Status Lahan Fery Tanaya Kontrak, Bukan Hak Milik

AMBON - Warga curiga Ferry Tanaya “terlibat” dalam pro kontra raja di Negeri Wailulu. Tangan oknum polisi digunakan.
Dedy Batuwael, anak buah Fery Tanaya menyebutkan, lahan 1200 hektar berlokasi di Negeri Wailulu, Kecamatan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), sebagai lahan berstatus hak milik, yang telah dibeli dibantah habis-habisan.
“Lahan 1200, bukan berstatus hak milik atau dibeli Ferry Tanaya. Lahan itu, statusnya dikontrak. Durasi kontrak 30 tahun. Jadi tidak benar kalau lahan itu, dibeli. Tujuan kontrak untuk perkebunan kelapa sawit,” ungkap Muslimin Tonusa, saat menghubungi Kabar Timur via telepon, tadi malam.
Muslimin mengaku, dirinya salah satu warga dari beberapa orang lainnya yang bersepakat bersama dua orang yang diutus Ferry Tanaya. Kedua orang utusan Ferry Tanaya adalah: Yopi Soakalune dan Amus Soakalune.
“Salah satu, dari kedua orang itu telah berpulang atau meninggal,” beber Muslimin. Kesepakatan perjanjian kontrak lahan, kata Muslimin, berlangsung di salah satu kantor Notaris di Kota Masohi, 2010, lalu.
Dalam kesepakatan soal durasi lamanya kontrak lahan sempat terjadi tawar menawar antara marga dengan orang utusan Ferry Tanaya. Pihak marga Wailulu, pemilik lahan, kata Muslimin, inginkan agar durasi kontrak 15 tahun. Tapi, pertimbangan bahwa lahan ini akan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, maka disepakati lahan tersebut dikontrak dengan durasi 30 tahun.
Dikatakan, jumlah dana atau biaya kontrak lahan 1200 meter milik marga d Negeri Wailulu, disepakati Rp 350 juta. “Jadi lahan itu dikontrak selama 30 tahun, dengan nilai Rp 350 juta. Kan, tidak etis lahan sebesar dijual dengan nilai Rp 350 juta,” kata Muslimin.
Menurutnya, Deddy Batuwael, anak buah Ferry Tanaya yang menyebarkan informasi dipelbagai pihak, bahwa lahan tersebut sudah dibeli dan menjadi hak milik pihaknya sebagai informasi hoaks dan bisa menjadi pemicu konflik.
“Teddy tidak tahu menahu soal proses kesepakatan kontrak lahan di tahun 2010, lalu. Karena, yang bersangkutan tidak terlibat. Bahkan, Ferry Tanaya juga tidak ada. Yang ada justeru dua orang yang saya sebutkan diatas itu,” bebernya.
Setelah kesepakatan kontrak selesai, kata tambah Muslimin, ada satu kesepakatan lain, yakni: pengelolaan kayu-kaya pada lahan tersebut. “Jadi setelah kontrak kesepakatan berlangsung, juga ada kesepakatan terkait pengelolaan kayu pada areal lahan yang dikontrak itu,” tambahnya.
Menurutnya, kesepakatan pengelolaan kayu pada areal tersebut, hasilnya akan diberikan juga kepada pihak negeri Wailulu. Kesepakatan itu diakui Muslimin, ditepati pihak perusahaan.
“Tahun 2011 pengelolaan kayu yang dilakukan Ferry Tanaya di lahan yang dikontrak itu, Negeri Wailulu diberikan Rp 40 juta. Uang itu, sebagai hasil dari kerja kayu dilahan tersebut,” bebernya.
Selanjutnya, setelah itu Ferry Tanaya tidak lagi melakukan aktivitas kerja kayu pada lahan yang dikontrakan, tapi sudah bergeser pada lahan lainnya milik desa lain.
KEPENTINGAN NEGERI
Selain itu, Muslimin juga mengungkap, kalau dalam kesepakatan lain juga, warga Wailulu dapat melakukan kegiatan diatas lahan kontrak tersebut sepanjang untuk kepentingan Negeri Wailulu dan bukan kepentingan pribadi.
