Ini Penyebab Teluk Ambon Sering Terjadi Ledakan Alga

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON- Fenomena ledakan populasi alga di Indonesia, sering terjadi di perairan laut Teluk Ambon, Kota Ambon, Maluku.

Peristiwa yang dikenal dengan istilah Harmful Alga Blooms (HABs) itu, merupakan fenomena alam di wilayah pesisir dengan karakteristik teluk.

Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Ambon, Nugroho Dwi Hananto, saat "Talkshow Fenomena HABs di Teluk Ambon" dalam ajang Indonesia Science Expo (ISE) 2019, di ICE BSD, Serpong, Banten, Kamis (24/10), mengaku ledakan alga biasa terjadi pada perairan laut Teluk Ambon.

Lokasi ledakan biasanya terjadi pada perairan Teluk Ambon Dalam atau di apit dua wilayah administrasi Kota Ambon, yaitu Kecamatan Baguala dan Teluk Ambon.

Berdasarkan rekam jejak, ledakan alga di kawasan tersebut tercatat sudah terjadi beberapa kali sejak tahun 1990-an.

Pada bulan Juli 1994 silam, Teluk Ambon Dalam pernah terjadi ledakan alga jenis Pyrodinium Bahamense var Compressum atau beracun.

"Saat itu dilaporkan tiga orang meninggal dunia dan puluhan orang harus dirawat secara medis setelah mengkonsumsi biota laut (setelah ledakan alga)," kata Nugroho dalam rilis yang diterima Kabar Timur, Jumat (25/10).

Fenomena HABs berdampak buruk, karena menyebabkan kekurangan kadar oksigen dalam air. Hal itu mengakibatkan terjadinya kematian biota laut.

Salah satu tanda utama kemunculan HABs adalah perubahan warna air laut menjadi merah. Masyarakat Maluku menjuluki fenomena alam tersebut dengan istilah laut merah atau air berdarah.

"HABs sering dijumpai di perairan pesisir yang berbentuk teluk. Perancis, Jepang, Malaysia, China, Thailand, dan Vietnam melaporkan kejadian HABs di pesisir dengan karakteristik teluk," kataanya.

Ia menjelaskan, Teluk Ambon merupakan perairan semi tertutup (semi-enclosed bay). Di mana, antara teluk bagian dalam dan teluk luar dipisahkan oleh sebuah ambang (sill) yang sempit dan dangkal. Atau dikenal dengan nama Tanjung Martafon.

"Kondisi ini menyebabkan sirkulasi massa air di teluk bagian dalam terhambat, yang membuat terhambatnya sirkulasi massa air dan adanya pengaruh antropogenik dari daratan," jelasnya.

Selain terjadinya blooming alga jenis Pyrodinium Bahamense var Compressum pada bulan Juli 1994, peristiwa serupa juga berlanjut di tahun 2012 dengan jenis yang sama atau beracun.

Sementara pada tahun 2019 ini, tercatat sudah dua kali kejadian HABs di Teluk Ambon. Yaitu pada bulan Januari dan akhir Agustus sampai awal September 2019.

"Saat itu terjadi blooming jenis Gonyaulax dengan luasan area yang mengalami perubahan warna mencapai 88 hektar," ungkap Nugroho.

Ia mengatakan, pemahaman masyarakat sekitar masih rendah, akan bahaya yang berdampak pada kematian ikan, sebagai sumber pangan. Sehingga perlu adanya sosialiasi terkait fenomena tersebut.

"Sedikit sekali masyarakat yang mengetahui berita kematian ikan akibat HABs. Untuk itu perlu adanya sosialisasi maupun menyebarluaskan informasi kepada masyarakat," tandasnya. (CR1)

Komentar

Loading...