Kejati Gagal Eksekusi Sahran Umasugy
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Dua tersangka perkara korupsi proyek Reklamasi Pantai Namlea Sri Julianti dan Muhammad Ridwan Pattilouw akhirnya digelandang ke Rutan Waiheru. Namun dalang perkaranya, Sahran Umasugy dan Memed Duwila Kejati Maluku ‘gagal’ menahan mereka.
Belum diketahui pasti penyebab kegagalan Kejati Maluku mengeksekusi dua aktor korupsi proyek tahun 2015-2016 senilai Rp 8 miliar lebih itu. Kepala Kejati Maluku Triyono Haryono hanya berdalih, mereka mangkir dari panggilan, ketika hendak dieksekusi, kemarin.
“Sedangkan tersangka Sahran Umasugy dan Muhammad Duwila tak menghadiri panggilan. Tanpa alasan,” akui Triyono kepada wartawan sesaat usai Sri Julianti dan Ridwan Pattilouw digelandang ke Rutan Waiheru.
Tersangka Sri Jurianty didampingi kuasa hukumnya Fachri Bachmid. Sedangkan tersangka Muhammad Ridwan Pattipelouw didampingi kuasa hukumnya Waremon Tasidjawa
Tersangka Sri Jurianty dititipkan di Lapas Nania blok perempuan dan anak. Sedangkan Muhammad Ridwan Pattipelouw ditahan di rutan lapas kelas II A Ambon.
Sekadar tahu saja, khusus Sahran Umasugy, selama proses penyidikan perkaranya di Kejati, yang bersangkutan kerap tak memenuhi panggilan penyidik. Dia juga terkesan tidak kooperatif dari sisi pengembalian uang kerugian negara.
Mantan Kasipidsus Kejati, Abdul Hakim sebelum digantikan oleh Kasipidsus yang sekarang, Yeochen Almahdaly kala memimpin timnya melakukan penyidikan menyebutkan, Sahran Umasugy baru mengembalikan uang negara senilai Rp 50 juta. Abdul Hakim juga sempat menyebutkan nilai kerugian keuangan negara hasil perhitungan jaksa jaksa mencapai Rp 3 miliar.
Menurut Hakim, nilai tersebut bisa jadi lebih besar lagi dengan alasan, BPK RI ketika melakukan on the spot di Namlea, lebih teliti sebab dilengkapi peralatan canggih. Dengan begitu, auditor BPK RI lebih mampu mengkover secara detail semua item pekerjaan yang diduga berkontribusi pada nilai kerugian negara.
“Perhitungan kasar kita awalnya Rp 1,7 miliar, sekarang Rp 3 miliar. Tapi BPK lebih lagi dari itu. Mereka punya peralatan, hitungnya pasti lebih rinci, lebih banyak kerugian yang dihitung, dari nilai perkiraan jaksa,” ujar Abdul Hakim kepada Kabar Timur akhir Nopember 2018 lalu.
Dalam on the spot atau tinjauan lapangan dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara tim BPK RI melakukan pengambilan sampel material tanah. Dilakukan pada dua lokasi, yakni bekas lokasi pembangunan bandara Namniwel, Desa Sawa, Kecamatan Liliarly maupun material tanah di lokasi proyek reklamasi Pantai Merah Putih, Kota Namlea.
Material tanah penimbunan itu secara kasat mata menurut Abdul Hakim tidak sesuai bestek pekerjaan. Karena dalam dokumen kontrak CV Aegeo Pratama dengan pemegang kuasanya Memed Duwila, material timbunan harus tanah pilihan. Tapi orang kepercayaan Sahran Umasugy itu menggunakan material buangan dari bekas proyek Bandara Namniwel, yang diambil secara gratis.
“Itu tanah kapur, pasti ndak cocoklah sama kontrak,” ujar Abdul Hakim.
Bukan saja itu, sheet pile atau talud pantai berbentuk huruf “U” yang terbuat dari beton itu seharusnya diletakkan dan dipasang pada lokasi sesuai gambar, ternyata tidak dipasang malah dibiarkan tergeletak di pelabuhan Namlea, tanpa bayar biaya sewa tempat.
Abdul Hakim juga berkesimpulan dari keterangan sejumlah saksi, Sahran Umasugy telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai anggota DPRD Kabupaten Buru dengan mengatur tender untuk memenangkan proyek itu.
Ketika itu dia juga menyatakan belum dapat menahan Sahran Cs mengingat Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKN) di perkara ini dari BPK RI belum dikantongi. Kalau penahanan dilakukan sebelum ada LHPKN dari BPK RI, dikuatirkan para tersangka akan bebas demi hukum. (KTA)
Komentar