Adaptasi dan Sinkretisme Musik Etnik di Maluku

Abdul Manaf Tubaka

MUSIK etnik (folk songs) merupakan musik rakyat yang dimiliki dan dirawat oleh suatu komunitas secara turun temurun dan memiliki keunikan tersendiri sebagai bentuk respon atas kondisi sosial budaya yang berbeda-beda. Tumbijo (1977) mendefiniskannya sebagai seni budaya yang sejak lama turun temurun telah hidup dan berkembang pada daerah tertentu.

Adaptasi sebagai bentuk respon dari pendukung musik etnik bekerja dalam irama waktu sebagai mekanisme seleksi alam. Hal ini membutuhkan strategi adaptasi untuk tujuan merawat dan mempopulerkan musik etnik yang penad dengan semangat estetisasi, selain sebagai media hiburan. Hal ini diperlukan sebagai strategi adaptif dari bekerjanya hegemoni ala Gramsci yang menstrukturkan sikap kepasrahan (concent) dan paksaan (coercion) terhadap masifnya musik pop barat.

Tentu saja, Maluku telah di kenal sebagai gudang penyanyi dan keahlian memainkan alat musik tradisional, misalnya tifa, totobuang, suling bambu, tahuri, dll (Noya,2020). Realitas ini dipertegas dengan dinobatkannya Ambon sebagai kota musik dunia (Ambon City of Music). Selain itu, musik etnik religious, seperti hadrat yang dibawakan di setiap bulan puasa dengan kolaborasi musik modern menjadi penanda popularitas musik etnik Maluku.

Musik etnik sebagai salah satu bagian dari unsur kebudayaan dengan cirinya yang cepat berubah dan beradaptasi, merupakan condition sine qua non bagi transformasi musik etnik di tengah perubahan sosial yang begitu cepat.

Ketika gempuran musik asing yang selama ini meminggirkan eksistensi musik etnik, justru menjadi tantangan sekaligus peluang untuk berinovasi dan berkreasi menyalakan pesona musik etnik.
Berbagai cara dan strategi dilakukan demi untuk memajukan musik etnik, diperlukan bentuk adaptasi di tengah dominasinya musik modern. Tulisan ini memperkenalkan bentuk adaptasi melalui pendekatan sinkretisme yakni mempertahankan yang baik yang telah ada, dan mengambil yang lebih baik dari yang ada untuk dikolaborasikan.

Pemetaan Musik Etnik di Maluku
Apa yang dilakukan oleh para pegiat seni, pengelola sanggar dan juga akademisi dalam Focus Group Discussion (1/12/22) dengan tujuan mengumpulkan data mengenai musik tradisional di setiap kampung di Maluku yang bertempat di aula Kemenag Kota Ambon memiliki nilai strategis yaitu mempopulerkan pesona musik etnik ditengah gempuran musik modern.
Terdapat tiga percakapan penting dan strategis dalam upaya memetakan musik etnik di Maluku dan melihat bagaimana kemunculannya.
Pertama, percakapan dimulai dengan setiap orang memberikan data terkait musik etnik apa saja yang masih ada di kampungnya, jenis alat musik apa saja yang dipakai, pemain alat musik, dan dipentaskan dalam peristiwa apa saja.

Yang menarik adalah ketika percakapan lalu menuai berbagai alat musik yang dihasilkan dari percampuran budaya di nusantara. Alat musik totobuang yang sudah sangat popular di Maluku ternyata asalnya dari Jawa yang dasar katanya adalah tatabuhan. Sementara alat musik etnik orang Maluku adalah tahuri.

Saling meminjam sebagai dampak dari interaksi lintas suku bangsa, telah membentuk anyaman musik dan alat musik etnik yang dikontekstualkan menjadi keunikan budaya. Jika demikian, fungsi musik etnik bernilai strategis yang diperluas dan berdampak pada pembangunan sektor pariwisata, selain untuk kepentingan rekognisi musik etnik itu sendiri sebagai kekayaan budaya nusantara.
Kedua, selain perluasan fungsi musik etnik, percakapan juga mengenai nasib musik etnik di Maluku. Masalah krusial yang dihadapi, selain gempuran musik modern, juga karena minimnya perhatian pada komunitas sanggar musik etnik di Maluku.

