Tersangka Korupsi Komisioner Aru Belum Ditahan, Ini Kata Kapolda
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kepulauan Aru, yakni: Yosep Sudaraso Labok (YSL), Mustafa Darakay (MD), Muhamad Adjir Kadir (MAK) dan Kenan Rahalus (KR) telah ditetapkan resmi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Aru tahun 2020.
Selain ketua dan Anggota KPU Aru, Tim Penyidik Polres Aru juga menetapkan Sekertarus KPU setempat Agus Ruhulesing (AR) dalam kasus yang sama sebagai tersangka. Kendati telah berstatus tersangka mereka belum ditahan.
Dalam pertemuan dengan Kapolda Maluku, Selasa, kemarin, Cipayung Plus wilayah Maluku menanyakan langsung alasan belum ditahannya para tersangka korupsi itu, dan juga menyangkut kontener “sianida” di Pelabuhan Namlea.
Kapolda didampingi Wakapolda Maluku Brigjen Pol Stephen M. Napiun, Direktur Intelkam, Direktur Krimsus, Direktur Binmas dan Kabid Humas Polda Maluku, menerima audiensi Cipayung Plus wilayah Maluku, di ruang rapat PJU Polda Maluku.
Sementara Cipayung Plus yakni: M. Saleh Ohorella, Ketua PKC PMII Maluku, Amin Fidmatan, Ketua KAMMI Wilayah Maluku, Albertus Y.R. Pormes, Ketua GMNI, Donatus Jamlean, Kordinator GMKI Wilayah XI Maluku, dan pengurus masing-masing.
Kapolda Maluku, Lotharia Latif menjelaskan, kasus korupsi yang melibatkan lima komisioner KPU, dan Sekretaris KPU Kepulauan Aru, diproses Polres Kepulauan Aru setelah menerima laporan masyarakat sejak tahun 2020.
Atas laporan tersebut, Polres melalukan penyelidikan dan ditemukan adanya dugaan pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian negara. Dari temuan itu kemudian kasus itu ditingkatkan ke penyidikan pada 2021.
Setelah naik status penyidikan, Polres Aru mengirim surat kepada BPK RI, tanggal 6 Juni 2021. Surat dikirim ke BPK meminta audit Perhitungan Kerugian Negara (PKN). "BPK RI baru menyelesaikan audit dengan memakan waktu sampai 2 tahun dengan hasil terdapat kerugian negara pada kasus tersebut. Surat dari BPK terkait hasil PKN baru diterima Polres Aru pada awal Maret 2023," ungkap Kapolda.
Berdasarkan hasil audit PKN tersebut, Polres Aru menetapkan lima orang komisioner dan sekretaris KPU Kepulauan Aru sebagai tersangka. "Jadi intinya kasus tersebut merupakan kasus yang sudah lama. Lamanya kasus tersebut karena Polres Aru menunggu hasil PKN dari BPK RI yang memakan waktu sampai dua tahun" jelasnya.
Kemudian terkait belum dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap para tersangka, Kapolda mengaku disebabkan atas beberapa pertimbangan. Bahwa saat ini proses pentahapan Pemilu sementara berjalan. “Apabila para tersangka ditahan dipastikan pentahapan Pemilu di Kabupaten Aru, terganggu. Polda Maluku juga sudah mengundang Komisoner KPU Maluku untuk berkoordinasi terkait masalah ini,” paparnya.
Dari hasil koordinasi tersebut, Kapolda mengaku KPU Maluku mengaku bahwa pergantian seorang anggota KPU yang diduga melanggar hukum harus sesuai UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Cara Kerja KPU. "Dan itu dipastikan memakan waktu lama, di sisi lain pentahapan Pemilu di Aru harus tetap berjalan," jelasnya.
Terkait aturan tersebut, Kapolda dan Ketua KPU Maluku bersepakat untuk masalah ini segera dilaporkan kepada KPU Pusat dan Bareskrim Polri. "Persoalan itu sudah dilaporkan kepada KPU Pusat dan Bareskrim Polri untuk dicari jalan keluarnya. Apapun hasilnya Polda Maluku akan menjalankan Keputusan tersebut," sebutnya.
Sementara terkait penanganan persoalan jatuhnya kontainer yang berisi B3 di pelabuhan Namlea, Kabupaten Buru, Kapolda mengaku pihaknya juga melibatkan instansi terkait.
Ia mengaku telah memerintahkan Polres Pulau Buru agar terus melakukan penegakan hukum. Tindak tegas para pelaku baik perorangan maupun instansi yang bertanggung jawab atas proses pengiriman kontainer dan pengangkutan.
"Saya sudah memerintahkan untuk menindak tegas para pelaku baik perorangan maupun instansi yang bertanggung jawab atas proses pengiriman kontainer dan pengangkutan yang sepertinya dikaburkan sejak awal pengiriman oleh pihak-pihak tertentu," ungkapnya.
Terkait aktivitas pertambangan di Gunung Botak, Kapolda mengaku persoalan tersebut sudah terjadi sejak tahun 2012. Justru saat ini Polda Maluku gencar menindak para Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI).
"Keterlibatan beberapa oknum aparat keamanan juga dari dulu terjadi, dan Polda Maluku terus menindak dan menghukum anggota yang terlibat," katanya.
Bisnis pertambangan illegal memang menggiurkan karena memberikan keuntungan yang besar. Sehingga para PETI tidak memikirkan dampaknya yang akan dirasakan masyarakat.
"Saya pernah menyampaikan bahwa ada sejumlah oknum dan pihak-pihak yang selalu mencoba membujuk agar Kapolda memberikan ruang dan peluang untuk diajak kerjasama membekingi tambang illegal," ungkapnya.
Persoalan di Gunung Botak sangat kompleks. Disana bukan hanya ada persoalan hukum, namun juga menyangkut legalitas dan berbagai permasalahan sosial yang bukan tugas Polri.
Kapolda kembali menegaskan, selama belum ada ijin resmi dari Pemerintah, maka segala bentuk apapun kegiatan di Gunung Botak adalah illegal dan melanggar hukum.
"Dampaknya seringkali Kapolda dan Polda Maluku kemudian dijadikan sasaran kebencian kelompok-kelompok tertentu, dan melancarkan tuduhan kalau Kapolda tidak bekerja, Kapolda yang paling tanggung jawab tentang tambang liar di Gunung Botak, serta dilaporkan ke Mabes Polri untuk dicopot dan sebagainya," tegasnya.
Kapolda menghimbau agar semua komponen masyarakat dapat menjaga situasi dan kondisi kamtibmas yang kondusif. "Mari kita menjaga kedamaian permanen di Maluku, meningkatkan komunikasi dan koordinasi yang baik sehingga tidak menerima informasi yang tidak utuh untuk mewujudkan Maluku yang aman, damai dan sejahtera,"tutupnya.(KTE)
Komentar