KABARTIMURNEWS.COM, TUNIS – Birruh… Biddam… Nafdika ya al-Aqsha.” “Birruh… Biddam… Nafdika ya al-Aqsha.” “Birruh… Biddam… Nafdika ya al-Aqsha.” Mereka yang bergelut dengan aktivisme Palestina tentu akrab dengan ungkapan-ungkapan tersebut.
Kalimat-kalimat Arab itu slogan perjuangan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Artinya; “Dengan jiwa (ruh)… Dengan darah… Kami akan membelamu ya al-Aqsha.” Ungkapan pemompa nyali dan semangat itu biasanya diakhiri pekikan takbir. “Allahu Akbar.”
Dalam Global Sumud Flotilla (GSF) pekikan-pekikan pemompa nyali dan semangat itu masif dan akrab di telinga. Global Sumud Flotilla gerakan ribuan sipil kalangan aktivis, relawan, dan wartawan dari sedikitnya 45 negara. Dari Asia, Eropa, Amerika, Arab, Afrika mereka melakukan pelayaran akbar mengarungi Laut Mediterania. Tujuannya membuka koridor kemanusian melalui Laut Tengah ke perairan Gaza.
Konvoi laut akbar itu membawa logistik dan obatan-obatan untuk masyarakat di Gaza yang sudah 25 bulan mengalami kelaparan akibat genosida tentara penjajahan Zionis Israel.
“Free… free… free Palestine.” “Free… free… free Palestine.” “One, two, three… Free Palestine.” “One, two, three… Free Palestine”. Begitu juga seruan-seruan semangat para aktivis, dan relawan Global Sumud Flotilla yang lidahnya tak akrab dengan lafaz-lafaz Arab. Tetapi mereka turut-serta berkumpul di Tunisia.
Negara Tanah Kuno di ujung utara Tanduk Afrika itu jadi titik tolak pelayaran akbar kemanusian menembus blokade Gaza tersebut. Delegasi Indonesia Global Peace Convoy (IGPC) membawa sedikitnya 30-an relawan, aktivis, dan wartawan dalam misi kemanusian itu. Dua wartawan Republika, Bambang Noroyono, dan Thoudy Badai ikut serta dalam misi itu.
Selama di Tunisia, Republika menyaksikan Global Sumud Flotilla menjadi arena kampanye semua keyakinan, paham untuk membela Palestina dari kebiadaban Zionis Israel. Mereka yang berkepribadian Islam, Kristen, Katolik, bahkan yang berlatar belakang tak ber-Tuhan sekalipun menjadi satu dalam misi sipil Global Sumud Flotilla.
Mereka yang berpenampilan paling gamis, bercadar, bersorban, bertato, nyeleneh, slengean, bertindik di hidung, sama-sama bergabung membela Palestina. Apapun bahasanya, mereka yang berkulit kuning, berkulit putih-pucat, berkulit cokelat, maupun hitam, semuanya bersatu.
Entah karena atas dasar keagamaan, keyakinan teologisnya, atas dasar kemanusian, atau karena apapun itu, semuanya berkumpul di Tunisia untuk tujuan sama: ikut pelayaran akbar mengakhiri penjajahan di Tanah Palestina, dan mengakhiri genosida di Gaza.
Juru Bicara Global Sumud Flotilla Seif Abukeshk menyampaikan kepada seluruh partisipan pelayaran kemanusian, agar latar belakang dan kepribadian seseorang, tak menjadi penghalang untuk bersama-sama membela misi Palestina merdeka. Kata aktivis asal Barcelona-Spanyol itu, siapapun boleh ikut, dan berpartisipasi dalam misi pelayaran menembus blokade Gaza.
“Tanggalkanlah apapun kepentingan agamamu, tinggalkan apapun aktivitas politikmu, apakah kamu Islamis, apakah kamu beragama atau tidak, apakah kamu sosialis, apakah kamu buruh, apapun profesimu dan darimanapun kamu berasal, misi ini adalah untuk kemerdekaan Palestina, untuk mengakhiri penderitaan masyarakat di Gaza,” kata Abukeshk di General Union of Tunisian Workers (GUTW), Selasa (2/9/2025) lalu.
