Bareskrim Usut Skandal Izin BPS di Gunung Botak

Internasional

Dua Negara di Palestina, Solusi atau Ilusi?

badge-check


     Ilustrasi Perbesar

Ilustrasi

KABARTIMURNEWS.COM, NEW YORK – Sidang umum PBB yang mulai digelar pekan ini akan jadi ajang pengakuan negara Palestina oleh sejumlah negara Eropa dengan dalih untuk memertahankan solusi dua negara. Dengan kondisi terkini, apakah solusi tersebut adalah hal yang praktis?

Gagasan membagi Tanah Suci sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Ketika mandat Inggris atas Palestina berakhir, rencana pembagian PBB pada tahun 1947 menetapkan pembagian wilayah tersebut menjadi negara-negara Yahudi dan Arab.

Hal ini ditolak warga Palestina sebagai penduduk asli yang tanahnya dicaplok kelompok Zionis.

Negara-negara Arab tetangga Palestina menyatakan perang dan rencana dua negara itu tidak pernah dilaksanakan. Berdasarkan gencatan senjata 1949, Yordania memegang kendali atas Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta Mesir atas Gaza.

Israel merebut Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza dalam perang Timur Tengah tahun 1967. Solusi dua negara yang saat ini mengemuka, mensyaratkan kembalinya perbatasan sebelum 1967 tersebut. Joseph Massad, profesor politik Arab modern dan sejarah intelektual di Universitas Columbia, New York, menuliskan di Middle East Eye bahwa KTT pekan ini bukanlah upaya pertama untuk menegakkan negara Palestina.

Pada 22 September 1948, Pemerintahan Seluruh Palestina (APG) didirikan di Gaza dan mengklaim kedaulatan atas seluruh Mandat Palestina. Dalam prakteknya, mereka hanya bisa beroperasi di Jalur Gaza, setelah berdirinya koloni pemukim Israel pada bulan Mei sebelumnya dan pendudukan Israel atas separuh wilayah yang telah ditetapkan oleh Rencana Pemisahan PBB sebagai negara Palestina.

75 TAHUN BENCANA BUATAN ISRAEL

Enam dari tujuh anggota Liga Negara Arab langsung mengakui APG. Hanya Yordania, yang menguasai Palestina tengah dan timur, yang dianeksasi pada tahun berikutnya dan berganti nama menjadi “Tepi Barat”, yang menolak memberikan pengakuannya. Barat segera mengakui aneksasi Yordania atas Tepi Barat, namun tidak mengakui Yerusalem Timur.

Karena permusuhan Barat terhadap APG, dan keterlibatan dalam pembagian Palestina antara Israel dan Raja Abdullah I dari Yordania untuk mencegah kedaulatan Palestina, APG memudar dan membubarkan diri pada tahun 1953.

Pada 1988, Dewan Nasional Palestina – parlemen Palestina di pengasingan, sebuah organ dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) – secara sepihak mendeklarasikan “kemerdekaan” di Aljazair untuk mendukung Pemberontakan Palestina pertama (1987-1993), yang pada akhirnya akan dihancurkan oleh PLO sebagai harga yang harus dibayar untuk menandatangani Perjanjian Oslo pada 1993.

Sementara puluhan negara bergegas mengakui negara merdeka yang belum ada itu, Amerika Serikat dengan tegas menolaknya.

Faktanya, AS adalah pihak yang bertanggung jawab menghalangi kemerdekaan Palestina. Pada 1947, ketika AS menekan beberapa negara untuk mengubah suara mereka pada menit-menit terakhir dan mendukung Resolusi Majelis Umum PBB 181 tentang Rencana Pemisahan Palestina.

Berkat upaya Amerika, rencana tersebut memberikan sebagian besar wilayah Palestina kepada penjajah minoritas Yahudi, yang negaranya diakui oleh AS pada bulan Mei 1948.

AS juga memastikan untuk tidak mengakui APG, sebuah strategi yang dipertahankan dengan menolak pengakuan atas deklarasi kemerdekaan PLO pada tahun 1988.

Perjanjian Oslo pada 1993-94 berujung pembentukan Otoritas Palestina (PA), serta negosiasi dengan Israel mengenai isu-isu inti – kemerdekaan, perbatasan, Yerusalem dan kembalinya pengungsi. Ini tidak pernah terwujud, meskipun periode sementara lima tahun yang disepakati telah berakhir pada Mei 1999.

