Gubernur Ganti Sekda, Pakar : Secara Hukum Itu Lumrah
KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Keputusan Gubernur Maluku, Murad Ismail, menganti sementara Sekretaris Daerah (Sekda) Kasrul Selang, dengan Sadli Le sebagai Plt, dinilai merupakan hal yang lumrah dalam praktik teknis kepemerintahan.
Demikian diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid, kepada Kabar Timur, saat dihubungi melalui WhatsApp seluler, Selasa (27/7) kemarin.
Menurutnya, secara hukum, langkah yang diambil Gubernur Maluku bisa terbilang biasa saja dan tidak melanggar aturan. Sebab, apa yang dilakukan masih dalam aturan perundang-undangan.
"Jika terjadi kondisi faktual serta keadaan hukum tertentu seperti itu, sarana hukum yang mengaturnya adalah Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal Pasal 214, " jelasnya.
"Pasal tersebut mengatur tentang, apabila Sekda Provinsi berhalangan melaksanakan tugasnya, maka tugas Sekda dilaksanakan oleh penjabat yang ditunjuk oleh gubernur, sebagai wakil Pemerintah Pusat atas persetujuan Menteri, maupun Peraturan Pemerintah RI nomor (3) Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah,"tambahnya.
Dalam peraturan pemerintah itu, lanjut dia, juga mengatur lebih lanjut tentang keadaan dimana terjadi kekosongan sekretaris daerah, yang didasarkan pada alasan-alasan khusus.
"Semisal di poin a. diberhentikan dari jabatannya; b. diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil; c. dinyatakan hilang; atau d. mengundurkan diri dari jabatan dan/atau sebagai pegawai negeri sipil. Dengan demikian fenomena tersebut menjadi sesuatu yang generik sesuai kebutuhan, pada lapangan praktik administrasi pemerintahan,"terangnya.
Dikatakannya, yang menjadi pertanyaan yang paling substansial dan elementer adalah dapatkah Gubernur yang dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), maupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat berwenang sewaktu-waktu dapat melakukan penggantian Sekretaris Daerah.
Maka, untuk menjawab pertanyaan hipotesa tersebut, maka bisa merujuk pada beberapa peraturan perundang-undangan, yang secara normatif mengatur hal dimaksud.
"Yaitu Pertama : Undang-Undang RI nomor 5 tentang 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menyebutkan, sepanjang menyangkut ketentuan norma pasal 114 mengenai pengisian jabatan pimpinan tinggi di Instansi Pemerintah Daerah, yang mengatur, pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat Provinsi dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi,"paparnya.
Kemudian, lanjut Fahri, dari hasil itu, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memilih, tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi madia untuk setiap satu lowongan jabatan, dan tiga calon nama pejabat pimpinan tinggi madya yang terpilih.
Hal itu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pejabat pembina Kepegawaian, serta pejabat pembina Kepegawaian mengusulkan tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi madya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
"Dan selanjutnya; Presiden memilih satu dari tiga nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan, sebagai pejabat pimpinan tinggi madya. Kemudian ketentuan pasal 116 ayat 2 tentang Penggantian Pejabat Pimpinan Tinggi, secara khusus mengatur bahwa penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum dua tahun dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden, "terangnya.
Sehingga dengan demikian dapat dikonstatir secara yuridis bahwa Gubernur sebagai PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) pada hakikatnya diberikan atribusi kewenangan oleh undang-undang, untuk melakukan pengisian maupun pergantian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi, setelah mendapat persetujuan Presiden.
"Jadi proses tersebut secara materil ada pada Gubernur sebagai PPK, tentunya dengan alasan-alasan khusus yang secara hukum dapat dibenarkan, dan secara formil ada pada presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN, desain hukum dalam Undang-Undang ASN, "tuturnya.
Secara filosofis, Mantan Pengacara Presiden Joko Widodo di Mahkamah Konstitusi RI pada saat sengketa Pilpres 2019 lalu ini mengatakan, yang dimaksudkan untuk membangun aparatur sipil negara memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat, adalah mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan, kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, Fahri mengaku, idealnya penggantian Sekretaris Daerah oleh PPK lebih ditekankan pada perbaikan performa kerja. Artinya, salah satu aspek yang cukup signifikan yang biasanya di evaluasi oleh PPK kepada Sekda definitif adalah, sangat terkait dengan unsur-unsur strategis seperti kinerja yang dimaksudkan untuk mengakselarasi tugas pemerintahan.
"Kemudian dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan, agar jauh lebih terukur serta kredibel, dan itulah basis pertimbangan serta intensi dibalik kebijakan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi oleh PPK, "ujarnya.
"Lalu instrumen hukum lainya adalah Undang-Undang RI nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal 213 mengenai Sekretariat Daerah, yang mana rumusan normanya mengatur jika Sekretariat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a dipimpin oleh sekretaris Daerah, "sambungnya.
Dia menambahkan, Sekda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengkoordinasian administratif, terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif.
Dan dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah, dengan konstruksi yuridis di atas adalah sejalan dengan norma konstitusional, sebagaimana diatur dalam rumusan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang mengatur pemerintah daerah Provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, sekwensi dari rumusan norma konstitusional melahirkan konsep “local state government” dan “local self government”. Jika local state government melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat di daerah, yang dipresentasikan oleh gubernur, sedangkan local self government melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpresentasikan keberadaan DPRD.
Dan Local state government hanya ada di wilayah provinsi. Oleh karenanya, provinsi memiliki kedudukan sebagai daerah otonom dan sebagai wilayah administratif.
"Maka konsekwensinya selain sebagai kepala daerah, Gubernur juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi, yang tentunya telah dilengkapi dengan sejumlah atribusi kewenangannya, termasuk soal pengisian maupun penggantian pejabat pimpinan tinggi madya atau Sekda. Itulah desain hukum sekaitan dengan proses pengisian maupun penggantian Pimpinan Tinggi Madya/Sekda, "tutupnya. (KTE)
Komentar