KABARTIMURNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto tiba dari lawatan ke mancanegara langsung memerintahkan pembenahan tata kelola program Makan Bergizi Gratis. Sejauh ini, pembenahan itu berkisar tata kelola penyiapan makanan agar tak lagi ada peristiwa keracunan. Tapi benarkah hanya di situ persoalan MBG belakangan?
Pemilik dapur pengelola MBG alias SPPG, kreditur yang memberikan pinjaman untuk modal pembangunan SPPG, penyedia bahan baku untuk dapur MBG, dan aktivis pemantau kebijakan pemerintah terkait hal ini.
Terungkap bahwa jika memang niatnya untuk mencukupi gizi anak-anak Indonesia, ada juga cuan luar biasa yang beredar di lapangan di tengah isu keracunan massal program itu.
Meski Presiden Prabowo mengeklaim bahwa kasus itu “tak banyak.” “Bahwa ada kekurangan iya, ada keracunan makan iya. Kita hitung dari semua makanan yang keluar, penyimpangan atau kekurangan atau kesalahan itu adalah 0,00017 persen,” ujar dia.
Dalam pagu APBN tahun ini, total anggaran untuk program MBG senilai Rp 71 triliun. Sepanjang delapan bulan pelaksanaan program ini, sekitar Rp 13 triliun yang sudah diserap.
Saat ini, skema pendanaan tersebut menjatah Rp 15 ribu per porsi MBG. Merujuk Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program MBG Tahun 2025 yang dilansir Badan Gizi Nasional (BGN), dana sebesar itu meliputi biaya bahan makanan; biaya operasional seperti listrik, gas, air, gaji pekerja dapur, belanja bahan bakar minyak; juga biaya sewa peralatan dapur, peralatan masak, peralatan makan, dan serta kendaraan.
Dana itu disalurkan melalui mitra alias yayasan yang didirikan instansi pemerintah, ormas, atau swasta; kemudian ke ribuan dapur MBG alias Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Saat ini dana itu dibayarkan dengan skema pembayaran di muka. Artinya, dicairkan sebelum belanja setelah pengajuan anggaran dari SPPG dan yayasan diverifikasi dan disetujui.
Dengan anggaran Rp 15.000 per porsi tersebut, yayasan dan SPPG disebut Wakil Ketua Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang sudah bisa mendapat untung. Terlebih jika menghitung faktor pengalinya. Pihak BGN menilai, untung tersebut bisa diambil dari skema pembelian bahan secara grosir, juga variasi menu per harinya.
Hitung saja, tiap-tiap SPPG dalam juknis meliputi wilayah dengan radius enam kilometer persegi. Jumlah murid yang dilayani, merujuk Perpres Nomor 83 tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, berkisar 3.000 hingga 4.000 siswa untuk 24 hari per bulan. Jika setiap satu porsi SPPG mengambil untung bersih Rp 1.000 perak saja, ada Rp 72 juta sampai Rp 96 juta diraup per bulan.
Artinya modal mendirikan satu unit SPPG senilai Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar bisa terbayang dikejar impasnya. Sementara masing-masing mitra atau yayasan, boleh menaungi sampai 10 dapur per provinsi yang sama, atau masing-masing lima di dua provinsi berbeda.
Persoalannya, temuan di lapangan menunjukkan meski Rp 15.000 per porsi diterima utuh oleh yayasan atau SPPG melalui transfer, setelah itu jumlahnya bisa berkurang akibat praktik-praktik rasywah. Di lapangan, misalnya, ada pihak-pihak yang memakelari agar yayasan bisa lekas diverifikasi atau SPPG mendapat titik operasional.
Hal ini sudah diindikasikan oleh Kepala Staf Presiden (KSP) M Qodari pekan lalu. Ia mewanti-wanti soal pungutan liar (pungli) dalam program MBG. Hal ini juga ia kaitkan dengan potensi terjadinya kasus keracunan.
“Kalau ada pungli pada SPPG, maka alokasi angka Rp 10 ribu untuk bahan pangan SPPG ini nanti bisa berkurang tergantung berapa punglinya. Itu yang saya katakan, nanti kualitas gizi dan kualitas bahannya akan menurun, yang ujungnya bisa menimbulkan risiko keracunan. Nanti yang dibeli adalah bahan-bahan yang kualitas rendah,” ujar Qodari di Istana Kepresidenan.
