untuk itu, mekanisme pengetatan bantuan pihak ketiga untuk para kandidat harus lebih jelas lagi diatur serta punya sangsi yang tegas bagi pihak-pihak yang melanggarnya. Sehingga ada efek jera yang didapatkan oleh keduanya.

Kandidat hanya bisa memperoleh bantuan dari dana publik dan tabungan pribadi, itupun besarannya harus dibatasi, sehingga fokus para kandidat ini hanyalah membuat program tanpa dibayang-bayangi oleh logistik yang notabene adalah bantuan dari para pengusaha.

Seorang kandidat capres maupun cawapres juga harus diberikan sangsi yang tegas kalau kedapatan menggalang dukunga dari kelompok pemodal dengan iming-iming akan diberikan akses khsus untuk mengelola segala sumberdaya yang ada dalam kekuasaan. Biar perlu selain ada sangsi pidana, yang bersangkutan harus didiskualifikasi dari proses pemilu, dan tidak lagi berhak mengikuti pemilu.

Kalau langkah-langkah ini bisa dilakukan secara konsisten, saya yakin kualitas demokrasi kita akan semakin terkonsolidasi dengan baik, siapapun yang terpilih nanti akan benar-benar fokus bekerja untuk kepentingan publik. Dan dia tidak lagi terjebak dengan kepentingan para rent-seekers atau pemburu rente yang selalu memanfaatkan investasi politiknya saat pemilu dan mengharapkan dampak yang signifikan dari pengambilan kebijakan pascapemilu itu selesai digelar. 

(***)

Komentar

Loading...