Hubungan Internasional

“Perang Proxy Yang Dilancarkan Oleh Iran Dalam Kepentingan nya Di Timur Tengah Pasca Krisis Gaza 7 Oktober”

Muhamad Ardhan Kamsurya, Mahasiswa Hubungan Internasonal.

KONFLIK yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah menjadi sorotan utama dalam kondisi geopolitik kawasan bahkan internasional, memunculkan tantangan yang selalu melibatkan aspek agama, politik, dan kemanusiaan. Sejak pendirian negara Israel pada tahun 1948, wilayah Palestina telah menjadi saksi perubahan dinamika politik yang sangat kompleks hingga dewasa ini. Dinamika yang terjadi tidak saja hanya mencerminkan perjuangan nasional dan politik di antara penduduk Palestina, tetapi akan selalu menciptakan dampak yang signifikan dalam melibatkan masyarakat internasional secara luas. Selama periode 76 tahun konflik antara Israel dan Gaza, krisis yang cukup besar telah terjadi dan menyebabkan banyak korban jiwa dan kerugian material yang signifikan. Mereka menghadapi serangkaian kejahatan yang massif, termasuk pengepungan yang membuat akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, dan perawatan medis menjadi sulit. Banyak warga Gaza merasa bahwa pengepungan ini menyerupai zaman abad pertengahan, di mana mereka terisolasi dan sulit mendapatkan bantuan dan perhatian masyarakat internasional.

Pada 7 Oktober 2023, terjadi krisis terberat sepanjang abad ke-21 di Jalur Gaza, yang dipicu oleh konflik bersenjata antara Hamas dan Israel. Krisis ini tidak hanya berdampak signifikan secara regional, tetapi juga memicu gelombang protes dan reaksi di seluruh dunia. Negara-negara di kawasan pun mengalami reaksi serupa. Iran menunjukkan sikap dinginnya terhadap Israel, dengan Ayatollah Sayyed Ali Khamenei memperingatkan negara-negara di kawasan untuk menghentikan proses normalisasi dengan Israel lima hari sebelum konflik dimulai, pada 3 Oktober 2023. Khamenei menilai normalisasi tersebut sebagai upaya yang sia-sia. konflik yang dipicu oleh serangan Hamas terhadap Israel ini telah mengungkapkan episentrum konflik berkepanjangan yang melanda kawasan tersebut diketahui sebagai konflik dinamika yang sangat kompleks di Timur Tengah sejauh ini, dengan Iran yang memainkan peran signifikan dalam perang proxy yang berkembang, sebelum serangan itu terjadi, Iran telah menegaskan sikapnya terhadap Israel, melewati Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Sayyed Ali Khamenei, secara tegas

menyerukan agar negara-negara di kawasan menghentikan proses normalisasi dengan Israel. Pernyataan tersebut memicu kontroversi dan memperdalam ketegangan di wilayah tersebut, terutama karena terjadi beberapa hari sebelum serangan Hamas yang memicu perang di Gaza Pasca 7 Oktober lalu.

Meskipun Iran diduga terlibat dalam mendukung serangan Hamas, negara tersebut secara terbuka menyatakan bahwa mereka tidak diberi peringatan tentang serangan yang akan terjadi. Dalam pertemuan dengan pemimpin Hamas, Iran menegaskan bahwa mereka tidak akan terlibat langsung dalam konflik tersebut, tetapi akan terus memberikan dukungan politik dan moral kepada Hamas. Keterlibatan Iran dalam konflik ini dapat dilihat sebagai bagian dari upaya mereka untuk memperluas jaringan pengaruh regional mereka dan memperkuat aliansi dengan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan politik dan ideologis yang sejalan. Melalui dukungan mereka terhadap Hamas, Iran juga bertujuan untuk menggambarkan dirinya sebagai pembela rakyat Palestina dan pemimpin perlawanan terhadap pendudukan Israel.