Dia mendesak agar risiko adanya pungutan-pungutan liar oleh yayasan kepada investor SPPG harus dikurangi. “Ini untuk menjaga program presiden, untuk anak-anak kita,” ujarnya menegaskan.
Dalam juknis, keberadaan yayasan-yayasan ini dimungkinkan dari TNI-Polri, instansi pemerintah, organisasi kemasyarakatan, hingga swasta. SPPG sedianya bernaung di bawah yayasan-yayasan ini. Dari Rp 15.000 anggaran per porsi, sedikitnya Rp 2.000 bisa masuk ke yayasan. Praktiknya, ada juga sejumlah “makelar” yang juga beroperasi dalam skema ini dan dalam sejumlah kasus memotong dari Rp 2.000 yang ke yayasan itu.
Di salah satu kota di Jawa Tengah, Republika mendapati kesaksian soal seorang petinggi parpol koalisi pemerintah setempat yang menawarkan skema investasi program MBG. Dalam skema itu, keuntungan bersih dihitung berkisar Rp 1.500 sampai Rp 2.000 per menu. Sementara penyediaan makanan ditargetkan untuk 3.000 anak dalam 24 hari. Sementara modal pendirian SPPG sekira Rp 800 juta sampai Rp 1 miliar.
Namun dalam kolom keuntungan bersih tersebut, ada tambahan tulisan “atensi”. Ini berarti jatah untuk pihak yang melicinkan pendirian SPPG tersebut. Artinya, dengan modal lobi dan jaringan saja, anggota parpol yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR itu bisa meraup puluhan juta per bulan dari satu SPPG.
Penyelidikan Transparency International Indonesia (TII) menemukan praktik ini juga di berbagai daerah. Di antaranya di kota dan kabupaten Kupang di NTT; di Makassar, Sulawesi Selatan; di Jember, Jawa Timur; dan Jakarta.
“Semua yayasan di daerah-daerah itu hampir semuanya terafiliasi dengan kelompok kepentingan termasuk partai politik,” ujar peneliti TII Agus Sarwono.
TII menemukan rata-rata fee untuk yayasan di wilayah-wilayah itu berkisar Rp 2.500 per porsi. Artinya, per tahun bisa mencapai Rp 1,8 miliar mereka dapat dari dana MBG.
Di kota lain di Jawa Tengah, tak hanya pihak parpol yang bermain. “Ada jalur hijau, ada jalur cokelat, ada jalur parpol. Semua rata-rata ada potongan, beragam nominalnya,” ujar pihak yang mengetahui detail skema pembiayaan pinjaman modal MBG. Terkadang, fee ini tak mampir di satu pihak saja. Ada juga koordinator lapangan dari berbagai pihak yang dapat jatah.
Dari mana dana fee ini diambil juga beragam. Di Jabodetabek, kesaksian dari pengelola MBG soal akses pendirian dapur MBG yang diberikan pihak tertentu yang juga menyediakan sewa alat-alat masak. Ada juga yang mengambil dari “jatah” Rp 2.000 untuk yayasan atau mitra.
Selain itu ada juga skema “jual titik” dapur MBG. Dengan skema ini, “orang dalam” yang memiliki akses menawarkan pada investor titik-titik koordinat yang sudah ditentukan oleh BGN. Segala macam biaya urusan pembangunan dapur dan operasional tetap dibebankan ke investor SPPG.
Pembelian titik SPPG ini ada yang dibayar muka sampai puluhan juta rupiah. Yang punya pandangan lebih jauh, meminta jatah persekot dari anggaran per porsi yang berjalan kontinyu selama yayasan atau SPPG tersebut beroperasi.
Pihak-pihak ini, terkadang melalui yayasan, juga akan membantu pengkondisian izin di lapangan dan restu masyarakat setempat, serta pengamanan. Potekan anggaran per porsi juga ada yang jadi syarat untuk mempercepat verifikasi pendirian yayasan dan SPPG.
Dengan potongan anggaran per porsi itu, yayasan dan pengelola SPPG yang diwawancarai Republika menyatakan harus putar otak agar modal bisa balik. Dengan modal dasar yang sudah makin tipis sebagian oknum pengelola SPPG main mata dengan penyalur bahan sebelum mengajukan proposal anggaran ke BGN.
Juknis dari BGN membuka celah ini dengan frasa “harga yang sewajarnya” tanpa ada rujukan tertentu terkait pengadaan bahan-bahan menu MBG.
