Kasus Lahan Fery Tanaya “Naik Kelas”

ILUSTRASI

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Kasus pengadaan lahan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin dan Gas atau PLTGM Namlea yang dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku berstatus penyidik alias “naik kelas.”

Meski telah beralih status dari penyelidikan ke penyidikan, kasus dengan terlapor Ferry Tanaya “si Raja Kayu” ini, modus korupsinya belum dipublis rinci.

“Naik kelasnya” kasus ini kinerja Korps Adhyaksa patut diacungi jempol. Setidaknya, kasus ini sempat mengkrak di Polres Pulau Buru tepat satu tahun lalu.

Setelah melakukan pengumpulan data, bahan dan keterangan (puldata dan pulbaket) dan meminta keterangan sejumlah pihak, Tim Pidsus Kejati Maluku menyimpulkan adanya penyimpangan hukum di kasus ini.

Jaksa menemukan unsur tindak pidana korupsi. Namun Kasipenkum Kejati Maluku Samy Sapulette irit bicara. Dia enggan membeberkan seperti apa telaah hukum tim jaksa. Juga indikasi Tipikor hingga modus dugaan korupsi yang terjadi di perkara ini.

Samy tertutup soal pihak mana saja selaku terlapor di perkara ini. Saat disentil nama pengusaha kakap Fery Tanaya, juga tidak diiyakan Samy. “Bahwa benar, kasus dengan nomeklatur kasus pengadaan lahan untuk pembangkit listrik tenaga mesin dan gas di Namlea, sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan. Soal siapa dan lainnya itu belum dilihat,” ucap Samy Sapulette langsung kepada Kabar Timur, Jumat (17/5) di kantor Kejati Maluku.

Ditingkatnya kasus ini dan menjadi perkara di Kejati, apakah telah melalui ekspos atau gelar perkara, Samy menegaskan sesuai mekanismenya setiap kasus setelah ditelaah, harus diekspos. Kalau terindikasi melanggar aturan apalagi berpotensi merugikan keuangan negara, pasti dinaikkan ke penyidikan.

Sebelumnya Feri Tanaya pada Mei 2018 lalu, pernah dilaporkan ke Polda Maluku karena menjual tanah milik Petuanan Negeri Lilialy seluas 2 Ha lebih dan lahan milik Moch Mukadar seluas 2.87 Ha kepada PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Maluku berdasarkan ERPAK Belanda tahun 1938.

Mirisnya, dalam transaksi jual beli itu, Fery Tanaya sedang menggugat Mukadar di MA. Namun gugatannya kalah di Pengadilan Tata Usaha Negera (TUN) Ambon, Pengadilan Negeri Ambon, bahkan di tingkat Kasasi Mahkamah Agung TUN serta PK Perdata di MA di tolak tanggal 30 Mei 2017 juga kalah.

Tapi yang diherankan pihak Mukadar, di setiap persidangan, Fery Tanaya tidak pernah dihadirkan oleh PLN secara langsung. Dia menyatakan Fery kalah atas lahan yang berada di Desa Lala, Kecamatan Lilialy itu berdasarkan putusan PTUN Makassar No: 94/B/2014, putusan Kasasi MA. No 70 K/TUN/2015, putusan MA. No 937 K/PDT/2015 putusan PK MA. No 184/PK/PDT/2017, dan putusan MA. No: 761/K/PDT/2017.

Pihak Moch Mukadar, yang juga pelapor kasus ini mengaku telah diperiksa sebagai saksi pada 15 November 2018. “Sudah dipanggil dan diperiksa di ruang pemeriksaan kantor Kejati Maluku. Klien saya diperiksa oleh penyidik Pak Sapta,” ungkap Samrin Sahmad, usai pemeriksaan kliennya di Kejati.

Dalam pemeriksaan perdana itu, jaksa pemeriksa, ungkap Sahmad, meminta keterangan soal status kepemilikan lahan tersebut. Jaksa juga meminta keterangan soal NJOP lahan, yang mana, NJOP dinilai tidak wajar, sebab harga lahan dinaikkan berlipat, sementara pihak PLN melakukan transaksi tanpa melibatkan notaris. Bahkan BPN Kabupaten Buru juga tidak dilibatkan.

Selain melapor ke Kejati Maluku, kasus dugaan korupsi tersebut juga dilaporkan ke Jampidsus Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta pada 12 Nopember 2018.

Diberitakan sebelumnya, aroma korupsi merebak dalam kasus pembelian lahan oleh PT PLN untuk pembangunan PLTMG Namlea.

Dengan demikian diduga lahan yang dibeli PLN mengalami pembengkakan dari NJOP tahun 2016. Harga sesuai NJOP Rp 36.000. Namun melonjak menjadi Rp 131.600 per meter persegi.

Dalam surat pelepasan hak lahan, Fery Tanaya tidak mencantumkan atau menjelaskan mengenai status tanah yang dia klaim.

Anehnya, saksi dalam pelepasan hak itu tidak memiliki sangkut paut. Diantaranya atas nama Kapolsek Namlea, Danramil Namlea, dan Staf Desa serta Camat. Nama staf desa dan Camat baru dimasukan sebagai saksi. Kedua nama saksi ini baru ditulis tangan tanpa cap kecamatan.

Penandatanganan surat pelepasan hak tanah berlangsung di Kantor Camat Namlea, 28 Juli 2016. (KTA)

Komentar

Loading...