TPU Hunuth Terancam Tutup

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON-Mengklaim dirinya mengantongi dokumen kepemilikan lahan sejak tahun 1916 dari orangtua, Anthori Nasela mengancam akan menutup akses pemakaman jenasah Covid-19 bagi masyarakat. Menurutnya Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon telah melakukan penyerobotan lahan yang berada di dusun “Titaokoe” itu untuk pembangunan TPU Hunuth tanpa dasar hukum.
Dua kuasa hukum Anthori Nasela, menyebutkan, klien mereka hanya ingin meminta pertanggungjawaban Pemkot Ambon yang, dinilai tanpa hak menggunakan lahan dusun Titaokoe untuk Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Desa Hunuth itu.
Dihubungi, Sekretaris Kota (Sekot) Ambon AG. Latuheru belum berhasil dimintai konfirmasi. “Pak Sekot sementara dinas di luar daerah,” ujar salah satu staf Sekot Ambon kepada Kabar Timur, Rabu (18/11) di ruang kerja Sekot, Balai Kota Ambon lantai II.
Terpisah, pengacara Yoppie Nasarany dan Richard Ririhena menjelaskan, klien mereka Anthori Nasela dan Mochtar Nasela merupakan pemilik sah lahan tersebut. Namun entah dasar apa, Pemkot Ambon mengaku lahan tersebut merupakan tanah hibah dari Dade Nasela dan Pemerintah Negeri Hitu Lama.
“Dade itu Nasela, tapi dia bukan Nasela turunan langsung almarhum Haji Ajran Nasela. Sementara konfirmasi dengan Sekot Ambon dan Camat Teluk Ambon mereka bilang itu hibah dari Raja Hitu Lama dan Dade,” ujar Yoppie Nasarany didampingi rekannya Richard Ririhena, Rabu (18/11)
Kepastian difungsikannya TPU Hunuth untuk masyarakat terlebih khusus jenasah Covid-19 disampaikan Pemkot Ambon pada Mei 2020 lalu. Jubir Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Ambon Joy Adrianz menyebutkan, lahan seluas 1,8 hektar di Desa Hunuth Kecamatan Teluk Ambon itu diperuntukkan sebagai TPU bagi masyarakat Kota Ambon.
Namun menurut kedua kuasa hukum Anthori Nasela, klaim Pemkot mengatasnamakan kepentingan masyarakat di TPU tersebut mesti dikuatkan dengan bukti kepemilikan. “Yang jadi pertanyaan bagi Pemda Kota (Ambon) itu mana bukti surat hibahnya. Dan jika tanah hibah, maka pertanyaan berikutnya hibah dari siapa?” ujar pengacara Richard Ririhena.
Ririhena menjelaskan, kliennya Anthori dan Mochtar Nasela memiliki bukti kepemilikan berupa “Meet Brief” atau surat ukur tanah sejak tahun 1916 atas nama Haji Ajran Nasela. Dokumen yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda itu dapat disejajarkan dengan sertifikat kepemilikan tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di jaman sekarang.
Bahkan kedua kepemilikan lahan kliennya itu kata Ririhena dikuatkan dengan surat pengakuan dari Pemerintah Negeri Hitumessing tahun 1958 yang menyatakan lahan di dusun Titaokoe adalah milik Haji Ajran Nasela. (KTA)
Komentar