“Perburuan rente terlihat jelas dari pemilihan bahan baku,” kata Agus Sarwono dari TII. Ia mengingatkan, pelaksanaan MBG ini awalnya untuk mengaryakan juga UMKM dan kelompok tani.
“Praktik lapangan, diambil dari tengkulak dan pemburu rente. Ini praktek perburuan rente yang terlihat jelas Pemotongan biaya produksi, dari mulai pembangunan infrastruktur. Dalam konteks makan gratis mengurangi porsi menunya,” ia menambahkan.
Penerapan transfer melalui virtual account ke pengelola SPPG dinilai TII tak efektif meniadakan fee untuk yayasan tersebut. Meskipun dana yang ditransfer ke pengelola utuh Rp 15 ribu per porsi, ada celah pembayaran fee dilakukan selepas itu.
Sembilan bulan berjalan, TII meminta program ini dievaluasi. Pemerintah harus merancang mitigasi program ini dari potensi korupsi hingga keracunan. “Kami juga meminta BPK dan BPKP untuk lakukan investigasi terhadap program ini,” kata Agus Sarwono.
Anggota Komisi IX DPR Irma Chaniago merespon yayasan mitra MBG yang dimiliki oleh anggota parpol. Irma mewanti-wanti adanya sosok yang menguasai kuota penyedia MBG.
“Saya kira begini, kalau menurut saya soal itu kan politis ya, kalau saya nggak mau masuk di sisi politis, karena saya tahu persis kok yang sebetulnya yang menguasai kuota itu siapa,” kata Irma kepada wartawan.
Irma enggan menyebut sosok yang disebutnya menguasai kuota penyedia MBG itu. “Saya nggak perlu ngomong ya, tapi saya ngomong ke BGN tolong perbaiki, tolong refresh kembali,” ujar Irma.
Irma menyebut program MBG patut berjalan dengan baik karena merupakan program “kesayangan” Presiden Prabowo Subianto. “Ini orang-orang ini jangan juga kemudian cita-cita presiden untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi jadi tidak bisa karena dikuasai oleh oknum-oknum tertentu,” ujar politisi partai Nasdem itu.
Sementara Mabes TNI yang menaungi banyak yayasan dan SPPG mengeklaim patuh dengan aturan yang berlaku. “TNI menegaskan bahwa seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berada di bawah naungan TNI dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) senantiasa berkomitmen penuh untuk menyalurkan anggaran sesuai ketentuan, tanpa adanya pungutan liar maupun pemotongan nilai,” ujar Kapuspen TNI Mayjen Freddy Ardianzyah kepada Republika.
TNI juga menyatakan adanya mekanisme pengawasan berlapis, baik internal maupun eksternal. Hal ini agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan program yang dinilai TNI sangat penting bagi peningkatan gizi generasi muda tersebut.
“Apabila ditemukan adanya dugaan pelanggaran atau penyimpangan di lapangan, TNI tidak akan ragu untuk menindaklanjuti sesuai aturan dan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini sejalan dengan komitmen TNI untuk mendukung program pemerintah secara transparan, akuntabel, dan tepat sasaran demi kesejahteraan rakyat.”
Dilansir laman resmi TNI, saat ini ada total 452 SPPG di bawah naungan TNI yang tersebar di berbagai daerah. Ratusan SPPB ini tersebar di bawah naungan seluruh satuan TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Keberadaan ratusan SPPG tersebut diperkirakan akan memberikan manfaat langsung bagi 378.745 siswa di seluruh Indonesia.
Penambahan besar-besaran SPPG di bawah TNI ini diumumkan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto saat meresmikan 339 SPPG TNI yang dipusatkan di Lanud Adi Soemarmo.
“Pelibatan TNI dalam program MBG merupakan wujud tanggung jawab moral dan pengabdian TNI kepada rakyat. TNI selalu hadir dalam membantu kesulitan rakyat, salah satunya pemenuhan gizi bagi anak sekolah. Ini dalam upaya menyiapkan generasi penerus bangsa yang sehat, kuat, dan cerdas,” ujar Panglima TNI.
Mabes Polri sementara ini belum menanggapi soal fee untuk yayasan dan mitra. Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho juga tak membalas upaya permintaan keterangan Republika.
