DLH Diminta Tinjau Pencemaran di Wetar
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Dugaan pencemaran lingkungan di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) khususnya di Pulau Wetar akibat aktifitas penambangan emas dan tembaga PT Batu Tua Raya (BTR), harus disikapi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Maluku, DLH Kabupaten MBD, maupun Komisi B DPRD Maluku.
“Ini laporan dari masyarakat. Laporan ini jelas atau tidak, saya minta DLH Maluku didampingi Komisi B DPRD segera tinjau lapangan. Masyarakat jangan dijadikan korban,”kata anggota DPRD Maluku, Melkias Frans kepada Kabar Timur di Ambon, Selasa (26/3).
Dia mengatakan, jika dikemudian hari DLH maupun DPRD Maluku menemukan benar adanya dampak lingkungan akibat pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah batuan asam sisa eksploitasi emas dan tembaga di pulau tersebut, maka PT BTR harus dikenakan sanksi berat bila perlu ditutup.
“Jika aktivitas dari PT BTR mengarah pada eskalasi pencemaran lingkungan maka ditutup saja tambangnya atau dikasih hukuman bagi pengelola tambang itu supaya mereka juga sadar karena masyarakat yang jadi korban,”tegasnya.
Dikatakan, laporan yang disampaikan masyarakat terkait dugaan pencemaran ini juga bukanlah asal laporan. Tetapi harus ada fakta lapangan sehingga dalam peninjauan DLH maupun Komisi B DPRD, bisa sesuai dengan apa yang diberitakan media.
“Saya harap laporan adanya dugaan pencemaran lingkungan di Pulau Wetar ini tidak hanya asal. Masyarakat yang melaporkan harus bisa mempertanggungjawabkan sehingga kunjungan DLH dan DPRD Maluku disana tidak sia-sia,”paparnya.
Sebelumnya diberitakan media ini, punya potensi alam berupa emas dan tembaga kesejahteraan bukan meningkat dengan adanya investasi, sebaliknya yang diterima dampak lingkungan yang mengancam kesehatan.
Janji pemberdayaan hanya omong kosong, aktifitas PT Batu Tua Raya (BTR) di Pulau Wetar, Kabupaten MBD makin gila, lahan dibongkar tanpa kesepakatan dengan pemilik.Tokoh masyarakat daerah itu, Orlando Petruz mendesak Pemkab MBD mengambil langkah. Berkoordinasi dengan Pemprov Maluku maupun Kementerian ESDM terkait operasi BTR yang telah keluar dari koridor lingkungan.
Dia menyatakan, 6000 jiwa penduduk Pulau Wetar terancam dampak lingkungan akibat pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah batuan asam sisa eksploitasi emas dan tembaga di pulau tersebut. Sedangkan di Desa Lurang dan Uhak, dimana eksploitasi perusahaan dipusatkan, 700-warga dua desa tersebut terancam, sebagian masyararakat mulai menunjukkan gejala penyakit.
“Kita minta Pemkab MBD, mendesak Pemprov maupun pemerintah pusat, tutup sementara Batu Tua Raya, evaluasi dulu. Masyarakat desa Lurang dan Uhak, sekarang gatal-gatal akibat limbah,” katanya kepada Kabar Timur, melalui telepon seluler, Minggu, kemarin.
Oyang Masnari, anak pemilik lahan di Desa Lurang membenarkan saat dikonfirmasi. Kepada Kabar Timur, dia mengungkapkan, alat-alat berat milik PT Merdeka Gold Copper Mining, yang merupakan anak perusahaan BTR, telah merusak lahan miliknya.
Hutan seluas 2 hektar yang isinya kayu besi dibabat dengan alasan awal untuk pelebaran poros jalan Desa Lurang-Desa Uhak, ternyata bohong. “Itu untuk basecamp tempat tinggal karyawan. Kita sudah ditipu, kita tanya, mereka bilang kontrak karyanya dengan pemerintah pusat memang begitu,” ujar Oyang Masnari.
Pembodohan terhadap warga kerap terjadi. Sebut saja soal lahan lahan atas, seluas 8 hektar, untuk pembuangan material sisa batuan, belum ada kesepakatan harga, namun beberapa hari kemudian perusahaan datang menyodorkan kontrak untuk ditandatangani ayahnya yang sudah lanjut usia, dengan harga Rp 8 ribu per meter.
Belum lagi lahan seluas 6 hektar mengandung kapur, kesepakatan sewanya Rp 75 juta sebulan, tapi disodorkan dalam kontrak Rp 7,5 juta, ditandatangani oleh ayahnya. Padahal sebelumnya material yang dipergunakan untuk menetralisir asam tembaga dipasok dari Jawa.
“Bapa sudah tanda tangan mau bilang apa lagi. Padahal sebelumnya, perusahaan harus impor kapur dari Surabaya. Sekarang lahan itu malah produksi kapur 500 ton per hari, perusahaan sudah untung itu, tapi kontrak lahan murah,” ujarnya.
Salah satu pimpinan perusahaan yang bernama Katamsi, kata dia, menjanjikan persoalan sejak 3 bulan lalu ini akan diselesaikan baik-baik dalam pertemuan, ternyata sampai sekarang tidak pertemuan itu. Alih-alih Katamsi yang disebut-sebut salah satu direktur di BTR ini muncul menemui warga dan tokoh masyarakat, perusahaan kian tertutup terhadap masyarakat.
Beberapa karyawan yang merupakan anak daerah, diingatkan tidak mengambil gambar kerusakan lingkungan di sekitar area perusahaan. Jika tidak diindahkan, diancam pecat.
“Kalau kami, yang dtekankan adalah Amdalnya. Tanggal 8 Maret lalu, pukul 16, 50 menit, 58 detik sesuai rekaman data, tanggul Kali Kuning jebol. Itu tanggul produksi tembaga, dia jebol tumpahkan ribuan kubik air asam menuju laut. Jangan ikan-ikan biasa, ikan morea pun bisa punggul di pantai sana akibat air asam itu,” timpal Lexior Lainata, pemerhati lingkungan Pulau Wetar. (MG3)
Komentar