KABARTIMURNEWS.COM.AMBON-Isunya tak lagi populer dan efektif. Perjanjian Malino saat ini antara ada dan tiada.
Perjanjian Malino yang dibuat para tokoh masyarakat Maluku pasca konflik “SARA” 1999 silam, sepertinya tidak bisa “dipaksakan” berlaku lagi di “pesta” demokrasi rakyat Maluku memilih pemimpin atau Gubernur-Wakil Gubernur di 2024, mendatang.
“Perjanjian Malino itu ke depan tidak akan berjalan efektif dan lambat laun akan hilang. Elite mau jalankan sistem Malino, tapi apakah mereka mampu arahkan rakyat untuk ikut dengan sistem,” kata Doktor Amir Kotarumalos, Pengamat Politik dari Universitas Pattimura menjawab Kabar Timur, Selasa (2/11) .
Baginya isu Malino untuk Pilgub Maluku 2024 tidak lagi populer dan efektif. Dari situasi dan kondisi sistem demokrasi saat ini, perjanjian Malino seperti ada dan tiada. “Semua tergantung masyarakat. Malino makin lemah. Kenapa, karena saat ini orang sudah berada pada titik tumpu, apalagi pandemi, situasi ekonomi dapat membentuk preferensi politik masyarakat,”terangnya.
Dengan begitu, lanjt Amir, masyarakat akan berpikir siapa yang bikin, maka dialah yang dipilih. Ataukah sebaliknya bisa gunakan politik transaksional. “Mau dipilih, berikan uang dulu. Karena memang kondisi saat ini seperti itu,”tambahnya.
Dikatakan, kondisi carut-marut, jelas Amir, sudah selesai. Ke-depan, semua sudah fokus menata kehidupan demokrasi, didalam masa konsolidasi menuju demokrasi lebih baik dan lebih berarti. “Olehnya itu, bila ada semacam perjanjian tidak langsung, misalnya tahun ini yang Islam pimpin, tahun depan Kristen, saya kira untuk menerapkan seperti itu sulit,”ungkap dia.
Masih kata Amir, fakta kehidupan demokrasi yang terjadi dalam realita perkembangan beberapa waktu terakhir, menunjukkan rakyat saat ini menentukan pilihan berdasarkan “man” yang dianggap baik dan bertanggungjawab. Bukan berdasarkan sistem Malino.
“Kalau calon pemimpin yang dikenal rakyat dia baik pasti dipilih. Tapi yang jelas dalam Kacamata sempit, perjanjian Malino telah diimplementasikan dalam bentuk demokrasi konsensus,”paparnya.
Menurutnya, konsensus demokrasi di Maluku ini, Kepala Daerah dan Wakilnya tidak boleh Islam-Islam atau Kristen-Kristen saja. Harus satu paket Islam-Kristen, “Nah itu sudah merupakan implementasi demokrasi Malino,”jelasnya.
Katanya, itu perjanjian Malino dalam bentuk demokrasi konstitusional, sehingga ada warna-warna masyarakat Muslim dan Kristen bervariasi di daerah-daerah. “Ini otomatis telah membentuk demokrasi prinsip yang tidak boleh terdapat kepala daerah, wakil kepala daerah itu, berasal dari satu Agama, misalnya Islam Islam atau Kristen Kristen. Harus Islam- Kristen,”terangnya.
Amir menambahkan, perjanjian Malino saat ini ketika orang sudah berada pada tertib sipil, maka mereka telah berada dalam praktek demokrasi konsolidasi menuju demokrasi yang sudah tertata baik. “Jadi Malino ini sekarang “antara ada dan tiada.”