Heran, Kasus DAK Afirmasi Aru Didiami, Dana Hibah “Disoroti”
KABARTIMURNEWS.COM. AMBON-Mengapa kasus besar tidak diusut tuntas, malah mengorek sesuatu di KPU Aru yang belum tentu terjadi.
Penyegelan dan pemasangan police line di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kepulauan Aru oleh Polres Aru dipertanyakan Kuasa Hukum Sekretaris KPU Aru, Lukman Matutu.
Kuasa hukum dari Agusthinus Ruhulessin itu menduga, ada yang tidak sehat dalam penanganan pemberantasan indikasi korupsi di Aru. Pasalnya, dalam dugaan tindak pidana korupsi dana hibah Pilkada Aru di KPU, polisi tidak lagi bergerak sesuai pedoman yang diatur dalam telegram Kapolri tertanggal 31 Desember 2019.
Yang mana dalam surat itu mengintruksikan agar Polri mengedepankan koordinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau BPKP dalam rangka audit terlebih dahulu dan memprioritaskan upaya pemulihan.
Tapi, polisi langsung melakukan penyegelan yang membangun opini publik seakan-akan ada terjadi penggeledahan kasus korupsi besar. Padahal, apa yang diduga belum tentu benar adanya.
"Saya jadi membandingkan dengan indikasi kasus korupsi dana DAK Afirmasi. Kok kasus besar ini, yang pemerintah dan DPRD Aru disinyalir mengubah dana dari pusat, tapi tidak diusut tuntas pihak polisi, atau melakukan penggeledahan. Tapi dugaan indikasi di KPU, langsung pasang police line tanpa berkoordinasi dengan APIP," kata Lukman kemarin.
Menurutnya, di Kabupaten Aru, banyak perkara besar yang menelan anggaran miliaran rupiah termasuk dugaan tindak pidana korupsi DAK afirmasi Aru tahun 2018 dengan nilai Rp 15 miliar lebih.
Dalam kasus DAK Afirmasi, Pemkab Aru dan DPRD Aru telah mengesampingkan atau mengubah dana tersebut. Padahal aturannya, itu hanya bisa dirubah oleh kementerian terkait. Anehnya, daerah yang melakukan persetujuan untuk mengubah itu.
"Mengapa kasus besar seperti ini tidak diusut tuntas, malah mengorek sesuatu di KPU Aru yang belum tentu terjadi," tegasnya.
Laywers pada Lembaga Bantuan Hukum Amanat Reformasi Indonesia (LBH ARI) Ambon itu mengaku menghormati tugas dari kepolisian dalam rangka menghindari adanya indikasi korupsi di suatu daerah. Namun, polisi juga harus bekerja sesuai pedoman yang diinstruksikan Kapolri berdasarkan arahan presiden.
Ditanya soal adanya indikasi korupsi dana hibah Pilkada Bupati-Wakil Bupati di KPU Aru, Lukman mengatakan anggota PPK Irawati Siahaan hanya keliru sehingga menduga ada penyimpangan penggunaan anggaran pilkada.
Padahal, Siahaan sendiri tidak menyadari kalau ada terjadi revisi perubahan anggaran atau adendum persetujuan anggaran. Yang mana yang pemerintah pusat tawarkan sebanyak Rp 18 miliar, tapi pihak KPU tidak mau mengambil risiko dan meminta penambahan menjadi Rp 25 miliar. Tapi oleh Kemendagri hanya menyutujui Rp 24 miliar.
"Karena banyak kegiatan yang harus dilakukan sehingga permintaan itu sebagai solusi. Ini dilakukan sebab KPU pun takutkan Pilkada bisa gagal dengan dana yang hanya Rp 18 miliar," kata dia.
Dalam perkembangannya, sekretariat KPU Aru sudah melakukan pembayaran honorer PPK dan PPS. Hanya saja karena terkendala covid-19, KPU tak bisa membayar honor dua bulan mengingat kegiatan PPS dan PPK juga terhenti. "Dan kekeliruannya hanya soal administrasi. Tapi sudah dilakukan pemeriksaan di Kejari Dobo, dan tidak ditemukan adanya indikasi korupsi," paparnya.
Ditambahkan, jika kerja PPK dan PPS hanya berlangsung selama tujuh bulan, maka pembayaran pun sesuai pekerjaan. Bukan harus membayar honor sembilan bulan sesuai SK. "Prinsipnya sekretariat KPU Aru tidak mau kerja diluar alur. Kalau kerja tujuh bulan, maka pembayaran pun tujuh bulan, bukan sembilan bulan. Dua bulan yang terhambat covid-19 itu sudah disepakati untuk kegiatan lain," tukas Lukman.
Sekadar tahu, soal indikasi dugaan korupsi dana hibah Pilkada Aru, Irwati Siahaan mengadukan terkait honor dua bulan PPK dan PPS yang tidak dibayarkan. Kemudian terdapat beberapa item pembelanjaan yang realisasinya tidak sesuai Rancangan Anggaran Belanja (RAB).
Antara lain operasional berupa ATK perbulannya kepada PPS yang hanya dibayarkan sebesar Rp 350.000 selama tujuh bulan. Sementara dalam RAB Rp 750.000 per bulan. Untuk PPK, di 10 Kecamatan, sesuai nilai yang tertera pada RAB sebesar Rp 1. 000.000 untuk biaya ATK, tetapi yang diterima hanya sebesar Rp750.000. (KTY)
Komentar