Ketiga, musik etnik memiliki keunikan, karena dikonstruksi melalui respon atas lingkungan di mana mereka hidup. Ketika nelayan pergi di pagi hari, nyanyian akan berbeda dengan ketika nelayan pergi di sore hari. Begitu pun dengan bunyi suling yang berbeda antar satu kampung dengan kampung lainnya. Dalam pemetaan itu, terdapat percampuran berbagai unsur, termasuk pengaruh agama dalam musik etnik.

Ketiga pemetaan tersebut memperlihatkan tiga kekuatan yang diperlukan yaitu aktor, struktur dan kelembagaan. Aktor sebagai komposer terus memproduksi serta mereproduksi musik etnik dengan kekhasan budaya yang dipadukan seni musik modern, struktur mengatur ruang artikulasi musik etnik dalam berbagai event, dan kelembagaan memastikan popularitas musik etnik sebagai identitas budaya.

Adaptasi dan Sinkretisme
Adaptasi sebagai respon terhadap situasi yang didasarkan pada keberadaan musik etnik itu sendiri. Suparlan (1985) menunjukan dua syarakat adaptasi yaitu syarat alamiah dan psikologis. Jadi, dalam ruang bersama, arena polivocal mengharuskan adaptasi musik etnik sebagai suatu kebutuhan dalam ekosistem seni musik dengan cita rasa nilai budaya sebagai keunggulan tersendiri.
Musik etnik di Maluku perlu bersemangat “manggurebe maju” bersama daerah-daerah lain di Indonesia, terutama, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan juga NTT dalam mengelola event musik etniknya.

Strategi adaptasi musik etnis dapat dimulia dari kegiatan expo musik etnik, musikalisasi kapata dan tari, pementasan musik etnik di tempat-tempat wisata di Maluku, memperkenalkan musik etnis di sekolah, maupun pertunjukan mingguan di Pattimura Park, sampai pada event festival musik etnis secara nasional.

Dengan cara itu, popularitas musik etnik dapat diterima sebagai bagian dari selera musik publik. Tentu saja dengan pendekatan sinkretisme yang mampu dilakukan oleh para aktor komposer dan pencipta lagu untuk menyalakan pesona musik etnik dengan musik modern di Maluku. Melalui pendekatan sinkretisme, musik etnik bisa menjadi kekuatan penyeimbang dari dominasinya musik modern.

Dukungan Pemerintah
Dukungan pemerintah merupakan hal penting yang diharapakan agar tetap menjaga keberlangsungan musik etnik di Maluku. Melalui serangkaian kegiatan, dari mulai pameran seni musik yang dikuti berbagai sanggar, dukungan pemerintah tentu dapat memberi semangat bagi pegiat musik etnik.

Selain itu, dukungan pada sumber daya manusia di bidang musik, instruktur musik, sekolah musik dan nilai sosial budaya dari musik menjadi pilar penting. Dalam konteks itu, seniman, budayawan, dan pemerintah perlu bersinergi dalam mamajukan musik etnik di Maluku.

Kepentingan pemerintah dalam memajukan musik etnik di Maluku memiliki dampak bagi pembangunan, terutama di sektor pariwisita dan pemajuan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Dengan warna musik etnik yang berdimensi adat dan agama di Maluku menjadi kekuatan bagi kohesi sosial masyarakat.
Strategi adaptasi dan sinkretisme musik penting dilihat sebagai wahana baru dalam menarik minat generasi muda di Maluku. Bermain musik sekaligus mendekatkan budaya pada generasi muda, tetapi sekaligus terbuka untuk belajar bersama melalui pendekatan sinkretsime.

Gagasan ini diniatkan, bukan sekedar untuk mengembangkan musik etnik sebagai saluran hiburan semata, tetapi sekaligus sebagai upaya menghidupkan nilai-nilai budaya dalam seni musik etnik sebagai kekayaan budaya nusantara, sekaligus menjadi bagian dalam ekosistem seni musik lokal yang mengglobal melalui pendekatan sinkretisme.(*)

Komentar

Loading...