Pakar: Penegak Hukum Harus Periksa Ketua DPRD Maluku

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Tidak ada alasan sedikit pun bagi penyidik untuk tidak menangani peristiwa (pidana) itu.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengkritik penegak hukum di Maluku yang belum bergerak mengusut kasus penipuan oleh Ketua DPRD Maluku, Luki Wattimuy.
Ketua DPRD Maluku itu meminta uang jutaan rupiah dari Zakarias Raressy dengan dalih barter proyek pemerintah. Namun setahun berlalu, Luki berbohong, lantaran tidak menepati janjinya memberikan Zakarias paket proyek.
Margarito berpendapat, dengan atau tidak ada laporan dari kontraktor selaku korban, penegak hukum (polisi atau jaksa) wajib memeriksa Luki. Pertimbangannya, karena itu delik biasa bukan delik aduan (korban melapor ke penegak hukum).
Karena merupakan delik biasa tidak perlu laporan atau pengaduan dari korban. Menurutnya pemberitaan di media yang disertai bukti surat pernyataan dan bukti kuitansi penerimaan uang oleh Luki saja itu sudah cukup menjadi dasar tindakan penyidik memanggil dan memeriksa Luki.
Dia menegaskan, tidak ada alasan sedikit pun bagi penyidik untuk tidak menangani peristiwa (pidana) itu. “Justeru akan menjadi soal jika tidak ditangani, ada apa dengan sikap penyidik?,” kata Margarito dihubungi Kabar Timur, Senin (7/9).
Menurutnya tindakan Luki, bukan tindak pidana biasa, jika terbukti menerima uang. “(Sebagai legislatif) Janji (memberikan proyek) saja tidak bisa, apalagi (menerima) uang. Kalau itu betul-betul ada (Luki terima uang) sekali lagi jika sudah diberitakan media, maka dengan atau tanpa laporan yang bersangkutan polisi wajib (periksa Luki). Tidak ada ilmu hukum di republik ini yang kualifikasi tindakan delik pidana biasa ini memerlukan pengaduan,” tegas pakar hukum bergelar profesor ini.
Margarito mengingatkan, penyidik harus bekerja berdasarkan aturan kasus penipuan oleh bendahara DPD PDIP Maluku ini. “Polisi atau jaksa bekerja berdasarkan perasaan atau aturan? Penyidik bekerja bukan berdasarkan rasa atau pertimbangan-pertimbangan politik. Bekerja cukup berbaju hukum tidak perlu berbaju lain apapun itu,” tegas dia.
Apa yang harus dilakukan PDIP dan Badan Kehormatan DPRD atas aksi penipuan oleh Luki. Margarito menganggap tidak penting apapun langkah PDIP dan Badan Kehormatan DPRD Mauku. “Itu tidak penting, saya masa bodoh. Kalau itu saya masa bodoh. Yang penting ini bukan delik aduan. Penyidik hanya perlu berbaju fakta, berbaju hukum, tidak berbaju rasa dan baju politik,” tegas Margarito lagi.
DIJERAT GRATIFIKASI
Pasal Gratifikasi Penerimaan uang dengan iming-iming proyek pemerintah, bisa dikenai pasal gratifikasi karena menyalahi aturan main.
Salah satu pengusaha jasa konstruksi, Boetje Litaay ikut angkat bicara soal janji proyek pemerintah dengan modus terima uang dari kontraktor. Dia mengatakan, sebagai Ketua DPRD Maluku, Lucky Wattimury, tidak punya otoritas untuk menentukan kontraktor yang mengerjakan proyek.
“Yang punya kewenangan itu pemerintah daerah melalui dinas terkait. Nah, yang janji kasih proyek tidak punya kapasitas,” ujar kata Litaay, kemarin.
Padahal, ingat Litaay, yang pernah masuk Desk Pemilu pada Deputi Poldagri Kemko Polhukam 2011-2019 ini, sebagai wakil rakyat kewenangan hanya membahas dan menyetujui anggaran. “Eksekusinya ada di pemerintah. Ini salah kaprah,” tegasnya.
Dia menilai, jika ada kontraktor memberikan uang kepada Wattimury, bisa dikenai pasal gratifikasi kepada Wattimury dan kontraktor yang menyerahkan uang dengan harapan meperoleh proyek. “Kontraktornya sudah tahu ini gratifikasi, tapi karena tak kunjung dapat proyek yang dijanjikan, sekalian kepalang basah,” terang pengembang perumahan di kota Bandung, Jawa Barat ini.
Apalagi, sebut dia, jika tersedia 10 paket proyek. Namun, dijanjikan kepada kontraktor 20 paket proyek, sangat disayangkan. “Tidak mungkin 20 kontraktor yang dapat proyek. Yang dapat hanya 10 kontraktor saja,” ingatnya.
Dia menilai, kebanyakan para kontraktor memilih jalan pintas menyerahkan uang kepada anggota dewan untuk mendapat proyek, karena ketidakadilan pemerintah. “Mungkin yang sering dapat proyek orang tertentu. Makanya, kontraktor yang tidak kunjung dapat proyek, secara bisnis dia datangi anggota dewan untuk serahkakan sejumlah uang dengan harapan dapat proyek,” papar Litaay.
Litaay kuatir, kontraktor yang tidak dapat proyek yang dijanjikan karena kualifikasinya tidak sesuai spesifikasi perusahaan. “Mungkin speesifikasi jalan dipaksakan kerja gedung. Ini yang sering terjadi. Akibatnya, terjadi masalah,” tuturnya.
Dia mencontohkan kasus Damayanti, mantan anggota DPR RI. Menurutnya dari sisi bisnis, suap kepada Damayanti, sangat kecil dengan nilai proyek tidak seberapa. “Tapi kejadian itu masuk ranah politik. Ada dalam panggung politik, sehingga senjata politiknya jatuhkan lawan politik,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Pakar Hukum Pidana, prof. Dr. Mudzakkir menegaskan, perbuatan Luki Wattimury termasuk perbuatan melawan hukum. “Perbuatan Pak Wattimury juga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan suap,” terang Mudzakkir dihubungi Kabar Timur via seluler, Kamis (3/9).
Guru besar ilmu hukum pidana pada Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu katakan, dalam hukum pidana, tindakan ini tidak dibenarkan. Sebab, ketua DPRD Maluku sudah meminta sejumlah uang dengan menjanjikan proyek, namun tidak ditepati.
Luki juga telah melakukan pelanggaran kode etik DPRD dan perbuatan tersebut mengarah kepada tindak pidana penipuan. “Lagi pula urusan proyek bukan urusan ketua DPRD tetapi urusan eksekutif,” tandasnya.
Mengenai perjanjian di atas materai, lanjut Mudzakkir, itu bukti yang kuat. Dia tidak menyalahkan jika yang dirugikan untuk bisa melaporkan Luki ke pihak berwajib. “Ada materai dan itu sebagai bukti adanya deal atau kesepakatan dengan kontraktor yang berujung pada janji palsu. Jadi tidak salah jika itu dilaporkan,” jelasnya. (KT/KTM/KTY)
Komentar