Ketika pembicaraan “status akhir” belum dimulai, Presiden PA Yasser Arafat mengancam akan mendeklarasikan kemerdekaan Palestina di seluruh Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza – wilayah di mana PA menjalankan kendali yang sangat terbatas atau tidak ada sama sekali. Menyusul ancaman Amerika dan peringatan dari pemerintah Arab yang pro-Amerika, Arafat membatalkan rencananya.

Upaya PA selanjutnya untuk diakui oleh PBB sebagai sebuah negara ditanggapi dengan ancaman veto AS dan pemotongan dana AS untuk organisasi-organisasi PBB yang berani melakukan hal tersebut. Unesco mengakui Palestina sebagai negara anggota pada bulan November 2011, namun kemudian kehilangan pendanaan dari AS.

PA tidak pernah mendeklarasikan negara Palestina, dan hanya PLO yang melakukannya. Namun, setelah resolusi Majelis Umum PBB 67/19, yang meningkatkan status Palestina menjadi “negara pengamat non-anggota” pada November 2012, PA secara resmi mulai menggunakan nama “Negara Palestina” pada dokumen resminya.

Mereka juga menyebut kantor misinya di Washington DC sebagai “kedutaan besar” – yang ditutup oleh Presiden AS Donald Trump pada 2018 selama masa jabatan pertamanya.

KKRONOLOGIS PENCAPLOKAN

Memanfaatkan genosida Israel di Gaza, PA, yang telah bertindak sebagai penegak setia pendudukan Israel sejak 1993, mendorong pengakuan yang lebih besar terhadap negara Palestina. Tahun lalu, upaya ini dipercepat dengan mencakup beberapa negara serupa, meskipun bukan negara-negara yang menjadi pelaku utama genosida.

Hingga Mei 2025, 143 negara dari 193 negara di dunia telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat setidaknya setengah lusin pada bulan ini, termasuk mitra utama kejahatan Israel: Perancis, Kanada, Australia dan Inggris, serta Belgia, Portugal, Malta dan mungkin Finlandia.

AS, yang merupakan kaki tangan utama Israel dalam semua kejahatannya terhadap rakyat Palestina, tetap mempertahankan posisi yang diambilnya sejak 1948: mencegah Palestina mendirikan negara khayalan, apalagi negara nyata.

Perdana Menteri Italia Georgia Meloni keberatan dengan proyek pengakuan tersebut, dengan alasan bahwa “mengakui Negara Palestina sebelum didirikan dapat menjadi kontraproduktif”. “Saya sangat mendukung Negara Palestina, namun saya tidak mendukung pengakuan negara tersebut sebelum didirikan.”

Joseph Massad sepakat dengan pandangan itu. Mengakui negara Palestina yang sejauh ini tak punya wilayah berdaulat adalah omong kosong. Sebaliknya, negara-negara Eropa dan Arab yang mendorong inisiatif ini percaya bahwa pengakuan Palestina adalah cara terbaik untuk membatasi aspirasi Palestina dan menggagalkan perjuangan mereka untuk pembebasan menjadi ilusi kenegaraan yang tidak mengancam supremasi Yahudi Israel.

“Yang tersisa dari pengakuan internasional ini adalah bagian yang menegaskan Israel sebagai negara supremasi Yahudi yang hidup berdampingan dengan negara Palestina yang tidak pernah ada dan belum pernah terwujud,” kata Massad.

Ia menekankan, satu-satunya cara bagi negara-negara ini untuk menghukum Israel secara diplomatis adalah dengan menarik pengakuan atas hak Israel untuk menjadi negara supremasi Yahudi, dan memboikotnya serta menerapkan sanksi internasional terhadap Israel sampai Israel menghapuskan semua undang-undang rasisnya. “Jika tidak demikian, keseluruhan konferensi ini hanyalah sia-sia dan merupakan bukti lebih lanjut dari keterlibatan para peserta dalam genosida Israel terhadap rakyat Palestina.”

Patut dicatat, hingga saat ini Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak solusi dua negara atas dasar nasionalistik dan keamanan. Basis agama dan nasionalis Netanyahu memandang Tepi Barat sebagai tanah air orang-orang Yahudi yang alkitabiah dan bersejarah, sementara orang-orang Yahudi Israel sebagian besar menganggap Yerusalem sebagai ibu kota abadi mereka. Sisi timur kota ini adalah rumah bagi situs paling suci Yudaisme, bersama dengan tempat-tempat suci utama umat Kristen dan Muslim.

