Komisi Hukum: Bupati Buru Harus Diperiksa

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Komisi I DPRD Maluku mendesak penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku memanggil Bupati Buru Ramli Umasugy untuk diperiksa terkait keterlibatanya dalam tindak pidana korupsi.
Ramli perlu diperiksa setelah namanya mencuat di persidangan dengan terdakwa mantan Sekda Buru Ahmad Assagaf dan mantan Bendahara Umum Setda Buru La Joni Ali. “Pihak Kepolisian harus memanggil bupati Buru untuk dimintai keterangan. Ini fakta persidangan. Aparat penegak hukum jangan tebang pilih dalam penegakan hukum,” kata Ketua Komisi I DPRD Maluku Amir Rumra, Senin (5/10).
Assagaff dan Ali menjadi terdakwa korupsi perkara belanja perawatan kendaraan bermotor, belanja sewa sarana mobilitad, belanja sewa perlengkapan dan peralatan kantor tahun anggaran 2016, 2017 dan 2018. Kedua terdakwa juga menyalahgunakan anggaran belanja Penunjang Operasional KDH/WKDH tahun anggaran 2018 untuk kepentingan pribadi sebesar Rp11.328.487.705. Perkara ini kini bergulir di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon.
Rumra mengatakan, jika fakta persidangan terungkap keterlibatan nama bupati Buru, pihak Kepolisian harus menindaklanjuti keterangan saksi. Namun, dia mengingatkan, tetap mengedepankan praduga tak bersalah. “Memang kita tidak bisa justifikasi, tapi ada keterangan tambahan harus ditindaklanjuti Kepolisian. Jadi bupati Buru harus dimintai keterangan agar tidak jadi bola liar,” kata politisi PKS ini.
Komisi I yang membidangi hukum, mengapresiasi pihak Kepolisian dan berharap langkah-langkah maju dalam pengusutan kasus tersebut. “Saya kira pihak Kepolisian harus bergerak karena ada keterangan yang menyebut nama bupati Buru. Jadi yang disebutkan namanya harus dimintai keterangan apakah informasi itu benar atau tidak. Nah, saya kira pihak Kepolisian lebih memahami itu,” kata Rumra.
Dia menegaskan, penegakan hukum tidak pandang bulu. Semua warga negara sama di mata hukum. “Jangan sampai hukum tajam kebawah, tumpul ke atas. Semua sama di mata hukum. Apakah dia presiden atau menteri, kalau terbukti bersalah harus dimintai pertanggungjawaban hukum. Apalagi, dana yang dikorupsi sangat besar. Kasus ini harus dibuktikan benar atau tidak, sehingga publik bisa mengetahui,” harap Rumra.
Rumra mengakui, penegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi butuh waktu lama. Ketika rapat bersama Ditrekrimsus Polda Maluku, beberapa waktu lalu, butuh anggaran dan waktu untuk menuntaskan satu kasus. “Jadi kita tunggu sikap dari Kepolisian untuk menuntaskan kasus ini,” harapnya.
Terpisah Anggota Komisi I DPRD Maluku, Eddyson Sarimanella menyatakan, jika dalam proses persidangan dengan terdakwa mantan Sekda Buru dan mantan bendahara umum Setda Buru terungkap fakta baru, Ditreskrimsus diminta menindaklanjutinya.
Apalagi, ingat dia, membuka kembali kasus tindak pidana korupsi, penyidik harus mengantongi dua alat bukti untuk menetapkan tersangka baru dalam perkara korupsi. “Jadi harus ada pembuktian, minimal dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka. Jika nama Pak bupati Buru disebut dalam persidangan hal yang wajar,” kata Sarimanela.
Namun, ingat dia, dalam proses penyelidikan dan penyidikan, jika ditemukan bukti baru, penyidik wajib menindaklanjutinya. “Jadi jangan sampai terkesan Kepolisian tebang pilih dalam kasus ini,” kata politisi partai Hanura ini.