Saat ini, Polri telah menaungi total 617 SPPG. Dari jumlah itu 103 sudah beroperasi, 31 tahap persiapan operasional, dan 483 dalam tahap pembangunan. Jika seluruhnya beroperasi, fasilitas ini diperkirakan melayani 2.159.500 penerima manfaat dan menyerap 30.850 tenaga kerja.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan komitmen Polri mendukung program MBG. “Dan tentunya kita tidak akan berhenti sampai sini, jadi progres pembangunan SPPG terus akan kita optimalkan sampai dengan akhir tahun, sehingga kita bisa maksimal untuk betul-betul mendukung program Pak Presiden terkait program MBG yang saat ini sedang dicanangkan,” tegasnya.
Ditanya persoalan fee untuk yayasan dan “orang dalam” ini kepada Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang. Ia belum memberi tanggapan hingga berita ini ditayangkan.
Namun, dalam pernyataan sebelumnya, ia tak menampik ada “jatah” yang diminta politikus. “Ada, serius nih, ada yang WA (menghubungi lewat pesan WhatsApp), saya. Saya jawab ‘eh kamu politikus bukannya bantu saya, bagaimana mengkomunikasikan soal keracunan, malah minta dapur’,” kata dia beberapa waktu lalu.
Ia juga sempat menyatakan penyalahgunaan anggaran oleh para pengusaha SPPG atau dapur MBG sangat kecil kemungkinannya terjadi dalam menjalankan program tersebut. Pasalnya, penyaluran anggaran itu diawasi oleh banyak pihak.
“Jadi uang, pertama biar ini konstruksinya, uang ini dari Kementerian Keuangan yang program MBG ini disalurkan melalui KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) langsung masuk ke dapur SPPG,” kata dia.
Anggaran itu masuk ke akun virtual atau virtual account rekening bersama antara mitra dan SPPG. Anggaran itu disebut hanya bisa diambil dengan persetujuan mitra dan SPPG. Artinya, salah satu pihak tidak bisa menggunakan uang itu tanpa ada persetujuan pihak lainnya.
Nanik mencontohkan, mitra BGN tidak bisa sembarangan menggunakan uang untuk membeli bahan baku dari supplier yang tidak sesuai kebutuhan dapur. Sebaliknya, SPPG juga tidak bisa sembarangan menggunakan uang tanpa persetujuan mitra (yayasan).
“Kan ada juga mungkin SPPG yang nakal bawa-bawa supplier gitu. Ya saya nggak mau, ngapain tiba-tiba mesti ngambil stroberi jauh-jauh, misalnya. Jadi ini sebetulnya kontrol, kontrol dana pemerintah,” kata dia.
Nanik mengatakan, anggaran untuk satu porsi MBG adalah Rp 15 ribu. Namun, tidak seluruh uang itu digunakan untuk kebutuhan makan. Dari total uang Rp 15 ribu, kata dia, Rp 2.000 adalah untuk kebutuhan sewa usaha.
Sewa usaha yang dimaksud mencakup sewa gedung, sewa tanah, sewa peralatan, sewa ompreng, dan berbagai kebutuhan lainnya, yang masuk ke kantong mitra BGN. “Ini bukan keuntungan (mitra). Kan mitra ini investasi,” ujar dia.
Ia menyebutkan, bentuk investasi yang dilakukan mitra adalah membangun dapur hingga menyediakan peralatannya. Menurut dia, investasi yang diperlukan untuk membangun satu dapur dengan peralatannya itu mencapai miliaran rupiah.
“Jadi Anda hitung, (modal) dia akan kembali dalam berapa tahun? Kalau MBG-nya sedikit, bisa jadi dia lima tahun belum balik loh masuk uangnya,” kata dia.
Selain untuk biaya sewa, masih ada potongan dari uang Rp 15 ribu untuk setiap porsi MBG. Potongan kedua adalah Rp 3.000 dari setiap porsi untuk kebutuhan operasional, mulai membayar karyawan, listrik, internet, gas, sewa mobil operasional, transportasi, dan lainnya. Setelah dikurangi biaya sewa dan operasional, hanya tersisa Rp 10 ribu.
Sisa itulah yang sepenuhnya digunakan untuk kebutuhan membeli bahan baku bagi setiap porsi MBG. “Kan ada orang, paling itu dibelanjakan itu hanya Rp 7.000, Rp 8.000, makanya menunya nggak bagus. Salah,” tegas Nanik. Ia tak menyebut ada fee untuk mitra atau yayasan dalam keterangan tersebut.