“Sebetulnya ada kesepakatan-kesepakatan lain yang ikut disepakati saat kontrak lahan dilakukan. Tapi, diabaikan. Buktinya, kami warga negeri wailulu dilaporkan ke polisi atas tindakan penyerobotan lahan, tidak tahu lahan milik Ferry Tanaya yang mana,” sebutnya.
Menurutnya, kerja kayu yang dilakukan seluruh anak negeri Wailulu, bukan untuk kepentingan pribadi-pribadi, tapi kepentingan acara pengukuhan raja. “Mestinya Pak Ferry Tanaya dukung dan beri suport buat warga Wailulu, bukan malah melapor kami ke polisi,” sesalnya.
Dikatakan, kalaupun dalam kerja warga ada sedikit masuk pada lahan kontrak, semestinya dilakukan komunikasi kekeluargaan bukan langsung main lapor polisi. “Jangan karena dekat deng polisi, lalu kami dikorbankan,” sesalnya.
Dia mengaku, Ferry Tanaya yang mengutus Deddy melaporkan warga Wailulu, sebagai tindakan yang tidak berprikemanusian. “Ini cara-cara otoriter yang mestinya tidak harus terjadi. Kasian warga harus ditekan untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan,” tambahnya.
Ferry Tanaya, lanjut dia, bisa saja datang atau mengutus orang bertemu raja dan perangkat negeri untuk dibicarakan terkait tuduhan itu, sebelum dilaporkan. Pasalnya, tindakan melapor ke polisi persepsi lain.
Apalagi, tambah dia, oknum penyidik polisi yang menangani masalah ini dalam melakukan pemeriksaan sempat masuk pada “wilayah” yang diluar materi laporan yang dituduhkan.
“Penyidik tanya soal gugatan di PTUN bagaimana. Ini kan sudah dilaur materi. Jadi warga curiga kalau Ferry Tanaya juga “terlibat” dalam pro kontra raja di Negeri Wailulu dengan menggunakan tangan oknum-oknum penyidik polisi untuk menekan,” paparnya.
Lagi-lagi, Dedy Batuwael orang suruhan Fery Tanaya yang melaporkan masalah ini, dihubungi Kabar Timur via pesan whats APP miliknya, tidak direspon. Pesan yang dikirim Kabar Timur hanya dibaca, tapi tidak membalas.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, minta Kapolda perintahkan penyidik Polres Malteng, bertindak adil dan tidak semena-mena, menekan warga mengikuti keinginan Ferry Tanaya.
Kapolda Maluku diminta mewaspadai terkait laporan “raja hutan” Pulau Seram, Fery Tanaya atas penyerobotan lahan sewaan pihaknya terhadap warga dan raja Negeri Wailulu, yang sementara ini diusut Polres Malteng.
Pasalnya, Fery Tanaya diduga menggunakan tangan kepolisian untuk melegalkan tindakan yang semena-mena terhadap lahan yang disewakan pihak perusahaan loging milik si raja hutan untuk mendiskreditkan hak-hak warga.
“Penyidik polisi harus turun lapangan. Jangan semena-mena melakukan penggilan, tanpa terlebih dahulu melihat fakta di lapangan terkait laporan yang dituduhkan terhadap raja dan warga Wailulu terkait penyerobotan yang dituduhkan,” ungkap sejumlah warga Wailulu, kepada Kabar Timur, kemarin.
Menurut mereka, yang dipahami dan diketahui bahwa kerja kayu yang dilakukan warga Wailulu merupakan kerja mencari dana untuk kepentingan pengukuhan raja. Dan, kerja kayu tersebut diatas lahan milik negeri Wailulu, bukan serobot di hutan orang atau hutan yang disewakan perusahaan Ferry Tanaya.
“Kami tidak melakukan penyerobton lahan atau kerja diatas tanah yang disewahkan Ferry Tanaya. Kami minta penyidik polisi datang bersama kami tunjukan lahan yang mana yang kami serobot,” ungkap warga.