“Kita semua berada di sini, di gedung ini, untuk bersama-sama berjuang untuk kemerdekaan Palestina, untuk menghancurkan blokade Israel terhadap Gaza, untuk mengakhiri penderitaan orang-orang di Gaza. Dari sungai hingga lautan, Palestina akan merdeka,” kata Abukeshk.
MENGAPA DI TUNISIA
Mereka yang berangkat dari banyak negara untuk bergabung dalam armada Global Sumud Flotilla harus terlebih dahulu singgah dan bermukim di Tunis. Delegasi IGPC yang merupakan anggota Sumud Nusantara menggunakan pesawat dari Jakarta menuju Bangkok, lalu transit di Doha-Qatar, sebagian transit di Frankfurt sebelum melanjutkan penerbangan ke Tunisia. 3
0-an delegasi Malaysia yang juga anggota Sumud Nusantara terbang ke Spanyol, atau ke Italia lalu berlayar melalui laut ke Tunisia bersama-sama rombongan aktivis dan relawan dari Eropa.
Tak sedikit relawan dan aktivis dari Eropa-termasuk dari Turki yang membawa kapal-kapal mereka sendiri bergabung ke Tunisia.
Aktivis Greta Thunberg dari Swedia, Thiago Avila dari Brasil, Jasmine Acar dari Jerman satu pelayaran dari Spanyol bergabung ke Tunisia. Pegiat media sosial (medsos) Yusuf Omar berlayar dari Inggris ke Tunisia.
Mandla Mandela cucu dari pejuang kemerdekaan dan anti-apartheid Nelson Mandela bergabung ke Tunisia menjadi relawan Global Sumud Flotilla dari Afrika Selatan (Afsel). Begitu juga para relawan dan aktivis kemanusian dari Amerika.
Ribuan partisipan itu sudah berkumpul di Tunisia sejak 1 September 2025. Pada 2 September semua partisipan non leader wajib ikut pelatihan dan training misi menembus blokade Gaza.
Pelatihan dan training diinisiasi anggota-anggota Steering Committee (SC) Global Sumud Flotilla dan Sumud Maghribi. Banyak yang dipelajari dalam pelatihan dan training itu. Mulai dari pemahaman tentang hukum-politik internasional dan diplomasi atas misi kemanusian ini.
Para partisipan juga diajarkan mengatur narasi yang positif melalui pemberitaan konvensional, maupun di media sosial (medsos) atas misi menembus blokade Gaza ini. Namun mengharamkan personal branding selama pelayaran, melainkan tetap memfokuskan pada soliditas bersama untuk mengakhiri penderitaan rakyat di Gaza.
Pelatihan juga tentang bagaimana menghadapi Shayetet-13, tentara laut Zionis Israel yang bakal menangkap, bahkan melakukan penyerangan terhadap para partisipan Global Sumud Flotilla saat pelayaran.
pelatihan yang paling utama adalah tentang misi menembus blokade Gaza ini yang berpaham nonviolence, atau aksi tanpa kekerasan. Semua partisipan diwajibkan untuk terbiasa dengan sikap tak melakukan perlawanan fisik terhadap risiko apapun yang dihadapi selama pelayaran.
Republika bercakap-cakap langsung dengan para penyintas misi pelayaran kemanusian Mavi Marmara, Flotilla, maupun Handala. Mereka turut menyemangati seluruh partisipan Global Sumud Flotilla. Seperti Greta Berlin dan Ann Wright, dua perempuan ramah anti-Zionis Israel dan dedengkot Free Gaza Movement (FGM) yang selalu hadir selama sesi pelatihan.
Komedian Hollywood pro-Palestina Jacob Berger, dan aktivis asal Prancis yang juga mantan staf khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Chloe Fionna Ludden korban tentara Zionis Israel saat misi pelayaran Kapal Handala pada Juli 2025 lalu juga memberikan materi-materi misi pelayaran menembus blokade Gaza.