Kelompok garis keras Israel seperti Netanyahu berdalih bahwa Palestina tidak menginginkan perdamaian. Ini didasari Intifada Palestina kedua di awal tahun 2000-an, dan pengambilalihan Gaza oleh Hamas dua tahun setelah Israel menarik diri dari wilayah tersebut pada 2005. Sejak Hamas berkuasa di Gaza, Israel lima kali melancarkan perang, termasuk konflik yang telah berlangsung selama 21 bulan saat ini dan yang sedang berlangsung.

Pada saat yang sama, Israel juga menentang solusi satu negara yang bisa membuat orang Yahudi kehilangan mayoritas. Pilihan Netanyahu tampaknya adalah status quo, di mana Israel mempertahankan kendali secara keseluruhan dan warga Israel mempunyai hak yang lebih penuh dibandingkan warga Palestina. Israel memperdalam kendalinya dengan memperluas pemukiman, dan Otoritas Palestina memiliki otonomi terbatas di wilayah Tepi Barat.

Para perunding veteran Hussein Agha mewakili Palestina, dan Robert Malley seorang diplomat Amerika, termasuk yang belakangan skeptis terhadap solusi dua negara. Dalam buku baru mereka, “Tomorrow Is Yesterday,” mereka menyimpulkan bahwa solusi dua negara adalah bagian dari sandiwara. “Solusi dua negara tidak akan pernah bisa memuaskan salah satu pihak,” kata Agha dan Malley kepada the New Yorker dalam sebuah wawancara.

“Pada akhir periode tiga puluh tahun itu, Israel dan Palestina berada dalam situasi yang lebih buruk dibandingkan sebelum AS campur.”

Proses separasi dua negara tersebut, yang menarik bagi para pemimpin Barat dan kaum liberal di Israel, diarahkan untuk “menemukan solusi yang memiliki hasil teknis, terukur, dan dapat digambarkan dengan garis di peta,” kata Agha.

“Ini benar-benar membuang isu emosi dan sejarah. Anda tidak boleh emosional. Anda harus rasional. Anda harus tenang. Namun rasional dan tenang tidak ada hubungannya dengan konflik.”

Menurut mereka, proses perdamaian Israel-Palestina dibangun di atas harapan khayalan. Yang lebih mendesak, menurut mereka, adalah mengakhiri pembantaian di Gaza dengan memberikan hukuman nyata kepada para pelaku pembantaian yang sedang berlangsung.

Agha dan Malley berdalih, pandangan bahwa dua negara merupakan satu-satunya solusi adalah pola pikir yang malas dan akan melanggengkan status quo.

“Pilihan binari antara satu negara bagian dan dua negara bagian yang terpisah adalah salah dan tidak perlu. Terdapat beragam kemungkinan diantaranya, suatu spektrum yang mencerminkan gradasi kedaulatan dan derajat otonomi agama atau etnis.”

“Mungkin saatnya kita sadar bahwa konflik ini pada dasarnya bukan soal wilayah. Ini bukan tentang jalan raya, bukit pasir, dan perbukitan. Ini tentang orang-orang, kehidupan mereka, emosi, kemarahan, kesedihan, keterikatan, dan sejarah. Menyadari hal ini mungkin tidak menyelesaikan segalanya selamanya, tapi setidaknya bisa memberikan sedikit kelegaan untuk saat ini.” (ROL)

Tinggalkan Balasan

Baca Juga

Polda Sosialisasi Sistem Pengamanan Lembaga Negara

15 Oktober 2025 - 01:24 WIT

Jurang Gunung Parang Makan Korban, Satu Meninggal

15 Oktober 2025 - 00:36 WIT

Bintang Daud, Bintang Kejora, dan Klaim OPM Didukung Israel

15 Oktober 2025 - 00:21 WIT

Gubernur: GPM Jadi Pilar Iman dan Persaudaraan

15 Oktober 2025 - 00:07 WIT

Terdakwa “Pembakar” Fasilitas PT Waragonda Divonis 8 Tahun Penjara

15 Oktober 2025 - 00:02 WIT

Trending di Sorot