Dia menegaskan, proses penegakan hukum harus transparan. Apalagi, nama bupati Buru mencuat dalam fakta persidangan. “Harus ada langkah hukum proses sesuai aturan. Jadi seorang warga negara wajib hukumnya dipanggil dan dimintai keterangan kalau ada bukti awal,” tegasnya.
Namun, ingat dia, jika tidak ditemukan bukti yang cukup, Ditreskrimsus menyampaikan ke publik bahwa bupati Buru tidak terlibat.
KETERLIBATAN BUPATI
Penggunaan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan Jo pasal 55 KUHP untuk menyeret Mantan Sekda Kabupaten Buru, Achmad Assagaff dan Bendahara Umum Setda Buru, La Joni Ali sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi, membuka peluang adanya keterlibatan orang lain dalam kasus tersebut.
“Jo Pasal 5 KUHP yang dipakai ini memberikan indikasi adanya orang lain yang terlibat. Pasal 2 UU Tipikor juga memberikan sinyal itu. Ini bisa terang benderang jika Bupati Ramli dihadirkan di persidangan sebagai saksi,” kata Advokad Saman Lating, Senin (5/10)
Lating mengatakan, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), seseorang ditetapkan sebagai tersangka manakala ditemukan bukti permulaan yang cukup. Untuk membuktikan terjadinya tindak pidana, penyidik menghadirkan saksi-saksi.
Mengapa? sebab saksi merupakan orang yang sangat dekat dengan peristiwa pidana. Saksi ini yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri tindak pidana. Adakalanya saksi adalah tersangka untuk perkara yang sama, sehingga dikenal istilah saksi mahkota.
Kemudian, HIR dan KUHAP pada dasarnya menganut prinsip yang sama, hanya keterangan saksi yang disumpah yang bisa dijadikan alat bukti. Karena begitu pentingnya peranan saksi dalam mengungkap suatu tindak pidana, KUHAP banyak mengatur kehadiran saksi di persidangan.
“Status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi,” ujar dia.
Menurutnya Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957 tertanggal 12 Oktober 1957 menyebutkan, untuk menentukan siapa yang akan dituntut melakukan suatu tindak pidana semata-mata dibebankan kepada penuntut umum.
“Namun di dalam ruang sidang, hakim yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai keterangan. Ini juga diatur dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang diperintahkan untuk hadir di sidang pengadilan,” jelas Lating.
Jika fakta persidangan ditemukan bukti keterlibatan Ramly ikut menikmati uang hasil korupsi bersama Assagaff dan La Joni, Lating menegaskan, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan Ramly. “Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka,” kata alumni Fakultas Hukum Universitas Pattimura ini.
Dikatakan tindak pidana korupsi biasa dilakukan secara bersama sama. Dalam tindak pidana korupsi yang menjerat mantan Sekda Buru, Assagaff yang didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan Pasal 2 UU Tipikor Jo Pasal 56 Jo Pasal 55 adalah tindak pidana yang dilakukan tahun 2017.
“Dalam dakwaannya JPU menggunakan Jo Pasal 56 KUHP berarti tindak pidana tersebut dilakukan secara bersama-sama dan penggunaan Jo Pasal 55 KUHP, maka tidak menutup kemungkinan akan adanya terdakwa baru. Ini dilihat dari penggunaan Jo Pasal 55 KUHP itu,” papar Lating.
Dia melanjutkan, apabila dalam persidangan juga terdapat fakta hukum yang terungkap bahwa ada keterlibatan orang lain dalam tindak pidana yang disidangkan dan atau turut menikmati, maka majelis hakim dengan keyakinannya berdasarkan fakta-fakta dan diperkuat oleh bukti serta keterangan saksi, maka hakim dapat memerintahkan JPU untuk melakukan penyidikan dan atau penuntutan kepada orang tersebut.
“Selain majelis hakim, JPU juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tanpa harus melalui perintah majelis hakim,” katanya. (KTM/KTY)
Komentar