Pelatihan dan training partisipan Global Sumud Flotilla digelar di General Union of Tunisian Workers (GUTW). GUTW merupakan gedung serikat pekerja dan buruh seluruh Tunisia. GUTW menjadi basis kegiatan Global Sumud Flotilla selama di Tunisia. Lokasi itu berada di titik paling penting di Negara Tanah Kuno itu.
Lokasinya tak jauh dari Gerbang Bab el-Bahr, ikon Pasar el-Medina, sentra niaga yang sudah ada sejak 1.300 tahun yang lalu. Di titik ekonomi terpenting di Tunisia tersebut cendikiawan muslim kenamaan Ibnu Khaldun dilahirkan. Dan di lokasi itu berdiri salah-satu masjid dan kampus tertua di dunia, el-Zaytuna.
Duta Besar Indonesia di Tunisia Zuhairi Misrawi mengatakan aktivitas Global Sumud Flotilla yang terkonsentrasi di GUTW menunjukkan dukungan total seluruh masyarakat di Tunisia. GUTW merupakan episentrum sosial-politik paling kuat di Tunisia. Pun menjadi lokasi yang paling aman di Tunisia.
Tak semua kegiatan dalam negeri, maupun internasional yang dapat mengambil tempat di GUTW. Hanya aksi-aksi yang didukung oleh masyarakat buruh dan kelas pekerja Tunisia yang boleh mengambil kegiatan di lokasi tersebut.
Dan serikat buruh, maupun kelas pekerja di Tunisia bukan merupakan massa partai politik (parpol) tertentu. Melainkan hanya kelas sosial mayoritas di Tunisia.
Dan kelas sosial terbesar di Tunisia itu, kata Zuhairi tak berbasis pada paham-paham agama-agama tertentu. Meskipun kelompok sosial tersebut mayoritas Islam yang bermahzab Maliki.
“Konsentrasi Global Sumud Flotilla di General Union of Tunisian Workers itu sudah menunjukkan bahwa seluruh masyarakat Tunisia itu sangat mendukung gerakan ini,” kata Zuhairi saat ditemui Republika di Wisma Indonesia, di Tunis. Global Sumud Flotilla yang menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai tujuan, kata Zuhairi tentu mendapat dukungan dari seluruh masyarakat Tunisia.
Zuhairi mengungkapkan selama karier diplomatiknya di negara itu tak pernah sekalipun mendengar perdebatan dan perbedaan pandangan atas posisi geopolitik Tunisia terhadap kemerdekaan Palestina.
Hal tersebut berbeda dengan di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi masih banyak berdebat tentang siapa yang lebih berhak atas Tanah yang Dijanjikan itu. Pun di Indonesia, yang pemerintahannya mendukung Palestina tetapi masih dinilai dua kaki tunduk pada kemauan Adi Kuasa Amerika Serikat (AS) agar bersedia berdiplomatik dengan Zionis Israel.
“Dukungan pemerintah dan masyarakat Tunisia terhadap kemerdekaan Palestina ini bulat. Tidak ada perbedaan sama sekali. Semuanya, dari pemerintahnya sampai masyarakatnya sangat mendukung apapun untuk kemerdekaan Palestina. Dan Tunisia tidak pernah bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel,” ujar Zuhairi.
“Saya dapat laporan, seluruh masyarakat Tunisia itu, dari setiap rumah-rumah warganya itu, ikut menyumbangkan apa saja untuk kegiatan pelayaran Global Sumud untuk menembus blokade Gaza ini,” sambung Zuhairi. Padahal kata Zuhairi, paham sosial dan politik masyarakat di Tunisia itu didominasi para libertarian. “Masyarakat di Tunisia itu tingkat pendidikan dan intelektualitasnya sangat tinggi,” kata Zuhairi.