Namun, temuan Republika dikonfirmasi oleh Ombudsman RI yang menggelar konferensi pers soal maraknya indikasi maladministrasi dalam pelaksanaan MBG.
“Dalam kaitan itu perlu disadari bahwa faktor eksternal, khususnya potensi intervensi politik juga tidak dapat diabaikan dalam melihat dinamika penyelenggaran program MBG. Keterkaitan sejumlah yayasan dengan jejaring kekuasaan berpotensi menggeser orientasi program dari fokus utama pada perbaikan gizi menuju kepentingan yang lebih sempit,” kata anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika, Selasa.
Ombudsman RI mendeteksi terdapat praktik diskriminasi dalam penetapan mitra yayasan dan SPPG. “Dari 60.500 yayasan yang mendaftar, banyak yang terhambat pada tahap verifikasi. Bahkan hingga kini masih terdapat 9.632 yayasan yang menunggu kepastian,” kata Yeka.
Dalam penetapan mitra yayasan dan SPPG, kajian Ombudsman RI juga mengidentifikasi adanya potensi afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring politik. “Ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan serta membuka peluang penyalahgunaan wewenang.”
Selain itu, kata Yeka, pihaknya mendeteksi ada praktik mark up di tingkat SPPG. Ia mencontohkan kasus pembelian telur yang kisaran harganya Rp 30 ribu. “Terus, si SPPG belanja ke pasar berarti harus beli telur Rp 30 ribu. Pertanyaan saya, siapa yang bisa menjamin bahwa dia itu membelinya dengan harga 30 ribu? Kan itu hanya pembuktian di atas kertas,” kata Yeka.
Praktik ini kemudian bisa berujung pada penurunan kualitas santapan yang sampai ke siswa. “Nah, itu apalagi kalau kita sampai udah semangka tapi dipotongnya kecil-kecil lah. Itu sudah keterlaluan.”
Ia juga menyinggung persoalan fee yang dipotong dari anggaran per porsi santapan MBG. Menurut temuan Ombudsman RI, fee dari sejumlah itu berbeda-beda dari pengadaan makanan untuk anak SD, SMP, dan SMA serta yang setara.
Dengan skema resmi, menurut Yeka semestinya dari Rp 15 ribu setidaknya Rp 10 ribu seharusnya sampai ke SPPG khusus untuk bahan baku makanan. “Artinya yang Rp 10.000 itu gak diganggu gugat, betul-betul untuk digunakan membeli bahan baku, itu berarti kan daging, nasi, tahu, tempe, telur dan lain sebagainya,” kata dia.
Di luar itu, ada biaya operasional untuk memasak, air minum, listrik, distribusi dan lain sebagainya. Selanjutnya negara juga mengesahkan adanya uang sewa sebesar Rp 2.000 terhadap investor ataupun terhadap pelaku yang membangun dapur.
Investasi pendirian dapur ini beragam, bisa dari Rp 750 juta hingga mencapai Rp 3 miliar. Karena beragamnya anggaran investasi itu, kata Yeka ada investor yang meminta lebih dari Rp 2.000 per porsi. “Kalau Rp 2.000 itu menjadi Rp 2.500 otomatis berarti mengganggu biaya operasional berarti mengganggu juga biaya bahan baku, nah ini yang bermasalah.
”Sebab itu, menurutnya perlu prosedur standar operasional (SOP) yang lebih jelas soal bagaimana membagi margin dari Rp 2.000 ini. “Misalnya investor kan bisa saja lima orang. Ya silahkan, bagi-bagi misalnya proporsinya ya 20 persen, 20 persen, 20 persen itu silahkan diatur, tetapi pada intinya, jangan sampai mengganggu yang Rp 13.000. Manakala itu diganggu yang Rp 13.000 pasti, aku yakin akan terjadi penurunan kualitas.
Menurut Yeka, jika tidak diantisipasi sejak dini melalui regulasi yang jelas, mekanisme seleksi yang transparan, serta pengawasan yang independen; maka hal-hal di atas dapat melahirkan bentuk maladministrasi struktural yang menghambat efektivitas program.
Yang awalnya dicita-citakan sebagai pemenuhan gizi untuk anak-anak Indonesia, bisa berujung bancakan untuk mencari cuan. (ROL)