Korupsi Taman Kota KKT, Dakwaan JPU Keliru
KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Dakwaan Jaksa Ahmad Attamimi Cs dalam perkara dugaan korupsi proyek Taman Kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) terhadap para terdakwa dinilai keliru. Sebut saja soal nomenklatur proyek tersebut, Attamimi “salah besar”.
Hal itu dinyatakan pihak terdakwa PPTK Wilma Fenanlampir proyek tersebut. Melalui kuasa hukumnya Rony Zadrak Samloy, terdakwa mengaku nomenklatur proyek tersebut hanya Taman Kota Saumlaki pada Dinas PUPR KKT tahun anggaran 2017.”Tidak ada yang namanya Pelataran Parkir dan sebagainya. Salah besarnya jaksa di situ. Kenapa bisa begitu? Itu pertanyaan,” ujar Rony kepada Kabar Timur di PN Ambon, Selasa (31/8).
Hal itu juga akuinya, terungkap dari keterangan lima orang saksi Pokja proyek tersebut, menyatakan tidak ada proyek pelataran parkir. Sekretaris Pokja Alfonsina Torimtubun misalnya, yang bersangkutan bilang proyek ini nomenklaturnya hanya Taman Kota.
Dan kuasa hukum terdakwa konsultan pengawas lapangan Frans Pelamonia juga bertanya begitu. “Dijawab semua oleh Pokja bahwa hanya Taman Kota, tidak ada pelataran parkir,” ujar Rony.
Tidak adanya nomenklatur tambahan untuk proyek pelataran parkir Taman Kota Saumlaki jelas berpengaruh. Hanya saja pengaruhnya apa dia enggan menjelaskan, dengan dalih strategi pihaknya menangani perkara.
“Karena itu nantinya kita sampaikan dalam pembelaan,” akunya.
Menurutnya satu-satunya pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban adalah kontraktor PT Artha Nusantara yang kini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejati Maluku. “Dia harusnya jadi pelaku utama di dugaan korupsi Taman Kota. Dia penyebab kerugian negara ini terjadi,” katanya.
Persidangan perkara yang digelar majelis hakim Pengadilan Tipikor Ambon yang dipimpin Jenny Tulak itu digelar perdana Kamis pekan lalu dengan agenda pembacaan dakwaan JPU Kejati Maluku Achmad Attamimi.
Tiga terdakwa dijerat pasal berlapis ini masing-masing Adrianus Sihasale alias Doni selaku mantan kadis, Frans Pelamonia (pengawas lapangan) serta Wilma Fenanlampir sebagai PPTK.
Berdasarkan hasil audit BPKP RI Perwakilan Provinsi Maluku, negara mengalami kerugian sebesar Rp1.035 miliar.
Terdakwa dijerat melanggar pasal 2 ayat (1), dan subsider pasal 3 jo pasal 18 UU RI nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaannya JPU menyatakan sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), terdakwa Wilma Fenanlampir tidak cermat dalam proses penyusunan amandemen kontrak. Dan ada penambahan item pekerjaan pasangan batu karang yang hanya memuat harga satuan tanpa disertai dengan volume.
Dalam persidangan dengan agenda pembacaan eksepsi atau pembelaan itu, kuasa hukum Frans Pelamonia, menyatakan dakwaan jaksa harusnya batal demi hukum.
“Kenapa harus batal? Itu karena dakwaan JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap,” kata pengacara Marthen Fodatkosu Kamis (29/7) lalu.
Faktanya dalam dakwaannya JPU antara lain menyatakan kliennya Frans Pelamonia tidak melakukan perubahan kertas kerja. Yakni terkait paving blok yang harus berstandar SNI. “Tidak disebutkan soal SNI. Apakah pengawas proyek harus melawan kontrak? Khan tidak,” ujar Fodatkosu.
Dia menilai tidak cermatnya dakwaan bukan saja kwalitas paving blok. Tapi juga soal kesimpulan ahli Politeknik yang dipakai jaksa dalam menaksir kerugian negara.
Menurutnya, ahli politeknik tidak melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap kualitas pekerjaan. Ahli hanya mengamati tinggi rendah paving blok, tapi tidak menghitung langsung jumlah dan menilai kualitas paving blok yang dipakai.
Bahkan dari situ kliennya membuat dokumentasi dan dilaporkan ke terdakwa PPTK Wilma Fenanlampir. Dari situ PPTK mengambil kebijakan melakukan perubahan kertas kerja.
“Jaksa bilang tidak dilakukan perubahan kertas kerja, itu tidak benar,” tandasnya. (KTA)
Komentar