“Mereka (masyarakat Tunisia) dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi diwajibkan lulus dalam mata pelajaran matematika dan filsafat logika. Dengan begitu masyarakat Tunisia tidak hanya berpaham pada doktrin-doktrin agama. Mereka Islam, tetapi bebas dalam berpikir maupun berpenampilan.
Menjadikan Islam itu sebagai doktrin yang membebaskan masyarakatnya. Makanya kita melihat masyarakat di Tunisia itu dalam masalah Palestina itu, dari yang muda, sampai yang tua, dari masyarakat kelas yang biasa, sampai elite-elitenya di pemerintahan, yang bergajulan sampai yang paling alim sekalipun satu suara mendukung Palestina.
Mereka (masyarakat Tunisia) sangat paham, bahwa sudah selesai perbedaan itu (isu Palestina) di sini (Tunisia), bahwa Palestina itu harus merdeka, dan penderitaan orang-orang di Jalur Gaza itu itu harus segera diakhiri,” kata Zuhairi.
Kontur sosial-politik soal Palestina yang seragam itu, membuat Tunisia menjadi beda dibandingkan negara-negara Maghribi, maupun mayoritas Islam lainnya di Timur Tengah (Timteng). Pun itu alasan terkuat menjadikan Tunisia sebagai negara titik lokasi angkat jangkar serempak armada kemanusian Global Sumud Flotilla untuk menembus blokade Gaza.
Padahal menengok peta dunia, Yunani maupun Italia punya jarak laut yang lebih dekat ke Gaza ketimbang Tunis. Turki dan Mesir, negara-negara mayoritas Islam, pun punya jarak laut yang lebih pendek ke Gaza ketimbang Tunis.
PALESTINI SAUDARA PEREMPUAN KAMI
Di Tunisia banyak bangunan bersejarah. Salah-satunya Amfiteater El-Djem. Bangunan itu berdiri sejak 238 Masehi (M), ketika Romawi berkuasa di kawasan Afrika Utara. El-Djem merupakan salah-satu koloseum gladiator terbesar di dunia yang dapat menampung 35 ribu orang. S
aat ini el-Djem menjadi cagar budaya penting dan yang paling dijaga oleh otoritas Tunisia. Bangunan itu dijaga oleh sepasukan pengamanan dari militer. Republika sempat bercakap-cakap dengan salah-satunya.
Namanya Abdullah. Dari seragamnya, tampak lambang bintang dua di pundak dan di bagian dada. Republika sungkan menanyakan apa arti kepangkatan bintang dua itu. Tetapi kalau di Indonesia, lambang bintang dua itu, ya Mayor Jenderal (Mayjen), pangkat yang cukup menjadi komandan militer di suatu wilayah, atau Pangdam.
Kalau di Polri, bintang dua itu sama dengan Inspektur Jenderal (Irjen) yang cukup untuk menguasai keamanan satu provinsi atau Kapolda. Tetapi bintang dua seperti Abdullah, tugasnya jaga benteng kuno. Di Kota Tunis, para personel lalu-lintasnya di lampu-lampu merah pun banyak berpangkat bintang dua.
Abdullah antusias ketika kami menyapa salam. Dia langsung mengucapkan Masya Allah ketika tahu kami dari Indonesia. Dengan bahasa Inggris campur Arab Tunis, Abdullah bercakap-cakap sudah seperti saudara. “Masya Allah. Indonesia, you all my brother. Tunisia and Indonesia is a brother. Welcome my brother,” kata Abdullah.
Dia pun tahu tentang Global Sumud Flotilla yang kegiatannya berada di Tunisia. Abdullah menegaskan keinginannya untuk turut serta dalam pelayaran itu. Tetapi, kata dia, seragamnya yang menghalangi niat hati.
Abdullah meyakinkan apapun untuk Palestina merdeka, dan untuk mengakhiri penderitaan di Gaza akan ia berikan. Dia mengatakan, sikap serupa juga ada dalam semua warga Tunisia.