Dikatakan, dengan turun bersama warga menunjukan bukti-bukti terkait penyerobotan itu, setidaknya bisa terungkap fakta-fakta yang akan dijadikan bukti untuk melakukan pengusutan terhadap tuduhan yang dilaporkan Ferry Tanaya itu.
“Bukan hanya mendengar laporan sepihak, kemudian melakukan panggilan-panggilan seolah-olah kami sudah lakukan penyerobotan lahan. Ini tidak adil,” ungkap warga.
Menurut warga, perusahaan logging milik Ferry Tanaya telah melakukan pembohongan terhadap negeri Wailulu dan warganya, terkait kontrak lahan.
“Dulu, kontrak lahan milik negeri Wailulu, katanya untuk perkebunan kelapa sawit. Tapi, sampai saat ini lahan yang dikontrak, tidak ada tanda-tanda dibuatnya perkebunan kelapa sawit. Apakah ini bukan menipu,” tanya mereka.
Belakangan baru warga ketahui, kalau lahan yang dikontrakan itu, alasannya perkebunan kelapa sawit ternyata hanya modus semata. “Jadi perkebunan kelapa sawit hanya modus. Tujuannnya kerja kayu logging. Tapi, warga tidak mempersoalkan,” terang mereka.
Celakanya, ketika warga butuhkan kayu untuk kepentingan Negeri, justru warga dilapor ke polisi katanya serobot lahan. Padahal kerja kayu yang dilakukan warga diatas lahan negeri, bukan diatas lahan yang disewa Ferry Tanaya.
“Lahan itu, hanya disewa. Jadi bukan hak milik. Itu yang harus dicatat dan diingat. Perjanjian kontrak lahan di notaris jelas dan terang. Kami minta Pak Ferry Tanaya jujur. Jangan karena dekat dengan Kepolisian kami warga disini hendak dikriminalkan,” tegas warga lainnya.
Dikatakan, warga Wailulu sudah cukup sabar dengan perjanjian kontrak lahan yang selama ini melenceng, pun tidak diopersoalkan. Bahkan, kayu-kayu di hutan lahan milik negeri yang dikontrakan habis dibabat, tapi perkebunan sawit tak kunjung ada.
“Mestinya laporan sepihak Ferry Tanaya ini harus terlebih dahulu oleh penyidik kepolisian mendatangi lokasi yang menjadi tuduhan itu. Paling tidak pelapor dan terlapor sama-sama ke lokasi yang dituduhkan itu,” katanya.
Dengan begitu semua prasangka terhadap pihak kepolisian tidak negatif. “Wajar jika kami berprasangka negatif kepada pihak kepolisian. Karena ketika kami diperiksa kami minta penyidik datang ke lokasi bersama terlapor menunjukan lahan yang diserobot oleh kami. Tapi, penyidik bilang takut. Takut sama siapa? Ini yang aneh,” tambah mereka.
Pelaporan serobot lahan oleh warga Wailulu dilayangkan Ferry Tanaya lewat orang dekatnya yang bernama: Teddy Batuwael. Teddy dan Ferry disebut-sebut paling dekat dengan institusi kepolisian.
Warga meminta Kapolda Maluku, untuk perintahkan penyidik Serse Polres Ambon, bertindak adil dan tidak semena-mena, menekan warga mengikuti keinginan Ferry Tanaya. “Pak Kapolda harus perintahkan Kapolres Malteng, untuk adil dalam mengusut kasus ini,” sebut mereka lagi.
Selain itu, informasi yang dihimpunh Kabar Timur menyebutkan, izin perusahaan logging milik Ferry Tanaya yang saat ini beroperasi di hutan, Desa Latea, diduga sudah masuk pada hutan lahan milik Desa Waraka dan Desa Wailulu.
Hingga berita ini naik cetak, Ferry Tanaya maupun Teddy yang dihubungi via ponsel, tidak meresponya. Bahkan, Teddy yang dihubungi via pesan whats APP oleh Kabar Timur tidak meresponya. (KT)
Komentar