Dalam konteks geopolitik regional, jaringan yang dibangun rezim Iran, mulai dari Pakistan hingga Lebanon dan Yaman, tidak bisa disepelekan. Bagi Teheran, jaringan ini merupakan langkah signifikan dalam memperkuat otoritas dan pengaruhnya di Timur Tengah, meskipun ada fakta bahwa beberapa pihak mungkin memandang keberadaan mereka sebagai sebuah bahaya. Menurut para pemimpin Iran, jaringan milisi ini penting bagi stabilitas dan ketahanan kekuasaan mereka, selain berfungsi sebagai sarana untuk menunjukkan otoritas dan kekuatan mereka tersebut. Keberadaan proxy-proxy ini juga sangat mempengaruhi arus politik dan keamanan di kawasan sekaligus membantu Teheran mempertahankan posisinya dalam sejumlah perang regional, bahkan dalam konflik atau krisis yang disebut sebagai 7 Oktober saat ini.

Perang proxy ini telah mencakup kelompok yang didukung oleh Iran, diantaranya adalah milisi Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman. Hizbullah telah terlibat dalam konflik bersenjata dengan Israel di perbatasan Lebanon-Israel selama berbulan-bulan sebelum serangan Hamas, sementara Houthi melakukan serangan terhadap kapal-kapal perusak AS di Laut Merah sebagai tanggapan terhadap serangan Israel di Gaza. Respons terhadap konflik ini beragam di kalangan negara-negara di kawasan tersebut, menciptakan polarisasi yang semakin mempersulit upaya perdamaian. Iran, sebagai pemain utama dalam konflik, telah menyediakan dukungan militer kepada kelompok-kelompok proxy ini, meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut dan

mengganggu perdagangan global dengan serangan terhadap kapal-kapal di perairan laut merah Yaman.

Iran telah berhasil mengelola proksi-proksinya dengan fleksibilitas dan dinamisme yang luar biasa. Mereka menggunakan kelompok payung dan ruang operasi gabungan untuk mengoordinasikan berbagai macam faksi, sambil juga memecah-mecah kelompok lain untuk mempertahankan dominasi mereka. Selain memberikan dana dan dukungan material, Iran juga mulai mentransfer alat produksi dan melakukan modifikasi senjata agar milisi-milisi tersebut dapat mempertahankan produksi independen yang berkelanjutan. Meskipun ada risiko kehilangan kendali kepentingan, Iran tetap melihat manfaat besar dalam membangun redundansi pasokan, inovasi, dan meningkatkan kapasitas milisi-milisi tersebut. Faksi “kelompok militant” Iran yang terfokus pada komponen penting diantaranya adalah Hizbullah di Lebanon, Jihad Islam Palestina dan Hamas, kekuatan penuh milisi Syiah Irak, dan Houthi di Yaman. Kelompok-kelompok ini muncul sebagai simpul yang paling kuat dalam jaringan milisi Iran, namun mereka hanya mewakili minoritas kecil dari banyak kelompok di seluruh dunia yang dilindungi oleh Teheran selama 45 tahun terakhir.

Selama lebih dari empat dekade, kelompok proksi militan telah menjadi bagian penting dari strategi regional dan internasional Republik Islam Iran. Iran telah lama menggunakan taktik perang asimetris ini untuk melawan lawan-lawannya yang lebih kuat, terutama Israel sebagai rivalnya di Kawasan Timur Tengah dan Amerika Serikat di Eropa, dengan tujuan memperkuat pengaruhnya sendiri. Dengan menghilangnya pesaing sejarah Iran di Timur Tengah seperti Saddam Hussein dan Moammar Gaddafi, Iran telah menjadi salah satu kekuatan utama yang paling dianggap sebagai ancaman berbahaya di wilayah tersebut. Secara keseluruhan, konflik ini menyoroti kompleksitas politik dan militer di Timur Tengah, dengan Iran memainkan peran yang signifikan dalam mendukung kelompok-kelompok proxy yang terlibat dalam perang ini. Dengan ketegangan yang semakin meningkat, upaya perdamaian dan penyelesaian konflik menjadi semakin sulit dilakukan di wilayah tersebut. (*)

Oleh : Muhamad Ardhan Kamsurya

Mahasiswa Hubungan Internasonal

Komentar

Loading...