“Bagi kami, Palestina adalah saudara perempuan kami. Saudara perempuan kami yang wajib kami bela,” kata Abdullah. Kata Abdullah, ada doktrin sosial yang tertanam di masyarakat T
unisia tentang Palestina merupakan putri yang paling kecil dari tujuh saudara laki-laki di kawasan. Saat ini, kata Abdullah saudara bungsu perempuan itu dianiaya, bahkan diperkosa paksa, lalu bakal dibunuh oleh Zionis Israel.
Kata Abdullah, alangkah durhakanya tujuh saudara Palestina lainnya tak mampu membela adik perempuannya itu. “Palestina adalah adik perempuan kami. Kami tujuh bersaudara. Dan kami semuanya laki-laki.
Mengapa kami tidak mau membela kehormatan saudara perempuan kami yang dianiaya Israel?,” kata Abdullah. Tujuh saudara laki-laki tersebut, kata Abdullah, adalah Arab-Yaman, Mesir, Jordan, Suriah-Lebanon, Turki, Tunisia, dan Libya.
Mata Abdullah berkaca-kaca ketika menyampaikan rasa kecewa terhadap negara-negara saudaranya itu yang tak mau bersatu melawan Zionis Israel demi membela si adik bungsu. “Kami harus membela kehormatan saudara kecil kami,” ujar Abdullah. Intonasi bicara Abdullah senang saat menyampaikan tentang warga T
unisia yang harus merasa beruntung punya saudara-saudara lain dari ujung timur seperti Indonesia dan Malaysia, serta lainnya dari negara-negara barat yang bergabung dalam misi pelayaran damai Global Sumud Flotilla. “Tunisian all support you. Egypt is weak, Arab is weak, but Tunisian no. We fight together for Palestine, insya Allah Palestine will be free,” kata Abdullah.
PENYERANGAN
Pelayaran serempak Global Sumud Flotilla tersebar di tiga titik di Tunisia. Di Dermaga Sidi Bou Said, di Dermaga Bizerte, dan di Dermaga Gammarth. Dermaga Sidi Bou Said yang teramai. Lokasinya sekitar 22 Kilometer (Km) dari Kota Tunis.
Sedikitnya 18 armada Global Sumud Flotilla yang berlayar dari Barcelona-Spanyol sandar di Sidi Bou Said. Kapal-kapal kemanusian dari Eropa itu tiba bersamaan pada 7 September 2025. Termasuk kapal-kapal yang membawa para pemimpin pelayaran menembus blokade Gaza seperti Greta Thunberg, Thiago Avila, dan Jasmine Acar.
Pelabuhan Sidi Bou Said itu sebetulnya salah-satu destinasi wisata terbaik di Tunisia. Kawasan indah itu masa lalunya adalah wilayah penyebaran tasawuf Islam di Tunisia yang dilakukan oleh orang alim bernama Sidi Bou Said. Dan saat ini kawasan Biru-Putih itu menjadi sangkar-sangkar tinggal para seniman-seniman ternama dari Tunisia, maupun dari Eropa.
Dalam radius dua Km dari titik sandar kapal-kapal kemanusian itu, berdiri Istana Carthage yang merupakan Istana Presiden Tunisia. Karena itu Sidi Bou Said merupakan wilayah ring-1 keamanan Negara Tunisia.
Kawasan itu dijaga ketat satuan pengamanan. Intelijen, polisi, dan tentara dari Garda Nasional berseliweran di kawasan elite itu. Selama misi Global Sumud Flotilla banyak partisipan yang menginap, atau mendirikan tenda-tenda di kawasan tersebut menunggu pelayaran serempak.
Dan setiap warga negara asing yang tampak lalu-lalang masuk ke Pelabuhan Sidi Bou Said wajib menunjukkan paspor, dan dicatat aparat. Di kawasan pelabuhan itu pula terjadi dua kali penyerangan drone asing terhadap armada Global Sumud Flotilla.
