Kurangnya Komunikasi Dinilai Penyebab Korupsi Sirisori Islam

AMBON - Empat saksi dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan dengan terdakwa mantan Raja Negeri Sirisori Islam Edy Pattisahusiwa di Pengadilan Tipikor Ambon. Saksi Risma, bendahara BKAD Kabupaten Malteng pada pokoknya menerangkan minimnya laporan pertanggungjawaban Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) ke Kabupaten.

Di lain pihak tiga saksi yang merupakan kepala soa yang diangkat oleh mata rumah masing-masing mengaku insentif yang diterima dari pemerintah negeri seringkali disunat, tidak sesuai daftar insentif pada pemerintah negeri.

Namun penasehat hukum terdakwa Edy Pattisahusiwa menilai kesalahan bukan saja ada pada diri kliennya tapi juga para saksi. "Ya betul ada kesalahan administrasi, tapi kesalahan ada pada para saksi juga. Intinya komunikasi kurang sehingga terjadi kerugian negara, " ujar pengacara Junita Sabban SH, kepada Kabar Timur usai sidang Kamis (12/1/2023) di PN Ambon.

Salah satu fakta persidangan terungkap kalau terdakwa Pattisahusiwa telah menganggarkan insentif sesuai APBDesa. Tapi para saksi kerap tidak datang ke kantor desa untuk bertugas. "Para kepala soa itu punya tugas mengamankan kalau ada yang berkelahi atau bercerai. Atau masalah-masalah sosial lain," terang terdakwa Pattisahusiwa saat di persidangan.

Menurutnya walaupun tidak ada masalah di masing-masing soa mestinya para saksi tetap hadir di kantor desa. Kecuali ada kepentingan lain menyangkut keluarga. Dalam keterangannya saksi

Risma mengaku laporan realisasi DD/ADD tidak semua disampaikan ke BKAD di kabupaten. "Laporan realisasinya tidak masuk semua ibu," ujar Risma menjawab JPU Endang Anakoda di depan majelis hakim yang diketuai Wilson Shriver Cs.

JPU Endang lalu memperlihatkan barang bukti terkait kewenangan pencairan DD/ADD. "Siapa yang punya kewenangan mencairkan dana?." tanya JPU kepada saksi. Dijawab bendahara desa dan raja.

Sementara itu saksi Abduh Saimima yang juga kepala soa Titasomy mengaku tugasnya membantu raja dari sisi keamanan. "Tapi bapa raja kasih barenti kami, " ujar saksi.

Sementara intensifnya sebagai kepala soa di daftar Rp 250 ribu per bulan, kenyataannya dibayar 150 ribu. Itu juga dicairkan satu kali dalam 6 bulan. Hal yang sama terhadap aaksi Abdullah Sopaheluwakan kepala soa Samasuru. Di daftar Rp 250 ribu, tapi dibayar Rp 150 ribu maka 4 bulan totalnya Rp 600 ribu sebelum akhirnya meninggalkan tugas.

Selain terdakwa Edy Pattisahusiwa terdakwa lain di perkara tahun 2018-2019 ini adalah Taha M.S. Tuhepaly. Terdakwa Tuhepaly adalah Sekretaris Negeri, merangkap koordinator pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa. Baik Pattisahusiwa maupun Tuhepaly keduanyaa menjalani sidang terpisah, .

Perkara ini merugikan negara Rp 581 juta. Dalam dakwaannya jaksa, menyebutkan dalam tahun anggaran 2018, Negeri Sirisori Islam mendapatkan transfer sebesar Rp1,543 miliar, terdiri dari DD Rp813,8 juta, sementara ADD Rp533,2 juta.

Kemudian tahun anggaran 2019 mendapatkan dana desa sebesar Rp962,127 juta dan alokasi dana desa Rp581,839 juta. "Dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa dan realisasi pelaksanaan ABD-Negeri Sirisori Islam tahun anggaran 2018-2019, terdakwa Edy sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan dana desa dan alokasi dana desa bersama terdakwa Taha melakukan sejumlah perbuatan penyalahgunaan kewenangan," papar JPU dalam dakwaannya.

Anggaran digunakan untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan negeri, pembangunan sarana infrastruktur, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, dan biaya tidak terduga. Masih JPU, DD/ADD disalurkan ke pihak pemerintah negeri untuk pembuatan lapangan, kantor desa, dan pembelian satu unit mobil ambulans. Namun belum terealisasi baik sehingga diduga ada fiktif.

Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat melanggar pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 juncto pasal 18 UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) dan ke-1 juncto 64 ayat (1) KUHP. (*/KTA)

Komentar

Loading...