Oknum Guru Kalah Perkara Lahan di Desa Rumatiga

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Dalam amar putusannya majelis hakim Pengadilan Negeri Ambon Selasa (1/6/2021) akhirnya memutuskan sebidang tanah seluas kurang lebih 450 meter persegi dan sisanya 267 meter persegi adalah sah milik penggugat Suzanna Leuhery (60) dan kedua anaknya Ferdy dan Jimmy Leuhery.
Sementara tergugat Hana Martina Leuhery dinyatakan oleh majelis hakim yang dipimpin Lucky Rombot Kalalo itu tidak berhak atas bidang tanah yang jadi objek sengketa. Bahkan tergugat dan para koleganya yang lain diperintahkan segera keluar dari tanah objek sengketa.
Penasehat hukum Suzanna Leuhery menyampaikan, kliennya itu patut mendapat keadilan hukum, setelah awalnya hanya memberi tumpangan kepada Hana yang merupakan ponakan almarhum suaminya Dominngus Leuhery.
Pengacara Maurits Latumeten menjelaskan, setelah diberi tumpangan tempat tinggal di atas lahan seluas 267 meter persegi, sepeninggal ayahnya, Hana tiba-tiba menunjukkan sebuah sertifikat atas nama dirinya saat masalah ini ia adukan ke Pemerintah Desa Rumatiga, Kecamatan Teluk Ambon.
Alhasil, sengketa lahan tersebut digugat oleh pihak Suzanna Leuhery ke Pengadilan Negeri Ambon. Di pengadilan terungkap fakta kalau gugatan tersebut diawali pemalsuan kuitansi pembelian tanah senilai Rp 3.700.000 oleh tergugat Hana Martina Leuhery.
Sementara penggugat tidak mengetahui ada atau tidak pengukuran tanah dilakukan oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam rangka penerbitan sertifikat untuk tergugat.
“Ternyata sertifikat itu keluar dari pertanahan berdasarkan Jimmy punya surat pelepasan tanah. Katanya ada kuitansi. Jadi pertanahan juga tidak bisa disalahkan,” tandas Maurits Latumeten kepada Kabar Timur, Rabu (2/6).
Sebelumnya, Jimmy yang merupakan putera Suzanna dan almarhum suaminya Dominngus Leuhery itu telah melaporkan kasus dugaan pemalsuan kuitansi pembelian tanah itu ke Polisi.
Yang aneh dari kuitansi jual beli tanah tersebut, seharusnya ditandatangani oleh almarhum ayah tergugat yang ketika itu masih hidup. Tapi ternyata kuitansi ditandatangani sendiri oleh tergugat.
Cilakanya, meterai yang awalnya digunakan adalah meterai tahun 2008, setelah perkara bergulir di pengadilan, tergugat mengajukan bukti kuitansi lain dengan meterai tahun 2005.
Menurut Maurits, meterai tersebut diganti diduga untuk mengelabui majelis hakim kalau kepemilikan lahan oleh tergugat juga diketahui oleh almarhum ayah tergugat ketika masih hidup.
Yang disesalkan tergugat Hana Martina Leuhery adalah salah satu guru di SMAN 3 Ambon di Desa Rumatiga. Seharusnya yang bersangkutan memberi contoh moril yang baik kepada masyarakat.
Namun dengan caranya melawan hukum melakukan kasus dugaan tindak pidana pemalsuan kuitansi yang notabene termasuk dokumen negara itu, seharusnya dia mendapat sanksi moral. “Jadi tergugat seng bisa lari lagi. Terima putusan pengadilan atau kena pidana pemalsuan,” ujar Maurits. (KTA)
Komentar