Serangan pertama pada Selasa (9/9/2025) dini hari. Drone asing itu melemparkan bahan peledak ke dek belakang Kapal Family Madeira. Kapal berbendera Portugal itu terbakar bagian belakangnya. Kapal itu pula yang dikabarkan menjadi tempat istirahat Greta Thunberg, dan Thiago Avila selama di Tunisia menunggu persiapan pelayaran serempak menembus Gaza.
Serangan drone kedua juga terjadi di Pelabuhan Sidi Bou Said pada Rabu (10/9/2025) dini hari. Drone asing kembali menyerang Kapal Alma yang juga merupakan salah-satu armada Global Sumud Flotilla. Kapal berbendara Inggris tersebut pun mengalami kebakaran dan ledakan.
Tak ada korban jiwa dalam dua serangan pesawat tanpa awak itu. Dua kali penyerangan ke armada-armada kemanusian tersebut terjadi setelah SC Global Sumud Flotilla pada Ahad (7/9/2025) sore, mengumumkan kepastian tentang 10 September 2025 siang adalah hari H angkat jangkar serempak seluruh kapal-kapal kemanusian menuju Gaza dari dermaga-dermaga Tunisia. D
an pada Senin (8/9/2025) sore SC menyampaikan melalui pesan broadcast ke seluruh partisipan pelayaran untuk berkumpul di Radison Blu Hotel di Kota Tunis yang berjarak sekitar tiga Km dari Gedung General Union of Tunisian Workers (GUTW).
Pesan dari SC Global Sumud Flotilla tersebut wajib diikuti oleh seluruh partisipan tanpa terkecuali. Karena pada hari itu SC Global Sumud Flotilla akan menentukan siapa saja yang lulus dari pelatihan dan training untuk ikut berlayar menembus blokade Gaza. IGPC yang jumlahnya 30 partisipan dipotong menjadi 26 orang.
Republika lolos menaiki kapal nomor 13 dan 19. Partisipan Indonesia lainnya tersebar ke kapal-kapal lain. SC Global Sumud Flotilla menentukan satu kapal yang berlayar diisi oleh tujuh sampai 30 partisipan dari negara-negara yang beragam.
Dan setelah pembagian kapal-kapal tersebut SC Global Sumud Flotilla mengumumkan secara mendadak agar seluruh partisipan segera bergeser ke Gedung GUTW. Karena pada malam hari itu juga Global Sumud Flotilla semakin kuat dengan kedatangan Pelapor Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Francesca Albanes, dan anggota Parlemen Portugal Mariana Mortagua.
Dua tokoh internasional tersebut menyatakan dukungannya atas misi pelayaran kemanusian menembus blokade Gaza itu. Mariana Mortagua bersama-sama aktivis kemanusian dari Portugal yang datang menyatakan akan ikut dalam pelayaran akbar bersama Global Sumud Flotilla itu.
Setelah kedatangan dan dukungan dari Francesca Albanes, serta Mariana Mortagua itu, penyerangan drone terhadap armada-armada Global Sumud Flotilla di Sidi Bou Said terjadi. Francesca dan Mariana melalui pengaruh politiknya mengutuk penyerangan itu.
Keduanya menyatakan penyerangan dengan drone asing terhadap kapal-kapal kemanusian itu melanggar hukum internasional, dan memastikan penyerangan pesawat tanpa awak asing itu melanggar kedaulatan
Tunisia. Dan dari informasi yang beredar di kalangan para aktivis serta relawan Global Sumud Flotilla bahwa penyerangan itu dilakukan oleh negara pendukung Zionis Israel.
Dikatakan bahwa drone yang menyerang armada Global Sumud Flotilla di Pelabuhan Sidi Bou Said itu diterbangkan melalui Pangkalan Militer di Siprus dan Malta. Setelah penyerangan drone tersebut Pelabuhan Sidi Bou Said semakin dijaga ketat oleh satuan militer bersenjata laras panjang lengkap dengan rompi anti-peluru.
Republika memperhatikan penguatan pengamanan tersebut juga dengan pengerahan kendaraan-kendaraan lapis baja yang tampak di beberapa titik masuk kawasan pelabuhan. Dubes Indonesia di Tunisia Zuhairi Misrawi tiap hari menanyakan kepada para wartawan tentang kondisi warga negara Indonesia (WNI) yang turut ambil bagian dalam misi Global Sumud Flotilla menembus blokade Gaza tersebut.
“Saya sebagai duta besar berkuasa penuh wakil pemerintah Indonesia di Tunisia, tentu harus memantau semua perkembangan Global Sumud Flotilla di Tunisia ini, karena ada warga negara Indonesia di sini (Tunisia). Dan saya harus bertanggung jawab dan wajib memberikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang ikut dalam misi Global Sumud Flotilla ini tanpa terkecuali,” tegas Zuhairi.
Dubes pun mengingatkan agar delegasi Indonesia selalu mawas diri selama berada di Tunisia pascapenyerangan drone asing tersebut. Karena kata Zuhairi serangan drone asing ke armada-armada Global Sumud Flotilla yang sandar di Sidi Bou Said itu merupakan sinyal merah bagi keamanan di Tunisia.
“Sidi Bou Said itu ring-1 di Tunisia. Serangan drone itu cuma dua kilometer jaraknya dari Istana Presiden Tunisia,” kata Zuhairi. Menurutnya serangan pesawat asing itu menyimpulkan banyak hal. Pertama kata dia, serangan itu sebagai respons langsung Zionis Israel dan sekutunya terhadap armada-armada Global Sumud Flotilla agar mengurungkan niat untuk melanjutkan pelayaran akbar menembus blokade Gaza.
Serangan itu, kata Zuhairi juga semacam penyampaian dan ancaman terbuka oleh Zionis Israel dan sekutunya kepada pemerintahan di Tunisia agar membubarkan gelaran Global Sumud Flotilla di negara itu.
“Serangan itu membuktikan bahwa militer Tunisia itu kebobolan di dekat pusat kekuasannya sendiri (Istana Presiden). Dan betapa mudahnya kekuatan Israel dan sekutunya untuk menyerang Tunisia jika tetap mendukung Global Sumud Flotilla ini,” kata Zuhairi.
Pendapat Zuhairi itu dibenarkan sebagian oleh kalangan militer dari Garda Nasional yang Republika temui di Dermaga Sidi Bou Said. Di tengah teriknya matahari siang di Pelabuhan Sidi Bou Said, tiga orang laki-laki yang mengenakan seragam loreng gelap dengan tulisan Garde Nationale duduk-duduk di kursi plastik di ujung pelabuhan. Salah-seorang di antaranya menegur dan memanggil Republika untuk berbincang-bincang.
Ia menanyakan apakah Republika bercakap dalam Arab Tunis atau Inggris. Tentara itu memperkenal dirinya sebagai Nadeer. Dan Republika memperkenalkan diri sebagai partisipan Global Sumud Flotilla dari kalangan wartawan.
Nadeer menolak difoto bersama. Dan ia meminta Republika tak mengambil video apapun dari percakapan tersebut. Tetapi ia menerangkan bahwa keamanan di Pelabuhan Sidi Bou Said itu diperketat setelah dua kali serangan drone ke kawasan tersebut.
Kata dia pemerintahannya saat ini dalam dilema yang kuat gara-gara masalah Global Sumud Flotilla yang menjadikan Tunisia sebagai titik kumpul dan keberangkatan. Kata dia, kampanye pelayaran akbar menembus blokade Gaza itu sudah menjadi percakapan internasional.
Dan seluruh masyarakat Tunisia mendukung. “Orang-orang kami di sini (masyarakat Tunisia) mendukung aksi ini. Pemerintahan kami juga mendukung sepenuhnya untuk rakyat di Palestina,” kata Nadeer.
Tetapi, kata Nadeer serangan drone tersebut menjadi tekanan terhadap pemerintahan Tunisia. “Mereka (Zionis Israel dan sekuturnya) menyerang untuk menghentikan misi (Global Sumud Flotilla). Mereka menekan pemerintahan kami untuk tidak mendukung misi ini,” ujar Nader. Bahkan kata Nader tekanan Zionis Israel dan sekutunya tersebut mengancam pembubaran pemerintahan yang sedang berkuasa di Tunisia saat ini.
“Pemerintahan kami bisa dibubarkan apabila kami selalu mendukung misi ini,” ujar Nadeer. Akan tetapi, kata Nadeer, pemerintahan yang sedang berkuasa di Tunisia saat ini, pun bisa dibubarkan oleh masyarakatnya sendiri jika tak mendukung, apalagi sampai nekat membubarkan misi pelayaran akbar Global Sumud Flotilla menembus blokade Gaza tersebut.
“Orang-orang kami akan marah kepada pemerintah kami jika menolak mendukung Palestina. Pemerintah kami tidak punya pilihan,” kata Nadeer. Setelah kejadian penyerangan drone tersebut, sejumlah sabotase terhadap armada-armada maupun partisipan Global Sumud Flotilla pun masih terus berlanjut.
Beberapa di antaranya pengumuman resmi dari pemerintahan Tunisia kepada Global Sumud Flotilla tentang kelangkaan bahan bakar diesel.
Dan banyak partisipan warga negara non-Tunisia yang dipersulit administrasi imigrasinya untuk berlayar keluar dari perairan Tunisia. Pemerintah juga mengerahkan skuat anti-teror, serta tim penjinak bom untuk melakukan pengecekan kapal-kapal Global Sumud Flotilla di Pelabuhan Bizerte.
Namun begitu, pemerintah Tunisia akhirnya tetap membolehkan armada-armada Global Sumud Flotilla berlayar menembus blokade Gaza. Tetapi secara bergantian, dan tak melakukan pelayaran secara serempak.
Rencana pesta rakyat Tunisia untuk angkat jangkar serempak, pun ditiadakan demi stabilitas pemerintahan Tunisia. Pada 14 September 2025 satu per satu kapal-kapal kemanusian Global Sumud Flotilla keluar dari Pelabuhan Sidi Bou Said dan Pelabuhan Bizerte menuju Laut Mediterania. Tercatat ada 16 kapal dari Sidi Bou Said dan 4 kapal dari Bizerte yang keluar perairan Tunisia bergantian.
Kapal-kapal tersebut membawa berlayar sedikitnya 300-an aktivis, dan relawan, serta kalangan wartawan. Pada Selasa (16/9/2025) satu kapal terakhir dari Sidi Bou Said menyusul keluar perairan Tunisia menyusul rombongan awal. Dan pada Kamis (18/9/2025) satu Kapal Observer pun berlayar dari Pelabuhan Gammarth.
Sampai pada Jumat (19/9/2025) dua kapal kemanusian lainnya berangkat dari Pelabuhan Bizerte. Semua kapal kemanusian yang bertolak dari Tunisia melakukan pelayaran menembus blokade Gaza dengan mengambil etape pertama di perairan Italia. Di perairan negara itu, sudah menunggu 16 armada Global Sumud Flotilla lainnya.
Setelah berkumpul di perairan Italia, rombongan tersebut akan melanjutkan pelayarannya di Laut Mediterania untuk menuju etape kedua di Yunani. Karena enam kapal Global Sumud Flotilla juga sedang menunggu di perairan negara kuno tersebut.
Sampai pada Senin (22/9/2025) pagi, armada Global Sumud Flotilla yang berlayar menembus blokade Gaza berjumlah 52 kapal. Dan semua armada kemanusian tersebut masih terus berlayar keluar dari perairan Italia menuju perairan Yunani.
Dari Tunisia, terhitung 14 September lalu diperkirakan waktu tempuh pelayaran akbar menembus blokade Gaza itu selama 10 sampai 12 hari. Dan semua armada Global Sumud Flotilla itu membawa misi kemanusian untuk membantu masyarakat di Gaza yang sudah 24 bulan menjadi korban kebiadaban Zionis Israel. (ROL)